SAKO Bertamu Ke Kabid Kebudayaan Padang, Ini yang Dibahas
Bagikan:

SAKO.OR.ID – SAKO adalah sebuah yayasan yang telah memiliki SK-Menkumham RI. Kata SAKO sendiri merupakan pendekan dari Saiyo Sajalan dan Sakato.

Pada Senin (24/10) siang, SAKO berkunjung ke Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang. Kunjungan itu dilaksanakan selepas kunjungan ke Diknas Sumbar.

Rombongan Sako disambut langsung oleh Syamdani selaku Kabid Kebudayaan di ruangan kerjanya di Kantor Disdikbud Padang.

Bersama dengan Kabid Syamdani yang juga kandidiat doktor sekaligus penulis dan youtuber sejarah itu, Sako membahas perihal proses pendaftaran Benda Cagar Budaya.

Katanya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, penetapan cagar budaya di kabupaten/kota dilakukan dengan Surat Keputusan Bupati dan atau Walikota.

Sedangkan Badan Pelestarian Cagar Budaya seperi juga di Sumatera Barat, melaksanakan kegiatat-kegiatan pelestarian.

Karenanya, situs-situs di nagari-nagari, baik yang ditemukan oleh masyarakat maupun oleh aktor pembangunan serta para pihak lainnya, didaftarkan ke Dinas terkait, yakni yang mengurus kebudayaan.

“Merespon laporan itu dinas terkait melakukan survey dan kalau layak, direkomendasikan untuk ditetapkan dengan SK Bupati dan Wali Kota,” kata Syamdani.

SAKO Menelusuri Asal-Usul Bertemu Situs dan yang Tersuruk

SAKO, bertamu terdiri dari GG Datuak Parpatiah, Januarisdi Rio Mandaro serta YY Dt. Rajo Bagindo dan Datuak Inaro menyampaikan temuan perjalanannya dalam agenda SAKO’s Journey.

Agenda SAKO ini, sudah menjalankan napak tilas ke nagari-nagari di Sumatera Barat. Perjalanan itu melihat dari dekat jejak-jejak asal usul dan mengunjungi situs-situs serta artefak arkeologis lainnya yang menjadi bagian bukti tersuruk dari asal usul suku/orang Minangkabau.

Terakhir, tanggal 1 dan 21-23 Oktober 2022 berjalan ke Nagari Suayan Kabupaten 50 Kota dan Pangian Kabupaten Tanah Datar, banyak hal yang tasuruak patut dicatat. Banyak situs yang patut dijadikan Cagar Budaya dan dilestarikan, kalau tidak terancam musnah.

Misalnya mejan versi menhir di Suayan, ada indikasi penghancuran. Ada yang sudah tercabut dan dijadikan batu asahan. Masyarakat melaporkan, kami tidak tahu gunanya bapak, kata mereka melaporkan kepada tim SAKO.

Fenomena seperti itu patut kita dan SAKO khususnya mendorong masyarakat dan pemerintah setempat mendaftarkan situs-situ itu, kata Sako dan Kabid Kebudayaan serentak.

Bagikan:
SAKO’s Journey: Suayan Nagari Tua Dari Menhir ke Angku Syekh
Bagikan:

SAKO.OR.ID – Beberapa kali saya ke Suayan, dua kali terakhir, tanggal 1 dan 21-23 Oktober 2022, semakin banyak hal yang patut dicatat. Mangkal singgah nginap di rumah asa Suayan. Adalah Kampuang/ Suku Jambak Datuk Putiah (M. Damris). Suayan terkesan Nagari Tua di Akabuluru 50 Koto.

Sebelumnya, beberapa kali ke kaum suku Jambak Suayan di bawah payung Datuk Marajo Nan Elok (Fauzan). Bermula meminang kemenakannya bernama Ikha Hajriani, untuk jodoh anak saya Ilhami El-Yunusiy, disusul acara pernikahan dan pesta anak minantu di Suayan beberapa tahun lalu. Sekarang merka sudah punya buah hati Khalif dan Khulfa, cucuku.

Lesung batu suayan

Nagari Tua Suayan, malam terasa dingin. Enak makan samba lado biru dan atau merah. Uok pucuak ubi. Gulai masakan tangan piawai Ibu Mis dan Ibu Ros saudara perempuan beliau M. Damris Dt Putiah payung suku Jambak Suayan Tinggi. Elok baso, dusanak Dt. Putiah. Habis makan, durian berpuluh-puluh dibuka pula. Dimakan engan ketan. Tak kuat makan habis, sambal dibungkuskannya pula, di bawa bundo-bundo ke Padang. Alhamdulillah, semoga keluar nagari ini senantiasa diberi rahmat Allah.

Nagari Tua Ulama Angku Suayan

Suayan Nagari tua, auranya terasa. Tua dengan teknologi batu, megalitik. Banyak situs tua seperti menhir, batu asahan dan lesung batu. Batu istimewa itu yang lebih menonjol menhir disebut orang nagari ini dengan “mejan”. Sama maknanya (Arab: turbah, nisan). Berarti batu istimewa itu menandai makam orang betuah dulu, mungkin tokoh adat dan mungkin tokoh agama. Juga ditemukan juga cerita dan jejak surau tua ulama Tuk Oya, Angku Syekh Suayan.

Mejan versi Menhir Suayan tercabut dan tergeletak sekitar menjid Nurul Hidayah

Dimulai dari nama kharismatik Angku Suayan. Dikabarkan GG Dt. Parpatiah diiyakan MD Dt. Putiah, S.Katik Malano dan Bundo Yapriati. Rekanan piawai rombongan SAKO’s Journey, mengetahui ada nama besar Angku Syekh Suayan. Disebut pula abad ke18, Angku Syekh Suayan itu ialah guru dari guru dari Haji Sumaniak, Haji Miskin dan Haji Piobang. Juga disebut Bundo Yap, Tuk Oyah dalam jaringan Angku Lurah dan Rajo Kudum lainnya.

Bahkan GG Dt Parpatiah mengabarkan, di Nagari Suayan ini jauh sebelumnya suda ada tinggal, salah seorang angku/ spiritual penjaga Puti Balukih (Puti Bulkis istri Nabi Sulaiman). Kemudian juga ada nama Angku Syekh Suayan. Ulama itu dimungkinkan dari/ pandai berbahasa Arab. Dari sentuhan kabar lama ini, Mak Katik menghubungkan dengan sejarah nama Suayan. Serangkaian itu menyebut tiga wilayah penting asal usul sampai ke niniaknya. Wilayah itu Kampar, Andaleh, Pangka Bumi dalam wilayah kultur Luak Bungsu 50 Koto dan Luak Tuo Tanah Data. Perlu pemetaan untuk dijalani SAKO’s Journey.

Disebut Mak Katik nama Suayan, dari Bahasa Arab “Suayan, suaiyan (سويا)”. Menambah kekayaan asal nama Suayan dari informasi Suayan “kejutan ayam terbang suuu.. ayam, menjadi Suayan”. Dalam kalimat Arab, ada dalam ungkapan, intazhir suayan huna (انتظرسويا هنا). Artinya tunggu sejenak di sini. Suwaiyan, Sawayan, Suayan berarti penantian sejenak. Apakah penantian itu sejak masa Puti Balukis istri Nabi Sulaiman yang menjadi kaba di Minang itu? Wallahu a’lam bishshawab !

Mungkin pula Suayan dari kata akar Arab Qur’ani “shirathan sawiyan” (jalan lurus,mustaqim, QS.Maryam 43). Akar katanya saui (sawi, سوي mustawi مستوي , suai, lalu Suaian, Suayan?). Ada juga kalimat Arab, sawwa l-nahhat al-timtsal (سوي النحات التمثال) artinya para pemahat memahat patung. Ada juga kalimat akar kata sawwaituhu (سويته) artinya nafakhtu fihi min ruhi (ونفخت فيه من روحي), aku memberinya ruh (ada akar kata dalam Qur’an). Ada juga dari kata sawwa bihi l-ardhi (سوي به الارض) artinya dafanahu fiha (دفنه فيها) – telah menguburkannya di tanah ini. Apakah karena itu terdapat banyak mejan (menhir) hasil pahatan sebagai teknologi megalitik di Suayan? Mejan menandai yang berkubur di Suayan? Entahlah! Wallahu A’lam bishshawab

Terlepas dari benar atau tidak kabar tentang tokoh spiritual dan ulama tua Angku Syekh di Suayan tadi dan berkaitan dengan akar kata Suayan, yang jelas sudah ada sejarah ulama dikawasan ini. Adalah fenomena perjuangan ulama menyebarkan ajaran Islam di kawasan Batuhampar dan atau sekitar Akabiluru, yang tidak bisa dilepaskan dari Nagari Suayan. Ulama itu Syekh Burhanuddin Kuntu, Kampar pada abad ke 12.

Mejan versi menhir Suayan randah

Disejarahkan dan dilansir pada berbagai buku sejarah dan wacana teks cetak dan media online lainnya, bahwa Syekh Burhanuddin selalu berpindah-pindah dalam mengajar dalam rangka mengembangkan ajaran Islam. Syekh memulai pertama mengajar dari Batu Hampar, Akabiluru tak dapat dipungkiri sampai ke Suayan. Di kawasan Batuhampar ini tahun 560 – 570 H (1141 – 1151 M). Dari Batu Hampar ke Kumpulan Pasaman (570 s/d 575H/1151 s/d 1156 M). terus ke Ulakan Pariaman (1156 – 1171 M). Setelah itu ke Kuntu sampai akhir hayatnya tahun 1171 – 1191 M.

Pertanyaan penting berpeluang penelitian, kenapa Syekh Burhanuddin Kuntu memulai mengajarkan Islam di Batu Hampar kawasan dekat Suayan ini? Kalau tak ada berada tak tempua bersarang rendah. Apa ada hubungan sejarah ulama Suayan Angku Syekh Suayan tua dan sejarah ulama tua Tuk Oyah di sana sampai ke Batu Hampar? Apakah Syekh Burhanuddin Kuntu juga pernah belajar agama di Batu Hampar, Suayan dan atau Akabiluru umumnya, lalu ia mengajar agama mulai di kawasan dekat Suayan ini? Menarik akademisi menelitinya.

Surau Lubuk Sosai Suayan

Disebut Kawasan Sosai tak jauh dari aliran sungai, di situ dulu Surau Angku Suayan. Apakah di sini sentra pengajaran Islam awal di Akabiluru? Surau ini mempunyai Tabuah (Beduk) panjangnya sebatang kayu 30 meter. Lokasi sekitar kebun pinang Fikri suku Caniago sekarang. Ada tanda di sini yakni Batu Tandinai. Tak jauh dari sini ada pula surau suluk tarekat naqsyabandi. Pernah dipimpin angku Imam Keramat.

Surau di Sosai runtuh masih ada jejak sejarah bekas pondasi. Pindah ke lokasi Surau Gadang yang kemudian jadi masjid. Waktu APRI, pernah dibombardir, surau ini tak bergeming, seperti tahan peluru. Lama masanya, lokasi dipindahkan ke Masjid Raya Suayan Tinggi, terkesan punya arsitektur khas juga.

Lalu Tabuah teknologi kayu pusako Surau Sonsai sepanjang 30 meter tadi itu dipotong tiga. Pangkalnya dipakai tabuah di Masjid Raya. Potongan tengah dipakai tabuah masjid Nurul Hidayah. Ujungnya dipakai tabuah di Masjid Taqwa Suayan Sariak. Dulu ketika tabuah Sonsai berbunyi, terdengar sampai ke Taram. Masyarakat Taram berucap: tuh tabuah Suayan berbunyi!

Negeri Banyak Mejan versi Menhir

Sebagai Nagari tua, Suayan punya banyak situs mejan versi menhir. Masyarakatnya tidak kenal menhir, disebutnya mejan. Apakah mungkin mejan itu makam tokoh adat dan agama? Pertanyaan ini berkaitan dengan asal nama Suayan tadi. Akar “kata sawwa bihi l-ardhi (سوي به الارض) artinya dafanahu fiha (دفنه فيها) – telah menguburkannya di tanah ini. Lalu untuk menandainya ada menhir teknologi mejan kubur atau turbah (penandai tanah kubur). Apakah teknologi mejan zaman batu itu, menhir yang berakar dari kalimat Arab, sawwa l-nahhat al-timtsal (سوي النحات التمثال) artinya para pemahat memahat patung? Patung itu mejan versi menhir itu?

Terlepas dari benar atau tidak yang jelas menhir itu cukup banyak di Suayan disebut oleh masyarakatnya sebagai mejan. Di antaranya:


1.Mejan tinggi sekitar setengah meter di depan rumah ibu Lis Suayan Tinggi
2.Mejan tinggi sekitar 5 meter di depan rumah ibu Er, kata Edi (60) lokasi lahan suku caniago payung Datuk Parpatiah Lego.
3.Mejan di Parak Er, setinggi 2,5 meter. Diperkirakan satu kesatuan dalam peta segi tiga lokasi mejan depan rumah ibu Lis dan ibu Er dan di Parak Er.
4.Mejan tinggi sekitar 4,5 meter dikelilingi banyak mejan kecil dan sedang. Kata Edi tertanam di lahan suku Caniago payung Datuak Paduko Rajo. Dahulu tempat perkumpulan tradisi alek “batuka lapek” (bertukar kue lapek) untuk menunjukkan kekeramatan masing-masing perserta pesta tradisi itu. Habis itu disediakan kolam mandi yang dipasang talang runcing, semua mencebur kesana tak ada yang terluka, sebuah kekeramatan, kata Fauzan Dt. Marajo Nan Elok.
5.Mejan tinggi 5 meter di lokasi parak Sabri sekarang di Suayan Randah
6.Menhir tinggi sekitar 4,5 meter tercabut tergeletak di simpang tiga jalan kampung di sekitarnya terdapat pula beberapa mejan kecil dan sedang tidak jauh dari masjid Nurul Hidayah Suayan Randah yang dulu punya tabuah potongan tengah dari tiga potongan Tabuah Sosai 30 meter tadi.
7.Ada juga mejan di sebuah masjid modern, sayang menhir itu ditempatkan di sebuah kolam yang digenangi air dilapis pula dengan semen terkesan menghilangkan aslinya.

Selain itu juga terdapat tekonologi zaman batu megalitik jejak arkeologis dalam bentuk keperluan rumah tangga. Bentuknya lesung batu penumbuk padi dan atau penumbuk kopi. Terdapat lesung batu di halaman rumah pusaka kaum Jambak M.Damris Dt. Putiah. Demikian pula, lesung batu tak jauh dari halaman rumah ibu Lis di Suayan Tinggi. Lesung batu hasil produk teknologi megalitik itu sebenarnya teramati pada banyak di lakasi lain di Suayan Randah dan Suayan Tinggi. Pada umumnya lesung batu itu tidak jauh dari mejan versi menhir itu.

Rombongan SAKO’s Journey:
Situs Jadikan Cagar Budaya kalau tak mau lenyap

Rombongan SAKO’s Journey di antaranya GG. Dt. Parpatiah, Hanafi Zen St. Bagindo, AR Piliang Malin Marajo, S.Katik Malano, YY Dt.Rajo Bagindo, Januarisdi Rio Mandaro, Hasanuddin Yunus Dt. Tan Patiah, MD. Dt. Putiah, J.Angku Janiah, Bundo/ Ny. Hanafi, Bundo/ Ny. GG Dt. Parpatiah, Bundo/ Ny. Sepit Sugiarti Ningsih, Bundo Yapriati lainnya.

Kunjungan diterima dan didampingi ninik mamak Nagari Suayan. Di antaranya Fauzan Dt. Marajo Nan Elok, Dt. Ompek, Dt. Khudum, Dt. Manggung Sati, Angku Sati, Malin Sati serta keluarga kaum MD Dt. Putiah ibu Mis dan Ibu Ros serta isteri Dt. Putiah lainnya.

Dalam menelusuri berbagai situ, terpikir oleh tim SAKO’s Journey situ-situs Nagari Suayan ini menunjukkan bahwa nagari ini terkesan nagari tua. Situsnya penting dipelihara.

Direkomendasikan melalui walinagari Suayan ke Bupati 50 Kota, situs-situs Suaya ini segera dilihat dan ditetapkan sebagai benda-benda cagar budaya dan selanjutnya patut mendapat penanganan Dinas yang membidangi kebudayaan di tingkat kabupaten serta selanjutnya dilola dan dilindungi oleh Badan Cagar Budaya Sumatera Barat dan Riau.

Kalau tidak segera dilindungi, situs ini akan terancam lenyap. Indiskasinya terdapat fakta, mejan versi menhir di Suayan ini sudah ada yang tercabut dan rebah bergeser dari tempat semula. Ada juga fakta dirusak menjadikannya fungsi batu asahan untuk mengasah alat perkakas pertanian.

Demikian pula lesung batu sudah bergeletakan tidak terletak lagi pada lokasi semula. Masyarakat tidak dapat dipersalahkan, karena memang mereka tidak tahu fungsi situs ini sebagai bagian kekayaan nagari mereka dan kalau dilola dengan baik dapat menjadi investasi ekonomi kreatif karena akan dikunjungi sejarawan dan wisatawan. Ironis! Memang.

Bagikan:
SAKO’s Journey Melihat Ba-Adat Parik Panjang
Bagikan:

SAKO.OR.ID – Bertambah wawasan membaca nan tasurek (yang tersurat), nan tasirek (yang tersirat) dan nan tasuruak (yang tersuruk). Membaca tiga hal itu bagian agenda SAKO’s Journey dalam Program Yayasan Saiyo Sajalan Sakato (SAKO) mendalami asal usul dan suku-suku Minangkabau.

Dimulai bertutur adat cerita moyang di Nagari Parik Panjang. Justru tepat sekali, karena disebut di Matur, “beradat ke Naggari Parik Panjang”.

Sebuah mufakat dibuat sejak kurang lebih 200 tahun lalu oleh ninik mereka nan-27 dari Pagaruyung. Hasil musyawarah pertama mereka pada Batu Baselo di Matur Hilir (Matua Ilia). Di ambang temaram senja Sabtu 30 Juli 2022 saya sempat mencoba duduk pada Batu Baselo di Matua Ilia itu.

Turut duduk di Batu Baselo itu, sebagian rombongan SAKO’s Journey. Rombongan GG. Dt. Parpatiah, HZ St. Bagindo, AR Piliang Malin Marajo, YY Dt.Rajo Bagindo, J.Rio Bandaro, HY. Dt. Tan Patiah, MD. Dt. Putiah, S.Dt. Malano, A.Dt. Maninjun, J.Angku Janiah, N. Dt. Basa Nan Balimo, Bundo Syofiarni, Bundo Nelly Pebriatmy, Bundo Nofyelni, Bundo Sepit Sugiarti Ningsih, Bundo Yapriati lainnya didampingi ninik mamak Nagari Parik Panjang dipimpin Ketua KAN Parik Panjang Nasril Dt. Sampono Intan dan pemandu dari Matua Ilia.

Duduk di Batu Baselo itu, ada suasana nyaman dan adem meski terasa agak mistis. Datuk Perpatih menarik tangan saya, berdiri menengok onggokan bebatuan bagaikan menhir dan turbah tersusun sedemikian rupa. Suasananya lebih adem, terasa sesuatu di tengkuk saya senja itu. Mungkin ada nan tasuruak di sana. Literasi apa ? Datuk Perpatih dan Bunda Yapriati yang mungkin diberi tahu ! Mencengangkan ! Subhanallah.

Situs Masjid Picuran Gadang Matua Mudiak Imam Tungga.

Suasana di berbagai situs Matua tadi mengingatkan perjalanan moyang mereka. Terbayang prosesi perjalanan mereka menyusun adat. Adalah menyusun kiat melaksanakan adat basandei syara’, syara’ basandi Kitabullah. Mereka pertama bermusyawarah di Batu Baselo mengambil mufakat. Dari Batu Baselo ninik moyang nan-27 menyebar. Yang ahli agama malin kitab kuniang, 7 orang tinggal di Matua Ilia dan 10 orang dipimpin Imam Tunggal ke Matua Mudiak yang kemudian membangun Surau Pincuran Gadang tahun 1825. Sedangkan 10 orang lagi ke Parik Panjang ahli adat, mereka juga mendirikan surau tahun 1870 yang arsitekturnya sama. Beratap tiga tingkatan berundak dan melimas dan bertonggak tua di tengah tegak lurus menuju puncak atap.

Makan Bajamba dalam Silaturrahmi SAKO’s Journey ke KAN Parik Panjang Matur Agam.

Wajarlah Batu Baselo dan situs lainnya di Matur, menjadi DTW sejarah, budaya dan wisata alam. Khusus bebatuan Batu Baselo di Jorong Batu Baselo Matur Hilir itu, tersusun bagikan menhir berbagai bentuk. Ada serupa kursi disertai meja batu pipih. Ada juga bentu plataran hidangan sesajian. Ada bentuk lesung bahkan ada bentuk turbah (nisan) moyang. Semua peninggalan itu menyimbolkan tambo alam yang mengamanatkan asal usul moyang di Matur itu.

Kami masih menikmati situs sekitar Batu Baselo. Satwa senja sudah mulai bernyanyi, pertanda segera pertukaran siang dengan malam. Cengrama dan perbincangan terus jalan menunggu azan. Mematut-matut onggok bebatuan, apa ada kemungkinan batu turbah (mejan) di pandam perkuburan moyang. Saking aysik menikmati dan bertutur hilir mudik, nyaris tak sadar harus kembali, kalau tidak bergema suara Dt. Perpatih, yuk kembali!.

Kita berprasangka baik, bebatuan di sekitar Batu Baselo Matua Ilia itu punya nilai sejarah cagar budaya dan arkeologis menarik. Bebatuan terdapat berbagai bentuk. Ada menyerupai kursi, meja pipih, tempat hantaran (sesajian) atau berupa lesuang dan ada berbentuk turbah (nisan) panjang dan atau menhir berkaitan dengan warisan adat budaya moyang. Beralasan jorong ini dinamakan Jorong Batu Baselo, karena ada situs Batu Baselo yang punya sejarah tempat bermusawarah moyang mereka mengambil mufakat menyusun adat ke arah tambo adat barih balabeh. Karenanya kekayaan warisan tradisional ini semestinya dilestarikan,” usul semua yang hadir.

Sejarah Parik Panjang

Asal usul Nagari Parik Panjang terdapat dari sumber manuskrip, jura diceritakan orang tua-tua di Nagari Parik Panjang, Ketua KAN Parik Panjang Nasril Dt. Sampono Intan suku Sikumbang menyebut nenek moyang mereka datang dari Pagaruyung. Ada juga yang menyebut dari Sungai Tarab dan Pariangan.

Mereka datang berkelompok dan beberapa suku. Ada kelompok yang menempuh jalur Padang Kunyit dan Tilatang Kamang. Terus ke Batuang Babuai dan Sitingkai. Mereka suku Caniago.

Ada jalur Sariak Sungai Puar, Koto Gadang, Sianok Sungai Jariang, Kampuang Pisang seterusnya ke Matur. Mereka dari suku Sikumbang, Tanjung, Caniago lainnya. Ada yang menyebut sebelumnya berhenti di Aia Taganang disebut Lurah Taganang, kini dikenal Jorong Lurah Taganang di Matua Ilia.
Nenek Moyang dari Pagaruyung tadi berjumlah 27 orang. Mereka datang diperkirakan sekitar 200 tahun yang lalu. Nenek moyang itu berkumpul pada Batu Baselo di Matua Ilia. Justru Batu Baselo itu menandai tempat bermusyawarah moyang tadi. Dari situ mereka menyebar, yang tujuh orang ahli adat sampai di Parik Panjang.

Dalam Silatturrahmi SAKO, 30 Juli 2022, Ketua KAN Nasril Dt. Sampono Intan Sikumbang bercerita banyak tentang nagarinya. Ia berceita didampingi masyarakat adat dan penghulunya. Di antaranya Dt. Gunuang Basa/ Ketua Bamus/ Sekretaris KAN Suku Tanjung, Dt.Rajo Imbang/ Mantan Walna Sikumbang dan Dt. Rajo Api Caniago.

Moyang waktu akan ke Parik Panjang, sebut N.Datuk Sampono Intan, mereka memperhatikan wilayah yang dilalui. Mereka terkesan dengan geografis, orbitasi dan topografisnya. Nagari Parik Panjang justru memiliki wilayah perbukitan, bergelombang di samping ada lurah (lembah). Bukit dan lembahnya mempunyai tebih-tebing menyerupai pematang dan parit-parit yang kokoh. Karenanya ninik moyang menamakan wilayah ini dengan Parit Panjang. Di sini mereka membuat teratak sampai diproses menjadi nagari dan mereka menyusun adat melaksanakan mufakat Batu Baselo.

Menyusun Adat

Pada Batu Baselo itu nenek moyang Matua itu bermusyawarah mengambil mufakat. Lalu Dari sana mereka menyebar. Berbagi, seperti tadi disebut, 10 orang tinggal di Matua Ilia mereka piawai membaca kitab dan memeberi makna, 10 orang pergi ke Matua Mudiak, mereka ahli agama juga dipimpin Imam Tunggal dan 7 orang ke Parik Panjang mereka ahli adat.

Dari pendistribusian ninik tadi, disusun adat. Terdapat 3 Nagari dari 6 Nagari di Matur sekarang menjadi satu kesatuan masyarakat hukum adat. Yakni Nagari Parik Panjang, Nagari Matua Ilia dan Nagari Matua Mudik, ketiganya terstruktur dalam filosofi adatnya yang seadat selimbago, saukua sapajangko, sagarih sapamainan. Maka disebutah fungsi tiga nagari tadi dalam petiti seperti ini:

Ba-mimba ka Matua Ilia
Ba-imam Tungga ke Matua Mudiak
Ba-adat ka Parik Panjang

(Bermimbar ke Matur Hilir
Berimam Tunggal ke Matur Mudik
Beradat ke Parik Panjang)

Justru ninik yang ke Parik Panjang ini, ialah ahli adat. Sedangkan ke Matua Mudiak kepala rombongan ninik. disebut fungsi Imam Tunggal Imam Maharajo, urang cadiak di tangah koto urang tua di Nagari, pandai mangabek (mengikat) dengan membuhul sentak, jarang orang bisa mengungkainya, tiba orang yang punya, buhul rarak (ungkai) saja.

Disebut juga dalam manuskrip mereka, tentang 10 ninik yang pergi ke Matur Mudik tadi. Mereka ialah: (1) Datuk Maharajo Nan Batuah, (2) Datuk Demangando, (3) Datuk Rajo Sutan, (4) Datuk Bagindo, (5) Datuk Sinaro, (6) Datuk Bandaro Putiah, (7) Datuk Demang Gagah, (8) Datuk Panjang, (9) Datuk Maruhun Labiah, (10) Datuk Mangkuto Nan Putiah.

Yang tinggal di Matua Ilia juga ahli agama disebut fungsi bermimbar, pandai malafaz jo makna (pandai membaca lafaz kitab dan tahu makna), tanda ahli agama. Faktanya Matua Ilia ada Batu Baselo, tak jauh dari sana terdapat di Matua Mudiak ada Pincuran Gadang, ninik yang ahli agama (ulama) itu membangun surau dan masjid. Sekarang DTW Alam Picuran Gadang dan DTW religius masjid di Pincuran Gadang itu.

Terjurai ke Parik Panjang, balerong budi ganto suaro (berbalai sidang budi genta suara), juru adat limbago (guru adat di kaum adat), bukan limbago masa kini, tuangan dari Pagaruyung, Setitik nan babarih bapantang lupo (yang berbaris berpantang lupa). Maka disebutlah ninik yang ke Parik Panjang itu ahli adat.

Struktur adat Nagari Parik Panjang, tergambar dari posisi ninik mamaknya yang ber-7 di dalam suku masing-masing. Ialah, dua dari Suku Sikumbang dipayungi Datuk Rajo Imbang dan Datuk Sampono Intan. Dua dari Suku Tanjung dipayungi Datuk Bandaro Panjang Nan Itam dan Datuk Manso. Dan tiga dari Suku Caniago dipayungi Datuk Parpatiah, Datuak Rajo Api dan Datuk Rajo Malano.

Wilayah, Orbitasi dan Geografi

Nagari Parik Panjang sekarang dipimpin Wali Nagari Yulianto dengan Sekretaris Anita Wati. Nagari ba-adat ini berada dalam wilayah Kecamatan Matur (Matua) sekarang, satu di antara 6 Nagari.

Enam 6 nagari itu, yakni Nagari Parik Panjang, Nagari Lawang, Nagari Tigo Balai. Nagari Matua Ilia, Nagari Matua Mudiak dan Nagari Panta Pauh.

Jaraknya 1 km dari ibu kota kecamatan, 42 km dari ibu kota kabupaten Agam dan 112 km dari ibu kota Provinsi Sumatera Barat Padang.
Nagari Parik Panjang terdiri dari dua jorong: Jorong parik Panjang dan Jorong Mudiak Sawah.

Dilihat dari orbitasi (letaknya), berbatas sebelah Utara dengan Nagari Matua Mudiak, sebelah Selatan dengan Nagari Matua Hilia, sebelah Barat dengan Nagari Matua Mudiak dan sebelah Timur dengan Nagari Panta Pauh.

Secara geografis, topografis dan demografis, Nagari Parik Panjang alamnya perbukitan. Ada lurah (lembah), dataran rendah, bergelombang dan ada tebing (pematang bukit). Terletak di ketinggian kurang lebih 1200 meter dari permukaan laut. Luas wilayahnya 6,25 km (6,67 % dari luas wilayah Kecamatan Matur).

Tata gunanya terdiri dari lahan pertanian seperti sawah beririgasi 122,180 Ha, sawah tadah hujan 6,280 Ha, lahan rawan bencana lonsor seluas 8,204 Ha dan lahan pemukiman 40,106 Ha. Dihuni penduduk 327 jiwa (2017).

Publik service di Nagari Parik Panjang, ada sekolah TK Nurul Hidayah, MDTA, TPSQ Parik Panjang, SDN 22 Bukit Apik, Kantor KAN, Kantor Wali Nagari, Masjid, Surau lainnya. Untuk refreshing dan wisata ada DTW (Daerah Tujuan Wisata) Surau Tua di samping wisata seperti Aia Tajun Mudiak Lawang alam lainnya

Bagikan: