Bagaimana Semestinya Menjadi Makmum Yang Baik
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Shalat berjamaah adalah shalat bersama-sama di satu tempat, yang terdiri dari seorang i-mam dan satu atau sekelompok makmum. Imam shalat bertindak sebagai pimpinan dan koman-dan yang mengarahkan dan mengomandoi makmum. Sementara makmum merupakan pasukan yang sedang dipimpin dan dikomandoi oleh seorang imam.

Bagaimana Menjadi Makmum yang Baik

Pada kesempatan ini, kita akan membicarakan, bagaimana semestinya cara makmum dalam mengikuti shalat berjamaah bersama imam. Sebagai pedoman, mari kita ikuti petunjuk pelaksa-naannya dari Rasulullah SAW, sebagai berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيّ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا جُعِلُ الإِمَامُ لِيوُءتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَلاَ تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ، وَإِذَا رَكَعَ فَرْكَعُوا، وَلاَتَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ، وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا : أَللهُمَ رَبَّنَالَكَ الحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فَسْجُدُوا، وَلاَتَسْجُدُواحَتَّى يَسْجُدَ، وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعِيْنَ (رواه أبو داود)

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Dijadikan imam itu tidak lain, melainkan untuk dituruti. Apabila imam takbir, kalianpun takbir dan jangan-lah kalian bertakbir, sehingga imam itu bertakbir. Bila ia rukuk, hendaklah kalian rukuk dan janganlah rukuk, sehingga ia rukuk. Apabila ia membaca “sami‘allahu liman hami-dah”, maka kalian harus membaca “Allahumma rabbana lakalhamdu”. Apabila ia sujud, maka sujudlah kalian dan jangan sujud, sehingga ia sujud. Apabila ia shalat dengan ber-diri, maka kalian shalat sambil berdiri dan apabila ia shalat sambil duduk, shalatlah ka-lian sambil duduk.

  1. Makmum mestilah mengikuti sepenuhnya, apa yang dikerjakan imam shalat. Imam ada-lah komandan bagi makmum yang berada di belakangnya. Cara makmum mengikuti i-mam, adalah setelah imam itu selesai memberi aba-aba.
  2. Makmum mengucapkan takbir, setelah imam selesai mengucapkan takbir. Makmum tidak dibolehkan mengucapkan takbir, bersamaan dengan imam mengucapkan takbir.
  3. Makmum bergerak rukuk, bila imam sudah rukuk (sudah dalam posisi rukuk). Untuk me-nandai imam sudah dalam posisi rukuk, yakni dengan selesainya ia takbir. Makmum tidak dibenarkan bergerak untuk rukuk, bersamaan dengan gerakan imam.
  4. Makmum bangkit dari rukuk, pabila imam selesai mengucapkan “sami’allahu liman ha-midah.” dan berdiri tegak lurus, dengan membaca “Allahumma rabbana lakalhamdu.” Makmum tidak dibenarkan bangkit bersamaan dengan bangkitnya imam.
  5. Makmum bergerak sujud setelah imam meletakkan keningnya di tempat sujud. Hal ini da-pat ditandai dengan selesainya ia takbir. Makmum tidak dibenarkan bergerak untuk sujud bersamaan dengan gerakan imam mau sujud.
  6. Makmum baru boleh bangkit dari sujud, ketika imam telah berada pada posisi duduk atau berdiri sempurna dan selesai mambaca takbir. Makmum tidak dibenarkan bangkit bersa-maan dengan bangkitnya imam.
  7. Begitu juga ketika bangkit untuk berdiri pada rakaat ketiga. Makmum baru boleh bangkit setelah imam berdiri tegak dan selesai membaca takbir.
  8. Begitulah seterusnya, makmum mesti menunggu imam selesai dengan bacaan takbirnya, tanda perpindahan dari satu rukun shalat ke rukun shalat yang berikutnya.
  9. Selain kaharusan di atas, ada beberapa kewajiban yang mesti dapat dilakukan oleh mak-mum, terutama beberapa orang (2 atau 3) yang berdiri pas di belakang imam, yakni:
    a. Mengingat imam, bila: bacaan imam salah atau kurang, kekurangan atau kelebihan rukun shalat, dan
    b. Menggantikan posisi imam, bila imam berhalangan tetap sebagai imam, misalnya: Buang angin (kentut), pingsan dan lain-lain.

INGAT !!!
Perintah shalat adalah perintah “tegakkan olehmu” (اقيموا) yaitu:

  1. Menegakkan pelaksanaan aturan yang telah ditetapkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW mengenai shalat, didalam shalat, dan
  2. Menegakkan isi komunikasi yang dibicarakan dengan Allah ketika shalat, dalam kehidupan sehari-hari.

Semoga bermanfaat.

Bagikan:
Ibadah Puasa, Sebuah Proyek Pembinaan Manusia
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

Mukaddimah


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة: ١٨٣)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. 2: 183)

Merujuk pada ayat di atas, kita mendapati sebuah proyek besar pembinaan manusia. Kenapa demikian? Karena dalam ayat itu, termuat pokok-pokok utama sebuah proyek, yakni: الصِّيَامُ (nama program), تَتَّقُونَ (tujuan akhir proyek), قَبْلِكُمْ (cara mengerjakan proyek), dan آمَنُواْ (pelaksana-nya). Untuk jelasnya, kita urai satu persatu.

Nama Proyek:
Nama proyek ini adalah: “Proyek Pembinaan Diri Manusia

Nama Program
Nama Program dari proyek ini adalah: الصِّيَامُ yang bila di bahasa Indonesiakan, artinya “menahan diri,” Kita biasa menyebutnya “puasa.”

Menahan diri (puasa), dapat memberikan arti sebagai: mengurangi, memberhentikan (baik untuk sementara maupun untuk selamanya), mengalihkan dan sejenisnya.


عَنْ أَبىِ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهُ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا كَانَ يَوْمِ سَوْمُ أَحَدُكُمْ فَلاَ يًرْفَثْ وَلاَيَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنّىِ صَائِمْ (متّفق عليه)
Dari Abu Hurairah RA, bersabda Rasulullah SAW: apabila seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, dan janganlah berteriak-teriak. Jika ia dicaci atau dimaki oleh orang atau diajak berkelahi, maka katakanlah “Aku menahan diri”.

Kegiatan menahan diri meliputi dua sisi kehidupan, yakni:

  1. Sisi biologis seperti: makan, minum dan berhubungan seks, dan kebutuhan pisik lainnya.
  2. Sisi non biologis, seperti: ketaatan, cara berpikir, emosi, kejiwaan, nafsu, dan lain-lain.

Tujuan Akhir

Tujuan akhir ibadah puasa adalah: تَتَّقُونَ yang bila dialih bahasakan ke bahasa Indo-nesia, bermakna: “Agar dirimu terpelihara.” Tattaquun ini merupakan kata turunan dari “wa-qoo” yang berarti “pelihara.”

Target
Target merupakan tujuan antara yang ingin dicapai dari masing-masing bagian dari keselu-ruhan bagian yang ingin dicapai dari tujuan akhir program.

Tubuh manusia memiliki 13 perangkat kerja yang terdiri dari informasi, penentu kebijakan dan pengambil keputusan dan eksekutor. Perangkat ini terdiri dari: telinga, mata, hidung, lidah, kulit, otak, hati, mulut, tangan, kaki, kemaluan, emosi dan nafsu.

Pelaksanaan
Pelaksanaan ibadah puasa, kita disuruh melihat bagaimana orang-orang terdahulu melak-sanakannya. Ibadah puasa itu sudah ada sejak nabi dan rasul sebelumnya. Nabi Muhammad SAW hanya meneruskan risalah ini dengan caranya sendiri. Beliau sampai menyebutkan bahwa puasa yang terbaik itu adalah puasanya nabi Daud AS, (puasa sehari dan sehari tidak).

Obyek Puasa
Yang menjadi obyek atau sasaran utama ibadah puasa, adalah perut. Perut tidak diberi asupan makan dan minum, sepanjang hari dari subuh hingga terbenam matahari, selama satu bulan penuh.

Perut merupakan sarana untuk mengolah bahan makanan menjadi sumber pembangunan tubuh/pisik dan karakter manusia. Perut itu bersifat netral. Ia tidak mempersoalkan bahan makan-an yang masuk ke dalamnya, apakah bahan itu baik atau bahan itu buruk, semuanya akan diolah-nya menjadi sumber pembangunan manusia.

Pada dasarnya, perut itu merupakan bagian utama yang mesti menjadi perhatian bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa, karena hal ini menyangkut pembangunan utama karakter ma-nusia, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةً فِيْهِ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (متّفق عليه)
Barangsiapa yang tidak berubah perkataannya dan perbuatannya, maka Allah tidak me-merlukannya/berhajat kepadanya dengan menahan makan/lapar dan minum/haus (puasa).

Jadi, meskipun yang menjadi sasaran/obyek puasa itu, adalah perut (bersifat pisik), akan tetapi akibat yang dilahirkan adalah pembinaan pisik dan karakter manusia secara menyeluruh.


Pelaksana
Pelaksana ibadah puasa adalah آمَنُوا atau “orang-orang yang beriman.” Dimaksud de-ngan orang-orang yang beriman, adalah orang-orang yang meyakini dengan sepenuh hati, bahwa beribadah dengan menggunakan konsep Islam ini, ia akan mencapai tujuan hidup yang diingin-kannya.
Semoga bermanfaat

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (41)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

MENJAGA KESEHATAN DIRI

Secara umum, sejak seseorang bangun dari tidur pada pagi hari (katakanlah ia bangun pada pukul 04.30 WIB atau kira-kira 30 menit sebelum waktu shalat Shubuh) hingga ia istirahat tidur pada pukul 22.00 WIB, maka selama rentang waktu itu atau kira-kira 17,5 jam posisi kepalanya berada di atas jantungnya. Dengan demikian selama itu pula jantungnya harus bekerja keras untuk memompakan darah dan oksigen ke otaknya.

حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ (البقرة: ٢٣٨)

Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.(QS.2:238)

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ ¤أُوْلَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ ¤ الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ¤ (المؤمنون: ٩-١١)

dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan me-warisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.(QS.23:9-11)

Shalat yang dilaksanakan menurut alur dan tempo yang benar (tertib)

عن أبي هريرة قال: أَوصَانِيْ خَلِيْلِيْ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ بِصِيَامٍ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتِيَ الضُّحَى وَأَنْ أُوْتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ (متّفق عليه)

Dari Abu Hurairah r.a., katanya; Saya diberi oleh sahabat karibku Rasulullah SAW, dengan tiga perkara; berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur.

عن معذة أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَمْ كَانَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى صَلاّةَ الضُّحَى، قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيْدُ مَاشَاءَ اللهُ ((رواه مسلم)

Dari Aisyah r.a. katanya; Rasulullah SAW biasanya melakukan shalat Dhuha empat rakaat, lalu beliau menambahnya menurut kemampuan beliau atau atas kehendak Allah.

عن أبي ذر رضي الله عنه قال: أَذَّنَ مُؤَذِّنُ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالظُّهْرِ،  فَقَالَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْرِدْ، أَبْرِدْ (أَوْ قَالَ: التَّظِرْ، التَّظِرْ) وَقَالَ: إِنَّ شِدَّةَ الحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَحَنَّمَ، فَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ، فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاّةِ، قَالَ أَلاَبُوْ ذَرِّ: حّتَّ رَأَيْنَا فَيءَ التُّلُلِ (متّفق عليه)

Dari Abu Dzar r.a., katanya; Muazzin Rasulullah SAW telah menyerukan azan pada waktu Zhuhur, lalu Nabi SAW bersabda : Tunggulah dingin, tunggulah dingin (atau tunggulah, tunggulah), lalu beliau bersabda; Sesungguhnya panas yang sangat itu dari uap jahannam, maka apabila panas sangat terik, tangguhkanlah shalat untuk menunggu dingin. Kata Abu Dzar, sehingga kami melihat bayang-bayang bukit.

عن أنس بن مالك قال: كُنَّا نُصَلِّى مَعَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سِدَّةِ الحَرِّ فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُّمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنَ الأَرْضِ بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ (رواه مسلم)

Dari Anas bin Malik r.a.  katanya; pernah kami shalat bersama-sama Rasulullah SAW, ketika panas terik; apabila seseorang tidak dapat meletakkan dahinya ke tanah, dihamparkannya baju yang dipakainya lalu ia sujud di atasnya.

عن أنس بن مالك قال: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المَدِيْنَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ قُلْتُ كَنْ أَقَامَبِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا (رواه مسلم)

Dari Anas bin Malik katanya; kami bepergian bersama-sama Rasulullah SAW dari Madinah ke Makkah, maka beliau shalat dua rakaat dua rakaat sampai kembali. Tanyaku kepada Anas, berapa lama Rasulullah SAW berdiam di Makkah? Jawab Anas, sepuluh hari.

عن بن عمر أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيْحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ المُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُوْلُ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ (رواه مسلم)

Dari Ibnu Umar r.a. katanya; bahwa ia adzan pada suatu malam yang sangat dingin, hu-jan dan angin, diucapkannya di akhir adzan; “Baiknya kamu shalat di tempatmu masing-masing (2X), kemudian ia berkata, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang adzan pada malam yang dingin atau hujan ketika dalam perjalanan dengan kalimat tersebut.

عن بن عمر قال: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَجِلَ بِهِ السَّيْرُ جَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ ( رواه مسلم)

Dari Ibnu Umar r.a. katanya; Apabila perjalanan Rasulullah SAW memerlukan kecepatan, beliau menjamakan Maghrib dengan Isya.

عن أنس بن مالك قال: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّرَ إِلَى وَقْتِ العَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَعَلَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَّرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه مسلم)

Dari Anas bin Malik katanya; Apabila Rasulullah SAW hendak bepergian dan berangkat sebelum matahari tergelincir, ditaakhirkannya Zhuhur lalu dijamakkannya  dengan Ashar, dan bila akan berangkat setelah matahari tergelincir, beliau shalat Zhuhur terlebih dahulu.

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 44
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Di sana, ada Iwan dan Man Keluk. Melihat Vitlan datang, Man Keluk menggeser duduknya memberikan tempat kepadanya. Vitlan mengeluarkan rokok, sembari duduk di sampingnya. Man Keluk mengambil bungkus rokok itu. Di lihatnya di dalam bungkus itu tinggal sebatang, ia mengurungkan niatnya mengambil rokok tersebut.

”Ambiak selah. Ambo masih ado ko” kata Vitlan, sambil mengangkat tangannya yang memegang rokok.

”Mokasih,” kata Man Keluk, sembari menyulutnya. 

”Ka maa rencana waang, satalah tamat ko?” tanyanya.

”Alun tahu lai, Man. Masih pikia-pikia,” jawab Vitlan.

”Jangan lupa, tayang pukul lima sore ini. Sebuah film spy yang dibintangi oleh aktor kawakan, Sean Connery,” teriak Iwan Kribo, melalui megaphone, memberitahu film yang akan main sore dan malam nanti, sambil menirukan suara tembak-tembakan, sebagaimana adegan yang terjadi di dalam film, membuat perbincangan mereka terhenti.

Iwan Kribo meneriakan iklan film-film yang akan tayang, sambil berjalan menyusuri jalan-jalan yang ada di kota Sawah Lunto. Ia sangat mahir, menirukan adegan-adegan yang ada dalam sebuah film. Bila film yang diiklankannya film koboi, ia akan menirukan derap langkah kuda diiringi suara ringkikannya, suara kereta api beserta bunyi pluitnya dan suara tembak-tembakan. Bila film silat, ia akan menirukan adegan silat. Begitu juga bila yang diklankannya film drama, ia akan menirukan suara rayuan, tangisan hingga suara desahan.

”Nonton yok, nanti malam!” ajak Iwan.

”Ayok,” balas keduanya.

”Ajak yang lainlah,” kata Man Keluk.

”Pastilah. Salero kito kan samo,” sela Vitlan.

”Kito nonton film nan terakhir yo,” kata Iwan.

”Sembaranganlah. Film terakhir jadi juo,” balas Vitlan.

” Kalau baitu, aden ikuiklah,” sela Indra.

”Berati lah barampek kito ma. Ambo pulang dulu di,” sambung Iwan, sambil meninggalkan mereka.

”Ambo pulang juolah,” sambung Man Keluk.

”Samolah. Ambo pun pulanglah,” kata Vitlan.

Sampai di rumah.

”Lan, iko ado titipan untuak waang,” sapa bu May, pemilik rumah, dari jendela.

”Mokasih, Buk,” jawab Vitlan setelah menerima titipan itu. Sebuah amplop berwarna kuning kecoklatan, seperti amplop dinas ukuran besar.

Tiba di kamar, Vitlan menghidupkan lampu dan menimbang-nimbang serta membolak-balik amplop tersebut. Ia mereka-reka isinya, karena isinya sedikit agak tebal, dari hanya sekadar surat. Dari bu Tina, gumamnya, setelah membaca nama pengirim. Di sudut kiri bawah amplop, ada tulisan dengan tanda seru digaris bawahi. ”Bukalah setelah kamu sampai di tujuan!!!” Vitlan mengurungkan niatnya untuk segera membuka amplop tersebut, kemudian mema-sukannya ke dalam kopernya.

Dalam hati, ia bertanya-tanya, apalah isinya, kok sampai ada pesan seperti itu. Ingin hatinya, untuk segera ke rumah bu Tina. Tapi niat itu diurungkannya. Sambil makan malam, pikirannya tetap tertuju pada pesan di amplop itu. Vitlan membiarkan piring dan periuk, di tempatnya. Saat itu, tidak ada keinginannya untuk segera mencucinya, sebagaimana biasanya ia lakukan setiap selesai makan.

Ia menyulut sebatang rokok dan mengunci pintu kamar, lalu berjalan ke pasar baru. Di jenjang kelok S, ia berpapasan dengan Armen, yang juga akan ke sana. Vitlan mengeluarkan bungkus rokok dan menawarkannya pada Armen. Ia mengambil sebatang dan menyalakannya dengan puntung rokok Vitlan.

Di depan kedai Indra, sudah berkumpul teman temannya. Ada sekitar sepuluh orang jumlahnya. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan lewat seperempat. Mereka secara beramai-ramai, membantu Indra mengemasi barang dagangan dan menutup kedainya. Setelah itu, mereka bergerak ke bioskop yang hanya berjarak dua bangunan dari tempat itu. Sampai di dalam bioskop, mereka memilih tempat di sebelah depan. Ekstra film yang segera tayang, sudah mulai diputar. Satu dua, penonton masih ada yang masuk.

Film sudah diputar. Mereka ikut mereaksi jalannya cerita. Tiba pada adegan intip-intipan antara anak mudanya dengan bandit, mereka ikut memberi aba-aba, ”awas, di sebelah bela-kangmu” atau ”awas, di balik bangunan” bila banditnya sedang berada di belakang atau di balik dinding. ”Asyiiik,” kata mereka bila melihat adengan percintaan. Begitu juga bila melihat adegan-adegan seru lainnya. Suara mereka, hampir-hampir mengalahkan suara sound bioskop. Penonton lain hanya geleng-geleng kepala, melihat tingkah pola mereka.

Efek dari film yang ditontonnya, membuatnya semakin bertekad untuk menghadapi tantangan yang mungkin akan dihadapinya sendirian di hari-hari, setelah ia mengambil keputusan akan hari depannya. Dalam kesendiriannya malam itu, Vitlan mencoba meneguhkan hatinya, sehingga dapat tidur sambil tersenyum.

Setelah berkemas, ia menemui ibu kosnya untuk pamitan, sembari menyerahkan kunci kamarnya. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke stasiun bus di pasar baru. Di sepanjang jalan, Vitlan berpapasan dengan bus dan truk, yang hari itu memadati ruas jalanan ke inti kota. Lebar jalan yang tidak begitu besar, membuat kendaraan berjalan lambat. Tiba di kelok S, Vitlan melihat di jalan sebelah bawah, dari deretan kendaraan itu ada beberapa bus. Satu di antaranya bus ALS. Ia bergegas dengan berlari mendekati bus tersebut dan melambaikan tangan ke stoker yang ada di pintu belakang. Bus segera menepi di seberang jembatan dan stokernya turun.

”Ke mana, Bang?” tanyanya

”Ke mana busnya, Bang?” Vitlan balik bertanya.

”Ke Medan,” katanya.

”Ikut, Bang,” kata Vitlan, terus naik ke atas bus.

”Kok lewat sini busnya, Bang?” tanya Vitlan, setelah duduk di sebelah stoker dan meletakan barangnya di balik sandara tempat duduk, yang biasa digunakan oleh supir untuk istirahat.

”Ada jalan rusak, putus menjelang Solok,” jelas stoker.

”Bang, berapa ongkos ke Medan, Bang,” tanya Vitlan.

”Tiga ribu sembilan ratus,” jawab stoker.

”Uangku cuma ada seribu lapan ratus, Bang,” kata Vitlan, sambil mengeluarkan uang yang ada di kantong celananya.

”Tak ada lagi uangmu, masak segini kau kasih ongkosnya,” kata stoker itu, menatap Vitlan.

”Ia, Bang. Itulah cuma uangku. Nanti kubantu-bantulah, Abang. Aku ingin sekali ke Medan, Bang,” harap Vitlan.

”Ada saudarmu rupanya di sana?” tanya stoker itu, dengan logat Mandailingnya.

”Ndak ada, Bang,” jawab Vitlan.

”Berani kali, kau. Tak ada saudara yang kau tuju,” lanjut stoker itu.

”Beranilah, Bang. Karena ndak saudaralah, makanya aku ingin merantau ke sana. Aku bisa mandiri, dalam mengerjakan apa saja, yang penting bagiku, halal,” jelas Vitlan.

”Hebat kali, kau. Siapa namamu?” tanyanya.

”Vitlan, Bang. Biasa dipangil Alan. Nama abang siapa?” kata Vitlan.

”Panggil saja aku, Sunan atau Unan,” jawabnya.

Bus bergerak meninggalkan Sawah Lunto menuju Batu Sangkar. Ruas jalan yang kecil, membuat bus tidak dapat melaju dengan maksimal. Menjelang tengah hari, bus tiba di sana, kemudian berbelok arah ke Padang Panjang terus ke Bukit Tinggi. Setelah menaikan beberapa penumpang, bus pun langsung meninggalkan Bukit Tinggi.

Keluwesan dalam bergaul disertai kecekatannya dalam bekerja, membantu Sunan mengangkat dan menyusun barang-barang bawaan penumpang, membuat Vitlan langsung dapat simpati dan segera menyatu dengan kru bus. Iapun langsung diajak makan bersama satu meja dengan mereka. Selain makan, Vitlan juga mendapat suguhan kopi dan puding telur setengah masak serta rokok. Suguhan seperti ini, terus didapatkannya setiap kali bus berhenti untuk beristirahat makan dan menunaikan ibadah, disepanjang perjalanan, hingga bus tiba di Medan.

Setelah membantu menurunkan semua barang bawaan penumpang, Vitlan berpamitan kepada bang Samin, bang Sutan dan bang Sunan.

”Makasih ya Bang, sudah memberi tumpangan padaku,” kata Vitlan dengan mata berkaca-kaca menyalami satu persatu dari mereka.

”Sama-sama Lan. Bila kau balik ke Bukit (Bukit Tinggi, red), jumpai kami saja ya,” kata bang Sutan.

”Ini sekadar beli rokok kau,” kata bang Samin, sembari menyelipkan sesuatu ke kantong bajunya.

”Makasih Bang,” katanya, kembali memeluk bang Samin.

 Perlahan Vitlan melangkah meninggalkan stasiun ALS dan berjalan menyusuri jalan Sisingamangaraja yang teduh oleh rindangnya pepohonan yang berada di kanan kiri jalan. ”Benar kata Besra. Medan ini dijuluki Paris van Sumatera,” katanya membatin.

Padanan kata:

Ambiak    = Ambil,     Selah   = Sajalah,        Pikia    = Pikir

bersambung

Bagikan:
Tabedo – Bagian 43
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Bu Tina segera bangkit mendekat ke pintu lalu membukanya. Ia menyongsong bu Lela dan membantu mengangkat barang bawaannya. Vitlan berdiri menyusul ke teras, ikut membantu.

”Selamat ya, Lan. Berhasil masuk kelompok siswa berprestasi,” sapa bu Lela menyalami Vitlan. 

”Makasih, Bu,” balas Vitlan.

”Ibu dengar, dapat prioritas masuk ke Ombilin ya?” tanya bu Lela, lagi.

”Iya Bu.” jawab Vitlan.

”Enaklah ya. Lulus ujian, langsung dapat tawaran kerja,” sambung bu Lela.

”Ya Bu. Tapi Alan masih ingin lenjut kuliah dulu, Bu,” jawab Vitlan.

”Ya, kalau bisa lanjut, bagus lanjut dululah pendidikannya. Nanti dapat kerjanya juga lebih baik,” katanya lagi.

”Teruskanlah ngobrolnya. Ibu masuk dulu,” lanjutnya, sembari beranjak ke bagian dalam rumah.

”Jadi kamu mau kuliah dulu, Lan? Bagaimana dengan tawaran kerja itu?” tanya bu Tina.

”Iyaaalah masak cuma tamat STM. Calonnya saja sarjana,” jawab Vitlan, sambil mengedipkan matanya pada bu Tina, yang membuatnya tersipuh.

”Kamu ingin kuliah di mana?” selidik bu Tina.

”Di mana bagusnya ya? Di Bandung apa di Jogja?” goda Vitlan.

”Jangan jauh-jauhlah Lan. Di Padang sajalah. Kan ada,” rengek bu Tina.

”Jurusan teknik terbaik itu, ada di Jawa,” sambung Vitlan.

”Jadi kamu mau pergi ke Jawa, Lan?” cemas.

”Bagaimana ya?” jawab Vitlan.

”Di Padang sajalah, Lan. Kan ada juganya jurusan teknik di FKIT-IKIP,” kata bu Tina.

”Tapi …” Vitlan belum sempat melanjutkan.

”Jangan tinggalkan akulah, Lan. Di Padang sajalah ya. Aku dapat mengunjungimu sesering mungkin,” kata bu Tina, menjangkau dan menggenggam erat tangan Vitlan.

Vitlan menangkap keseriusan di mata bu Tina. Untuk beberapa saat, ia terpaku di tempat duduknya, tanpa berusaha melepaskan genggaman bu Tina. Bu Tina meremas-remas tangan Vitlan, kemudian  menempelkan ke dadanya. Ia takut sekali, bila Vitlan pergi jauh darinya. Vitlan merasakan gemuruh di telapak tangannya. Kemudian tangannya beralih memegang kedua pipi dan menatap mata Vitlan dalam-dalam. Vitlan membiarkan tangannya dan tangan bu Tina, tetap berada di tempat.

Ia mencoba mencari sesuatu, di bola mata yang mulai berair itu. Ia menangkap keseriusan dan kecemasan yang mendalam di sana. Vitlan berusaha mengusap air mata yang membasah di pipi bu Tina. Bu Tina mengambil tangan itu dan menempelkan ke mulutnya lalu mengecupnya lamat-lamat. Suasana menjadi hening dan sahdu.

Pelan, Vitlan menarik tangannya, kemudian menyadarkan kepalanya di sandaran kursi, sambil menatap langit-langit. Sementara itu, bu Tina beran-jak ke dalam. Beberapa saat berlalu, ia kembali lagi. Ia menghampiri Vitlan dan membelai rambutnya, lalu mengecup keningnya.

Suara adzan maghrib terdengar berkumandang dari radio. Vitlan bangkit dan merapikan pakaiannya, lalu berjalan ke pintu. Bu Tina mengiringi sambil memeluk pinggangnya.

”Lan, jangan tinggalkan ibu ya? Kamu kuliah di Padang saja, di FKIT-IKIP. Kamu dapat jadi guru teknik,” kata bu Tina, melepaskan pelukannya ketika mereka sudah sampai di depan pintu.

”Nanti Alan pikirkan masak-masak, mana yang terbaik,” kata Vitlan, terus melangkah keluar.

”E e, kapan kamu mau pergi?” tanya bu Tina, me-nahan tangannya.

”Lihat dulu, satu dua hari ini,” Lanjut Vitlan, sambil melangkah meninggalkan rumah tersebut.

Vitlan bergegas ke rumah kosnya. Sumarno didapatinya sedang menggosok pakaian.

”Banyak gosokanmu, No?” tanyanya

”Masih ado duo pasang lai,” jawab Sumarno.

”Jaan dimatikan, yo. Ambo mau menggosok pulo. Sabanta, ambo mandi dulu,” kata Vitlan, terus mengambil handuk dan bergegas ke sumur.

Selesai shalat maghrib, ia bawa gosokan itu keluar, guna membuang abunya dan me-nambahkan sedikit arang tempurung. Dengan menggunakan buku tulis, ia kipas-kipas arang tempurung itu, hingga menyala. lalu dengan menggunakan batang besi kecil, yang satu ujungnya dibengkokan, sebagai pegangan, ia ratakan sebaran bara yang berada di dalam gosokan tersebut, agar panas yang ditimbulkannya jadi merata, di dasar gosokan.

Satu jam kemudian, seluruh pakaiannya sudah siap digosok dan dimasukan ke dalam koper. Vitlan melayangkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencari kalau-kalau masih ada yang belum dimasukan. Semua sudah masuk dan tidak ada yang tertinggal sama sekali. Ia menyulut sebatang kreteknya dan duduk lega di atas difan, selesai shalat Isya, ia keluar ke pasar Baru, cari makan malam dan  ngumpul di tempat biasa teman-temannya nongkrong, di depan kedai Indra.

Di sana, sudah berkumpul: Gedek, Bahrum, Gito, Ical, Anto, Armen dan lainnya.

”Hai Lan,” sapa mereka serentak.

”Hai juga,” jawab Vitlan, sambil menghenyakan pantatnya di bangku kayu.

”Selamatlah Lan, tamat sekolah langsuang dapek karajo,” kata Gedek memulai percakapan.

”Selamatlah ya Lan,” kata Anto, Armen, Indra dan Ison.

”Dapek karajo di maa, Lan?” tanya Indra

”Si Alan ko, masuak 5 besar siswa terbaik STM. Dapek tawaran dari Ombilin, untuak bakarajo di sinan,” kata Bahrum.

”Oi mak. Baruntuang bana waang yo Lan. Salamat-lah sakali lai,” kata Anto dan Armen, bangkit mengulurkan tangan mereka.

”Bilo acara selamatannyo, Lan?” sambung Indra.

”Alun lai. Ambo masih pikia-pikia,” jawab Vitlan, menyambut uluran tangan kedua temannya itu.

”Apo juo ka dipikiakan lai,” sela Indra lagi.

”Ambo dimintak urang gaek jo uda ambo untuak kuliah dulu. Soal karajo, urusan mereka mancarikannyo,” jelas Vitlan.

”Di maa kuliahnyo, Lan?” timpal Indra.

”Uda ambo mintak di Jakarta,” jawab Vitlan.

”Lamak bana, hiduik waang, Lan. Bilo ka sinan?” lanjut Indra.

”Alun tantu lai, Ndra. Caliak babarapo hari ka muko ko dulu,” jawab Vitlan.

.

Selesai ngobrol ngalar ngidul ke sana ke mari, bersamaan pula dengan usainya bioskop, mereka ikut membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Di ujung jembatan, Gedek dan Bahrum memisahkan diri. Vitlan dan Indra berjalan beriringan berdua, menuju tempat tinggal mereka di Kubang Sirakuak.

Tiba di kamar, setelah berganti pakaian, Vitlan membaringkan tubuhnya di dipan. Ia menyulut kreteknya yang masih panjang. Pikirannya mengembara dari, tawaran kerja, kuliah, bu Tina dan Emi yang pergi meninggalkannya begitu saja. Lain dari itu, ia ingin pergi sejauh-jauhnya dari keluarganya. Vitlan menyalakan ji sam soenya sebatang lagi. Malam semakin larut. Pikirannya pun larut dalam kebingungan dan angan-angan. Ia tak ingin kekecewaan, sakit hati, dendam menumpuk di dalam dada dan kepalanya. Vitlan ingin membawa kegalauan hati dan derita jiwanya, sejauh-jauhnya ke satu tempat di mana ia dapat mengubur semuanya dan mulai membangun kehidupan baru.

Dalam kelelahan jiwa, raga dan pikiran, akhirnya Vitlan terkulai tidur dengan puntung rokok masih menempel di sela jarinya. Ia baru terbangun, tatkala pintu kamarnya digedor-gedor dari luar, dan namanya dipanggil-panggil. Ia segera bangun menuju pintu lalu membukanya.

”Masuk, Bes. sebentar ya,” katanya beranjak ke kamar mandi.

”Apa yang kau kerjakan tadi malam, makanya jam segini baru bangun, kau?” tanya Besra, teman sekelasnya.

”Tak ada. Cuma mataku yang tidak mau tidur, tadi malam,” jawab Vitlan, sambil duduk bersandar ke dinding di atas difan.

”Apa yang kau pikirkan rupanya?” tanyanya lagi dengan logat Bataknya.

”Tak ada. Cuma bingung saja,” jawab Vitlan.

”Apa rupanya yang kau bingungkan. Tamat sekolah pekerjaan sudah menunggu. Apalagi,” tandas Besra.

”Itulah masalahnya, Bes. Aku masih ingin kuliah. Cuma aku bingung, mau kuliah di mana. Mama, kakak dan udaku, nyuruh aku kuliah di Jakarta. Sementara aku ndak ingin dekat dengan saudara. Aku ingin mandiri, jauh dari keluarga, sehingga aku bebas melakukan apa saja, sesuai kemauanku,” jelas Vitlan.

”Kalau di Padang, tidak uji kau kuliah?” tanya Besra.

”Di Padang lagi. Sedang di Jakarta saja aku ndak mau. Lagi pula, jurusan teknik Cuma ada di IKIP,” bela Vitlan.

”Kalau begitu, kau kuliah di Medan saja. Di sana ada USU dan ITS. Satu negeri satu swasta,” kata Besra.

(Vitlan tercenung, kemudian manggut-manggut) ”Betul juga yang kau katakan itu, Bes. Medan ya. Di sana ndak ada saudaraku, memang. Aku pernah ingin ke sana,” kata Vitlan.

”Medan itu, kotanya indah, jalan-jalan utamanya dipenuhi pohon rindang, sejuk, sampai di gelar Paris van Sumatera,” papar Besra.

”Kau pernah tinggal di Medan rupanya?” tanya Vitlan.

”Aku tinggal di Tarutungnya. Cuma aku pernah ke sana beberapa kali,” bela Besra.

”Kau sendiri, selesai dari sini, ke mana?” tanya Vitlan.

”Tergantung ito akulah. Ke Medan katanya, ke Medan aku. Di sini katanya, di sini aku,” jawab Besra.

”Kok gitu katamu,” tanya Vitlan.

”Iyalah. Aku ke sini kan dibawa itoku.. jadi ke mana ia pergi, ke situ pula aku,” jelas Besra.

”Ooo, gitu,” kata Vitlan.

”Sudah ya, Lan. Aku permisi dulu,” kata Besra mohon diri.

”Mau ke mana kau, Bes?” tanya Vitlan.

”Mau ke pasar dulu. Ya Lan, kalau jadi ke Medan kasih tahu aku ya?” kata Besra, sambil berlalu.

:Baik, nanti kukabari,” jawab Vitlan, melambaikan tangan.

Sepeninggal Besra, Vitlan berandai-andai sendirian. Andai kuliah di Jakarta, banyak saudara dan kerabat. Ndak bisa bebas. Andai kuliah di Padang, dekat dengan kampung dan keluarga, juga ndak bebas. Bekerja di Ombilin dan kawin dengan bu Ti-na. Punya keluarga, punya anak dan jaminan hidup. Tapi ndak mungkin dapat restu dari orang tua. ”Aku harus pergi jauh dan menghapus masa laluku,” katanya membatin. Medan, ya Medan. Satu-satunya tujuan untuk menghindari semuanya.

Vitlan tersenyum, telah mendapat jalan keluar, untuk masa depannya. Ia melirik kompor dan memeriksa minyaknya, ada. Ia segera memasak nasi sekenanya, karena temannya, Sumarno telah pulang ke kampung tadi pagi. Siap masak nasi, Vitlan pergi ke pasar baru untuk membeli lauk.

Siang itu, Vitlan dengan lahap. Nasi yang ia masak untuk dua kali makan, hampir habis disantapnya. Selesai makan, ia pantik sebatang rokok dan keluar duduk di bangku di bawah rambutan di halaman rumah induk. Sebatang habis lalu disambung dengan batang kedua. Hembusan angin sepoi-sepoi, membuatnya beberapa kali menguap. Tak tahan diserang kantuk, Vitlan beranjak ke kamar dan merebahkan badannya di atas dipan. Sebentar kemudian, ia langsung tertidur dengan lelapnya.

Suasana gerah di dalam kamar, membuat Vitlan terbangun. Ia lantas mencuci muka ke sumur, kemudian mengganti baju dengan kaos katun putih bertuliskan Levi’s. Melalui jalan belakang rumah yang teduh oleh rerimbunan pohon, Vitlan melangkahkan kakinya ke pasar baru. Di atas jembatan di sisi rel kereta api, ia berhenti memandangi jernihnya air sungai Lunto, mengalir membelah kota. Beberapa ikan kecil, terlihat dengan jelas, berenang di dalam air. Ia terus berjalan menuruni tangga, masuk ke dalam pasar yang kosong karena telah usai. Deretan kios tertutup satu persatu dilewatinya, hingga kemudian sampai di depan kios Indra.

bersambung

Bagikan: