LGBT, antara HAM dengan HAP
Bagikan:

Oleh: A R Piliang

Hak azasi manusia, atau yang lebih dikenal dengan sebutan HAM, adalah nilai-nilai universal yang melekat pada manusia. Nilai-nilai itu, antara lain, adalah: Hak hidup, hak mendapatkan pekerjaan, persamaan di muka hukum, perlindungan, hak menyampaikan pendapat di muka umum, hak berkelompok dan bersyarikat dan lain sebagainya.

Hak azasi perseorangan, adalah hak-hak yang melekat pada diri orang perorang yang bersifat individualis. Hak azasi persorangan ini, dapat sejalan dengan hak azasi manusia. Akan tetapi dapat pula berseberangan dengannya.

Bila nilai azasi manusia dibawa atau melekat seiring lahirnya anak manusia ke atas dunia. Sedangkan nilai azasi perseorangan, lahir dan melekat, akibat persinggungan dengan lingkungan hidupnya. Persinggungan ini, dapat terjadi akibat pengasuhan dan atau hubungan sosial.

Manusia adalah satu bagian dari kehidupan alam yang sepenuhnya tunduk kepada hukum alam. Hukum alam itu menetapkan manusia terdiri laki-laki dan perempuan, sebagaimana makhluk hidup lainnya, yang diciptakan dari jantan dan betina.

Hadirnya kehidupan berpasang-pasangan secara alami ini, adalah:

  1. Untuk mendapatkan kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan, dan
  2. Untuk menjamin keberlanjutan regenerasi.

Lesbian, gay, biseksual dan transgender, atau lebih dekenal dengan sebutan LGBT, adalah sebuah perilaku yang lahir dari proses interaksi antar individu (dari orang per orang). Bukan nilai azasi yang menyertai kelahiran manusia.

Mengaitkan hak azasi manusia dengan penyimpangan perilaku individu (perseorangan), tentu sangatlah tidak tepat. Yang satu adalah “Hak azasi manusia (HAM). Dan yang satu lagi adalah “Penyimpangan perilaku individu”Semoga bermanfaat.

Bagikan:
DPR RI Peduli Cagar Budaya, Pantau Pelaksanaan UU 11/2010
Bagikan:

Menarik diskusi DPR RI dan Pusat Kebudayan Minangkabau (PKM) di Nan Jombang Dance Company, Rabu tengah hari, 12 April 2013. Ada catatan tercecer menarik. Terkesan DPR RI peduli Cagar Budaya dan pendampingan regulasinya, sebut Ketua Umum PKM Shofwan Karim dalam pengantar singkatnya. Justru materi diskusi diarahkan pengumpulan data dan informasi pemantauan oleh DPR RI mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Diskusi dihadiri dari unsur PKM, Ketua Umum PKM Dr. Shofwan Karim, Sekretaris Umum SAKO Anak Negeri Dr. Hasanuddin, Ery Mefri dan Angga owner dan pimpinan Nan Jombang Dance Company dan penulis sendiri sebagai Sekretaris Umum PKM. Dari DPR RI hadir unsur Puspanlak UU Setjen dan BK DPR RI yakni: Ester Yolanda Panggabean, Yodia, Tasya dan Tata. Pelaksanaan diskusi didisain seperti FGD, semua yang hadir menjadi narasumber.

Dari diskusi lembaga legislatif dengan PKM, terbetik berbagai isu penting terkait norma dan implementasi UU Cagar Budaya itu. Saya mencatat dari diskusi itu, isu yang muncul itu terbagi dalam aspek substansi hukum/ norma, struktur hukum/ kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana dan budaya hukum. Artinya diskusi menjadi penting dalam upaya pemantauan dan evaluasi Pelaksanaan UU Cagar Budaya itu.

Intensitas Pelaksanaan Norma Hukum UU Cagar Budaya

Mengawali pembicaraan saya, memberikan pandangan bahwa pelaksanaan UU Cagar Budaya di Provinsi Sumatera Barat, sudah berjalan pada tingkat instansi terkait seperti di Dinas Kebudayaan dan atau Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan, terutama di BPCB dan BPNB yang menjadi sekarang BPK (Badan Pelestarian Kebudayaan). Faktanya penetapan cagar budaya misalnya di Provinsi Sumatera Barat tahun 2021 ditetapkan dengan SK Gubernur Sumatera Barat No.432-1939-2021 tanggal 28 Desember 2021 sebanyak 11 cagar budaya sesuai unsur/ karakternya atas usulan Kabupaten Kota Sawah Lunto, Sijunjung, Dharmasraya dan Solok.

Secara kategoris terkesan dalam proses pelaksanaan UU 11/ 2010 itu kurang tersosialisasi. Fenomena dan permasalan itu terlihat dalam proses penguasaan, pengalihan, pendaftaran, penetapan, penghapusan, pengelolaan, pelestarian, pelindungan, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran, pengembangan, penelitian, revitalisasi dan pemanfaatan cagar budaya di Sumatera Barat. Karena kurang tersosialisasi, menyebabkan masyarakat tidak banyak tahu tentang proses sumuanya itu. Kalau pun ada sosialisasi itu masih terbatas pada instansi tertentu, sehingga belum tercipta budaya dan karakter taat hukum baik pada masyarakat pendukung (living society) maupun pada masyarakat umumnya dalam kewajiban memelihara cagar budaya.

Secara faktual, karena tidak tersosialisasi dan tidak terbentuk budaya hukum, maka muncul berbagai ancaman perlindungan Cagar Budaya (CB) di Sumatera Barat. Di antara objek yang terancam dalam periode terkini adalah (1) hutan cagar budaya di DAS Batang Anai dan di pinggir jalan raya Lembah Anai Padang – Padang Panjang, sudah banyak bangunan didirikan, berakibat sering meluapnya Batang Anai itu, (2) Rumah Singgah Soekarno di Padang dirobohkan direncanakan di lokasinya akan dibangun restoran.

Fenomena perobohannya terakhir menimbulkan keributan di Sumatera Barat dan apa hendak dikata, rumah cagar budaya itu sudah dirobohkan. Ribut dan heboh itu diketahui masyarakat tidak banyak yang tahu bahwa rumah itu CB.
Fenomena tadi, beberapa CB yang tidak terpelihara bahkan terancam. Belum lagi yang dalam tahap Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) yang belum terdeteksi apalagi terdaftar. Seperti Rumah Singgah tempat bermalam Soekarno tahun 1942, dimungkinkan lebih dari dua atau tiga, belum terdaftar. Di Painan pun, terdapat rumah Singgah Seokarno tahun 1942 itu dalam perjalannya dari Bengkulu ke Padang. Rumah itu disebut Rumah Bajubin (berlantai jubin pertama) di Painan milik isteri Mohammad Zen alumni STOVIA, yang namanya diabadikan untuk nama Rumah Sakit Painan. Rumah Bajubin ini dipastikan belum teregistrasi, meskipun sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Selain itu masih banyak ODCB yang lain yang penemuan, pendaftaran dan peregistrasiannya memerlukan fasilitasi regulasi, UU dan PP yang tersosialiasi.

Hasanuddin Sekretaris Umum Sako Anak Negeri, mengakui ODCB yang belum terekrut informasinya dengan. Ia menyebut di nagarinya Nagari Kapalo Hilalang, Sicincin Padang Pariaman. Ia masih menemukan peninggalan lama artefak bernilai ODCB di Nagarinya itu tidak jauh dari DTW Tepian Pemandian Umum Lubuk Bonta, yakni Lesung Air atau Kincir, tempat penumbukan kopi masa Belanda abad ke-18. Dilaporkan ke pihak berwenang, terlambat direspon akhirnya dirusak masyarakat, lokasinya dijadikan tempat pasilitas publik (publik service). Ia menyatakan sedih, seperti juga pihak berwenang tadi menyatakan sedih.

Lain hal dengan pandangan Ery Mefri Owner Nan Jombang Dance Company. Ia menyayangkan, yang dianggap cagar budaya itu lebih dominan, peninggalan benda purbakala (artefak). Padahal katanya, banyak Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) dalam bidang seni. Betapa banyak seni langka, yang di Nan Jombang sendiri maupun bersama PKM, menggali dan mempertunjukannya kembali seni langka di nagari-nagari itu, untuk memberi tahu dunia, inilah peninggalan lama bidang seni yang kaya nilai dan filosofi masyarakat. Karenanya kata Ery, semestinya pembuat kebijakan meningkatkan komunikasi dengan masyarakat budaya dan regulasi yang dibuat mengakomadasikan seni langka sebagai bagian cagar budaya yang penting mesti didaftar dalam kerangka mewariskan nilai edukasi dan filosofi seni budaya masyarakat.

Tim DPR RI menanyakan, tentang pelaksanaan UU CB, dan peraturan lain, yang dimungkinkan ada potensi tumpang tindih atau disharmoni antara UU Cagar Budaya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sejauh ini saya dan PKM belum menemukannya aturan CB itu tumpang tindih, yang ada saja belum tersosialisasi. Apakah itu dimungkinkan karena saya belum begitu jauh melakukan kajian dan analisis kebijakan. Namun yang saya tahu, sebenarnya sudah ada homani sesuai amanat UUD NRI 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32 dan Pasal 33.

Artinya, dalam tilikan saya, bahwa pelaksanaan UU Cagar Budaya, secara kategoris mengarah sesuai dengan asas dan tujuan. Asas dan tujuan itu diamanatkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Cagar Budaya. Pun, Asas dan tujuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Cagar Budaya masih relevan dengan kondisi saat ini.

Aspek Substansi Hukum CB dan Ketakutan Masyarakat

Fenomena cagar budaya yang berada di per-air-an, Indonesia, pengamanannya penting. Karenanya perlu mengimplementasikan ratifikasi konvensi warisan budaya bawah laut Tahun 2001 (Convention on The Protection of Underwater Cultural Heritage/ UCH Convention).

Kalau tidak ada proteksi hukum, akan mengancam kelestarian keberadaan CB bawah laut. Bahkan dapat menenggelamkan pentingnya nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan. Misalnya, bangkai/ artefak kapal Belanda M.V. Boeloengan ditemukan di Kawasan wisata Mandeh Resort Pesisir Selatan, sebagai bukti Perang Dunia II perlu mendapat perlindungan bagi kepentingan sejarah.

Terdapat ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (6) UU Cagar Budaya, menyebut frasa “… dapat diambil alih oleh Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah”, sering menimbulkan ketakutan masyarakat. Fenomena ketakutan itu pernah menimpa masyarakat Sumbar. Kejadian di nagari tua Minangkabau, Sumatera Barat “Pariangan” disebut sebagai desa wisata terindah di dunia versi Amerika – Majalah Budget Travel kategori worlds 16 most picturesque villages pada 23 Februari 2012. Ketika pemerintah menawarkan bantuan rehabilitasi beberapa rumah gadang tua, pasca kunjungan Presiden Jokowi.

Di fikiran masyarakat akhirnya bukan bantuan, tetapi terbayang bagi mereka akan kehilangan rumah gadang mereka. Karenanya frasa “dapat diambil alih” itu perlu dijelaskan maksudnya dikuasai pemerintah benar dan atau hak penguasaan, namun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Artinya tidak objeknya tidak menjadi miliki pemerintah dan tidak seperti maksud “pengalihan” pemindahan hak kepemilikan. Justru hak milik pemerintah tidak yang ada adalah penguasaan, yang dikuasakan rakyat kepada pemerintah dan makanya pemerintah memberi perlindungan.

Lain pula halnya ketentuan pasal 24 ayat (2) UU Cagar Budaya mengatur bahwa “apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, dikuasai oleh Negara”. Sebenarnya sudah sesuai kondisi dan perkembangan dan disebut dalam UUD NRI 1945, namun dalam pelaksanaannya oleh penegak hukum, sering menimbulkan multi tafsir bahkan menakutkan masyarakat, merasa akan kehilangan harta peninggalan moyangnya, karena “dikuasi oleh negara” itu sering ditafsirkan “menjadi milik negara”. Dalam pemahaman masyarakat, milik negara tidak ada, yang ada menguasai dan diberi kuasa oleh rakyat untuk memberikan perlindungan. Sedangkan pemilik tetap pada rakyat, dan pemerintah memberi pasilitasi dan panduan hukum serta sanksi bila sengaja dirusak.

Artinya sepenting apapun cagar budaya itu dilihat dari jenisnya langka, rancangannya unik dan sedikit jumlahnya, tetap pemiliknya ada pada rakyat dan pemerintah memberi pasilitasi dan panduan hukum serta sanksi bila sengaja dirusak. Karenanya pula, jenis kelangkaan dan unik rancangannya dengan jumlah terbatas, penting diatur kriteria/ indikator temua cagar budaya itu sekaligus menentukan yang berwenang menentukan indikator dan kepemilikannya.

Tentang kewenangan, justru Pasal 30 UU Cagar Budaya mengatur bahwa “Pemerintah memfasilitasi pembentukan sistem dan jejaring Pendaftaran Cagar Budaya secara digital dan/atau nondigital”. Semestinya secara implementatif, tidak pemerintah saja tetapi juga setiap orang/ warga negara, berpartisipasi melakukan pendaftaran, sedangkan pemerintah di garda terdepan memberikan pasilitasi membentuk sistem dan jejaring pendaftaran itu sehingga mudah diakses.

Justru banyak Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) yang berlun terdaftar dan teregistrasi dan CB yang tidak terawat serta sulit diakses. Tentang registrasi selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor I Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya (PP 1 Tahun 2022) sebetulnya sudah menjelaskan rinci kearah penyelenggaraan Pasal 37 ayat (1) UU Cagar Budaya, yang kewenangannya diberikan kepada “Pemerintah membentuk sistem Register Nasional Cagar Budaya untuk mencatat data Cagar Budaya.” PP I/2022 sudah mengamanatkan secara rinci penyelenggaraan Register Nasional sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat (1) meliputi: Pendaftaran Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB), Pengkajian ODCB, Penetapan ODCB, Pencatatan Cagar Budaya, Pemeringkatan Cagar Budaya, Penghapusan Cagar Budaya dan Pengalihan hak Kepemilikan dan penguasaan. Sebenarnya secara substantif tidak berbeda, hanya saja untuk mengimplementasikan di lapangan sering multi tafsir juga, karenanya perlu penambahan penjelasan lebih lanjut baik di tataran aturan maupun oleh petugas lapangan.

Hukum Negara Selaras Hukum Adat: Malu dan Jera

Menyangkut sanksi, Bab XI UU Cagar Budaya telah mengamanatkan ketentuan sanksi pidana, tidak saja sudah sesuai, juga sudah seharusnya demikian. Pada perinsipnya sanksi diselaraskan hukum negara dengan hukum adat sebagai kearifan lokal. Kalau orang kaya dapat disanksi nilai tukar/ inflasi, tetapi kalau keadaan ekonominya kurang dapat disanksi hukum kurungan. Pertimbangan mendasar adalah memberi tingkat jera. Kadang hukum adat masyarakat hukum adat yang tidak ada penjara, hanya hukum malu, namun dalam pelaksanaannya lebih memberikan tingkat jera yang tinggi. Dalam hukum adat yang sanksi dengan nilai tukar/ inflasi dibayar bukan oleh yang bersalah/ pelanggar tetapi kerabatnya, artinya mempermalukan seluruh kerabatnya.

Sanksi perdata berupa penggantian denda, semestinya dipertimbangkan kondisi pihak pelanggar. Dipetimbangkan apakah pelanggar itu pengusaha dan atau perusahaan, orang asing dan atau rakyat biasa, sanksi denda tidak diberikan rata-rata, tetapi dipertimbangkan kondisi pelanggar tadi. Karena di dalam tatanan budaya masyarakat hukum malu lebih dahsat memberi tingkat jera. Sanksi diberikan pertimbangan kecerdasan intelegensi (pareso, periksa) dan kecerdasan emosional (raso, rasa) dalam norm Minangkabau raso – pareso: rasa dibawa naik, periksa dibawa turun, bertemu pada peringkat keadilan.

Karenanya sanksi dijatuhkan adil, dimulai dari memberi pertimbangan, pertimbangan diberikan di atas yang ada (kondisinya memungkinkan), sehingga sanksi itu dipandang adil sesuai alur dan patut dalam norm hukum adat Minangkabau sebagai sumbangan kearifan terhadap produk hukum negara.

Dalam fenomena kasus-kasus pelanggaran Cagar Budaya sudah mengarah sebagai kejahatan karena sudah menjurus ke mata rantai pemalsuan, pencurian dan penjualan ke luar negeri, saat itu penting pidana. Tentu saja mempertimbangkan norma hukum formal KUHP, juga pertimbangan moral justis yang berakar dari kearifan lokal bersumber adat budaya masyarakat.

Aspek Struktur Hukum dan Kelembagaan: Aktor Pemerintah dan Masyarakat

Amanat Bab V UU Cagar Budaya tentang aturan penemuan dan pencarian Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB), dalam implementasinya memberi peluang dan menemukan kendala. Memberi peluang baru, tidak saja aktivitas destruktif pada masyarakat mencari dan menemukan ODCB, tetapi juga peluang proyeksi baru dan agenda pemerintah sesuai kewenangan. Namun ditemukan kendala dalam masyarakat pada pengimplementasiannya, selama ini karena dimungkinkan UU Cagar Budaya ini belum tersosialisasi, dan karenanya belum terbentuk budaya hukum, bahkan masyarakat tidak tahu.

Yang masyarakat tahu, bahwa pencarian dan penemuan ODCB itu adalah kewenangan pemerintah saja, sehingga masyarakat tidak aktif berpartisipasi mencari dan menemukan ODCB dan pemerintah menunggu, sehingga kedua aktor (pemerintah dan masyarakat) itu tejebak dalam kancah “penantian yang tidak kunjung wujud” dalam pencarian dan penemuan ODCB itu. Bahkan banyak sekali masyarakat menemukan ODCB itu tetapi tidak tahu ke mana mau melaporkan sehingga diproses pemerintah menetapkan OCB.

Fenomena dan fakta itu banyak, ditemukan pada beberapa tempat seperti situs manuskrip Surau Gobah Tanjung Batangkapas dan atau di daerah lain yang banyak dipalsukan dan dijual ke luar negeri, kadang malah pemerintah tertipu membelinya yang palsu. Demikian situs megalit lainnya seperti makam orang rupit di Banda X Pesisir Selatan dan makam panglima raja seperti Tan Sri Dano Taluk, penghulu dan ulama seperti di Nagari Pagadih, lesung batu dan atau seperti mejan Nagari Suayan dan atau menhir di Nagari Mahat 50 Kota lainnya. Mejan Megalit dan menhir itu banyak berstatus ODCB, dibiarkan tercabut, tergeletak, bahkan dirusak menjadi batu asahan golok dan sebagainya seperti pernah kami tulis kesan perjalanan ke Nagari Suayan 50 Kota, karena masyarakat mencari dan menemukannya tak tahu ke mana mau melapor, lalu dibiarkan begitu saja sia-sia dan mengorbankan pewarisan nilai sejarah dan budaya bangsa di daerah.

UU CB Bab VIII mengatur terkait tugas dan wewenang Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah perihal cagar budaya, penting penjelasan mekanisme dan pola koordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten /Kota, dan pihak-pihak terkait di dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Selama ini dalam pelaksanaannya terdapat kendala, jangankan pemanfaatannya diharap jelas, bahkan baik masyarakat dan banyak aparat di kabupaten kota, yang tidak tahu mana saja yang cagar budaya di daerahnya. Solusi, penting disosialisasikan baik UU Cagar Budaya, mau pun CB dan atau ODCB yang sudah ditetapkan jenis dan peringkatnya oleh Bupati, Wali Kota dan Gubernur, sehingga membentuk kewaspadaan dini masyarakat taat hukum menangkal ancaman dan gangguan/ pengrusakan ODCB dan CB yang ada di wilayahnya. Kasus pengrusakan Rumah Singgah Soekarno di Padang yang ribut di media, dirusak karena tak tahu sebagai CB, dan atau Rumah Singgah Soekarno di Painan Rumah Berjubin tak diketahui apakah sudah ODCB atau belum, yang jelas rumah tua tempat singgah dan tidur Soekarno itu belum terperhatikan.

Persebaran cagar budaya Indonesia tentu BPK sudah melakukan mapping. Namun rasio CB dan PPNS pelestarian CB melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaaatan CB dan ODCB masih dikhatiri berjalan optimal. Masih ada kendala pada ketesediaan tenaga PPNS dengan upaya menarik dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian CB dan ODCB yang sangat banyak tersebar di kawasan nagari/ desa di Sumatera Barat dibanding antara yang tidak teregistrasi dengan yang sudah teregistrasi dan ditetapkan sebagai CB dan ODCB. Solusi, pencarian, penemuan, penetapan, pengembangan, pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan CB, disarankan upaya kawal ketat dipasilitasi kebijakan/ regulasi yang tersosialisasi dan disertai petugas lapangan di samping juru juru pelihara CB lainnya yang piawai merekruit partisipasi para pihak aktor pembangunan termasuk aktor masyarakat tradisional.

Aspek Pendanaan Cagar Budaya
Registrasi ODCB dan perawatan CB mahal

Sebenarnya UU CB Pasal 98 sudah mengatur pendanaan. Namun disarankan, sebaiknya masyarakat jangan dibebani tanggung jawab dana, karena masyarakat pemilik justru seharusnya diberi jasa perawatan di samping peneydiaan dana pelestarian yang cukup oleh pemerintah dan pemda. Sumbernya tentulah sudah tepat dari APBN, APBD, Hasil Pemanfaatan CB dan Sumber lain yang sesuai peraturan perundang-undangan.

Pengalokasi anggaran semestinya dana sharing Pemerintah dan Pemda dengan perinsip proforsional. Justru Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana cadangan untuk Penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya, dipandang sudah sesuai dengan kondisi sekarang. Pengalokasian anggaran untuk perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan kompetensi Cagar Budaya, dipandang sudah seharusnya, bahkan terpikir: penting pula penyediaan anggaran pencarian dan penemuan peranserta masyarakat dihargai dengan pendanaan yang pantas.

Implementasi terkait dengan pengelolaan alokasi anggaran tersebut karena terdapat pendapat bahwa pengalokasian anggaran tidak dikelola sebagaimana mestinya melainkan hanya terbatas pada Pendapatan Asli Daerah (PAD, dipandang tidak pantas. Sebab CB sebagai aset, jangan ditafsirkan hanya menghasilkan PAD semata, tetapi juga ad pengalokasian anggaran, naum juga harus dipertimbangkan pentingnya pelestarian untuk memelihara nilai budaya dan sejarah. Kalaupun setiap aset ada PAD, justru seharusnya berbagi keuntungan antara penguasaan pemerintahan dengan kepemilikan pada rakyat, jangan hanya semua dipungut untuk pemerintah tetapi ada bagian masyarakat. Karena pada perinsipnya, penguasaan dan perlindungan diberikan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat.

Aspek Sarana dan Prasarana – UU CB

Penting senantiasa ada upaya teknis dukungan pelestarian cagar budaya sejalan dengan Pasal 54 UU Cagar Budaya yaitu “Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai”. Tim DPR RI selanjutnya menanyakan Pasal 96 ayat (1) huruf k UU Cagar Budaya “mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan”. Tim DPR RO dan PKM sama melihat, bahwa implementasi dukungan jumlah, pemerataan, serta teknis dan/atau kepakaran dari Tenaga Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, dan Juru Pelihara saat ini, adalah penting, (1) pemastian rasionya berbanding jumlah CB dan atau ODCB, (2) berimbang tenaga teknis, juru pelihara dan tenaga ahli sekaligus pendistribusian kewenangan. Karena berfikir boleh stinggi langit tetapi bekerja sesuai kewenangan.

Kendala dalam pelaksanaan dukungan teknis dan/ atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/ atau yang dikuasai, belum dirasakan, terutama dukungan teknis dan juru pelihara, sehingga banyak kasus CB yang dirusak lantaran masyarakat bahkan ada pegawai negara yang tidak tahu bahwa itu CB di daerahnya. Solusi yang mungkin ditawarkan, teruslah kembangkan kebijakan manajemen sumber daya manusia (MSDM) di bidang kepurbakalaan terutama pada tenaga teknis dan juru pelihara berbasis pengalaman masyarakat dan kearifan lokal di mana wilayah terdapat CB dan ODCB.

Demikian pula implementasi dukungan fasilitas pemanfaatan dan promosi cagar budaya, semestinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masa kini dilakukan dengan beradaptasi pada benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya oleh pemerintah, pemerintah daerah, pihak-pihak terkait, dengan menciptakan branding baru pemanfaatan CB dan ODCB.

Begitu pula branding penerapan perkembangan teknologi informasi terhadap penguasaan, pengalihan, pendaftaran, penetapan, penghapusan, pengelolaan, pelestarian, pelindungan, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran, pengembangan, penelitian, revitalisasi dan pemanfaatan cagar budaya, disejalankan dengan dengan tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masa kini beradaptasi CB dilakukan pemerintah dan Pemda serta masyarakat. Penerapannya menarik pemikiran Seminar – Kongres Kebudayaan PKM terakhir akhir tahun lalu, (1) memperhatikan nilai ketangguhan dasar negara Pancasila, juga mempertimbangkan, (2) mencermati transformasi kuasa internet dan kondisi penetrasi internet di Indonesia, (3) memperhatikan isu futuristik metavers praktis membentuk comunitas virtual yang saling terhubung, bekerja dan bertemu meskipun tidak satu meja dan atau sekantor, (4) memperhatikan upaya perawatan generasi masa depan yang teck savvy yang tetap mempertahankan identitasnya yang sebagian nilai idnetitas itu bersumber dari kebudayaan bangsa termasuk bersumber CB dan atau ODCB ini yang mendorong mereka mencintai kebudayaan daerah mereka (seperti Minangkabau) sebagai bagian integral kebudayaan bangsa Indonesia.

Kendala, selama ini masih terdapat kesenjangan antara tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masa kini, sehingga pemerintah mau pun masyarakat kesulitan bersama, dalam branding CB dan ODCB meskipun sudah menggunakan teknologi. Solusi, ciptakan branding dengan pemanfaatan teknologi, tutup lobang defisit dan tegakan hukum dengan menciptakan masyarakat berkarakter sadar hukum melalui sosialisasi sepertu UU Cagar Budaya itu.

Aspek Budaya Hukum dan Edukasi

Dalam aspek budaya hukum dan edukasi, penting implementasi pemberian edukasi mengenai cagar budaya kepada masyarakat. Karena secara empiris banyak ditemukan permasalahan pelestarian cagar budaya di antaranya: masih rendah kesadaran dan kepedulian sebagian masyarakat terhadap nilai penting Cagar Budaya. Faktanya masih marak tindak pelanggaran terhadap upaya perlindungan Cagar Budaya di beberapa daerah, seperti pencurian, pemalsuan, pembawaan Cagar Budaya ke luar negeri secara illegal, corat-coret pada batu-batu Candi bahkan mrusak dan meruntuhkan dan kasus lainnya.

Ada indikasi, masih sangat rendah keterlibatan masyarakat di dalam pengamanan, pengelolaan dan pelestarian cagar budaya. Seharusnya peran serta masyarakat dalam pelestarian cagar budaya harus tinggi dan dipasilitasi kebijakan. Sebenarnya secara kategoris peran serta masyarakat itu sudah terakomodir dalam pasal-pasal UU Cagar Budaya ini, intensitasnya penting diadvokasi.

Adalah penting masukan dan saran sebagai sebuah rekomendasi, terkait fenomena implementasi UU Cagar Budaya. Di antaranya, UU ini penting dilakukan advokasi ke arah perubahan. Perubahan dan atau pergantian penting melihat dari aspek budaya hukum dan edukasi, aspek saran adan prasarana, aspek pendanaan, aspek struktur hukum dan kelembagaan dan aspek substansi hukum lainnya tentang cagar budaya.*

Bagikan:
Antara Dua Hari Raya
Bagikan:

Oleh: A R Piliang

Ummat Islam mengenal dua hari raya, yakni:

  1. Hari raya Idul Fithri, atau hari Berbuka.
    Disebut Idul Fithri (hari berbuka), karena pada hari itu semua orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, wajib berbuka (haram berpuasa), sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Rasulullah SAW.
  2. Hari raya Idul Adh-ha. Hari raya ini, biasa juga disebut dengan Idul Qurban dan Idun Nahar. Disebut Idul Qurban, karena pada hari raya itu diadakan penyembelihan hewan qurban. Dan disebut sebagai Idun Nahar, karena hari raya itu, ditambah dengan hari-hari Tasyriq selama tiga hari, disediakan untuk makan-makan dan bergembira dan berdoa.

Persamaan dan perbedaan.

a. Persamaan kedua hari raya Idul Fithri dengan Idul Adh-ha, adalah:

  1. Sama-sama ada shalat Id nya dan
  2. Sama-sama haram berpuasa padanya.

b. Perbedaannya, adalah:

  1. Pada hari raya Iduk Fithri, haram berpuasa hanya satu hari. Sedang pada hari raya Idul Adh-ha, haram berpuasa adalah selama empat (4) hari, yakni 1 hari raya ditambah 3 hari tasyriq yaitu, tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzul hijjah.
  2. Di hari raya Idul Fithri, hanya ada zakat Fithri, yang manfaatnya untuk satu hari makan, bagi kaum du’afa. Sedang di hari raya Idul Adh-ha, adalah sembelihan hewan qurban, sebanyak 1 ekor domba, hingga 1 ekor sapi/unta/kerbau, yang dapat dinikmati selama beberapa hari, sambil bergembira ria, dengan segala macam bentuk kegembiraan (bernyanyi, menari, rekreasi, wisata dan lain-lain).

Renungan!
Rasulullah SAW, telah menetapkan hari raya Idul Adh-ha ditambah hari-hari tasyriq, selama 4 hari (mungkin dapat ditambah, berdasarkan kebijakan/kesepakatan bersama), untuk memuaskan dahaga pada kesenangan duniawi, seperti: pentas seni dan budaya, rekreasi, wisata, pulang kampung, berkunjung ke sanak famili, handai taulan, sahabat dan relasi dan lain sebagainya.

Mengapa itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru kita memindahkan kegiatan tersebut ke hari raya Idul Fithri, yang liburnya hanya satu hari.
Padahal dengan melebarkan Idul Fithri, menjadi berhari-hari, tidakkah sebanarnya dapat menjadikan manfaat ibadah puasa yang telah kita bangun dengan baik selama sau bulan, kembali ke titik nol?

Semoga bermanfaat.

Bagikan:
Evaluasi Puasa Menuju Peningkatan Kualitas Diri
Bagikan:

Oleh: A R Piliang

Kita (ummat Islam), sudah selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan, selama satu bulan secara berturut-turut. Selama itu pula, telah terjadi secara sistemik sebuah proses pembiasaan.

Menurut teori perubahan perilaku, sebuah proses pembiasaan yang berlangsung secara terus menerus, maka dalam jangka waktu tertentu, akan lahir sebuah kebiasaan, dari proses pembiasaan tersebut.

Waktu satu bulan (29 a 30 hari), sebenarnya lebih dari cukup untuk melahirkan sebuah kebiasaan. Bahkan sebuah pelatihan yang berlangsung secara sistemik, dapat merubah sebuah perilaku lama menjadi perilaku yang sama sekali baru, bahkan dalam satu pekan.

Dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, ada beberapa proses pembiasaan yang dilakukan ummat, antara lain:

  1. Berbuka puasa, setiap kali matahari tenggelam (masuk waktu shalat maghrib),
  2. Melaksanakan shalat fardhu berjamaah, (hampir) di setiap waktu di masjid,
  3. Membaca (tadarus) al-Qur’an, pada malam-malam Ramadhan,
  4. Berinfaq dan bersedekah, dan lain-lain.

Bulan Syawwal, merupakan bulan peningkatan kualiatas perbadatan kita, menuju kualitas taqwa, sebagai kualitas paripurma manusia di sisi Allah (inna aqramakum indallahi atqakum).

Sebelum kita menuju ke sana, bolehlah masing-masing dari kita mengevaluasi (bermuhasabah) diri, terhadap ibadah puasa yang telah kita jalani selama satu bulan berlalu:

  1. Apakah kita menjadi lebih disiplin dan tepat waktu, sebagaimana displinnya kita menjaga waktu berbuka kita selama Ramadhan?
  2. Apakah kita sudah mulai melaksanakan shalat-shalat fardu kita, secara berjamaah di masjid, sebagaimana kita telah mencoba membiasakannya selama Ramadhan?
  3. Apakah kita menjadi lebih sabar, lebih pemurah, lebih peduli, sebagaimana kita perbuat selama puasa Ramadhan?
  4. Apakah membaca al-Qur’an, menjadi bacaan harian kita, sebagaimana yang kita lakukan selama bulan Ramadhan?

Kita masih dapat membuat lebih banyak pertanyaan, yang mengarah kepada pembinaan kepribadian kita, dari apa yang kita lakukan, rasakan selama menjalani ibadah puasa Ramadhan?

Jangan sampai, ibadah puasa Ramadhan, yang telah kita laksanakan itu, begitu Ramadhan berlalu, iapun berlalu begitu saja. Bagai pasir di atas batu. Begitu datang hujan, iapun terkikis habis tak berbekas.

Ingat!!!
“Segala sesuatu yang kita kerjakan, hasilnya adalah untuk diri kita sendiri” dan “Seseorang tidak akan memperoleh hasil, selain dari apa yang diusahakannya”

Semoga bermanfaat.

Bagikan: