Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (8)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

Tata cara mandi yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW adalah:

Pertama-tama ambil air dengan tangan, lalu jari-jari tangan yang basah tersebut dimasukkan ke pangkal-pangkal rambut, kemudian siramkan air ke kepala tiga kali si-raman, lalu siramlah seluruh tubuh secara merata, sabuni seluruh permukaan tubuh, kemudian siram sampai bersih, kemudian cucilah kedua kaki.

Bagi yang berjunub, maka sebelum melakukan kegiatan mandi seperti di atas, ter-lebih dulu mencuci kedua tangan, lalu menyiramkan air dengan tangan kanan atas ta-ngan kiri, lalu mencuci kemaluan, kemudian berwudhuk.

عن عائشة رصي الله عنها قالت: كَانَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَااَغْتَسِلُ مِنَ الجِنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ، قُمَّ يُفْرِعْ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فِيَغْسِلُ فَرْجَهُ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ، ثُمَّ يَأْخُذُالمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى أُصُوْلِ الشَّعْرِ قٌمَّ حًفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ حَفَنَاتٍ قُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ (متّفق عليه)
Dari Aisyah r.a., ia berkata; Adalah Rasulullah SAW mandi jinabat, beliau mulai dengan mencuci dua tangannya, lalu beliau menyiramkan dengan yang kanan atas yang kiri, lalu beliau mencuci kemaluannya, lalu berwudhuk, lalu beliau mengambil air, lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke pangkal-pangkal rambutnya, lalu beliau menyiram kepalanya tiga kali siraman, lalu beliau menyiram seluruh tubuhnya, kemudian mencuci kedua kakinya”.

Tayammum

Tayammum adalah cara alternatif bersuci, yang disebabkan oleh tidak ada atau ter-sedianya air untuk bersuci, atau sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang menyentuh air, baik untuk berwudhuk maupun mandi.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ وَإِن كُنتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مَّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (المائدة:٦)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih). sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Tayammum dilakukan dengan cara menempelkan telapak tangan ke tanah, kemudian menepukkannya, lalu menyapu muka dengan dua tangan, kemudian menempelkan telapak tangan ke tanah, lalu menepukkannya, kemudian mengusapkan telapak tangan yang kiri ke tangan kanan yang dimulai dari punggung tangan sampai ke siku, terus bagian muka telapak tangan. Seterusnya mengusapkan telapak tangan yang kanan ke tangan kiri yang dimulai dari punggung tangan sampai ke siku, terus bagian muka telapak tangan.

عن عمّاربن ياسررصي الله عنه قال: بَعَثَنِى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍفَأَجْنَبْتُفَلَكْ أَجِدِ المَاءَ فَتَمَّرَغْتُ فِي الصَّعِيْدِ كَمَا تَتَمَرَّغُ الدَّابَّةُ، ثُمَّ أَتَيْتُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذٰلِكَ فَقَالَ: إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَقُوْلُ بِيَدَيْكَ هٰكَذَا، ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ مَثَحَ الشِّمَالَ عَلَى اليَمِيْنِ وَظَاهِرَكَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ (متّفق عليه، واللفظ لمسبم، وفي روايف للبخارى؛ وَضَرَبَ بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْحَهُ وَكَفَّيْهِ

Dari Ammar bin Yasir r.a., ia berkata; Nabi mengutus saya untuk satu keperluan, maka saya berjunub dan tidak menemukan air, lalu saya berguling-guling di tanah seperti binatang; kemudian saya datang kepada Nbi, maka sabdanya: “Cukuplah bagimu berbuat dengan kedua tanganmu begini; kemudian beliau tepukkan kedua tangannya ke tanah satu kali, lalu beliau menyapukan yang kiri atas yang kanan, dan belakang dua telapak tangannya dan mukanya”.

Dan dalam riwayat Bukhari; “Dan beliau menepuk dua tangannya,lalu meniup keduanya, kemudian beliau mengusap mukanya dan dua tangannya”

”.

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 11
Bagikan:

Oleh: Phillar Marmara

Setelah menghisap sebatang rokok, Mak berangkat naik beca mak Udin menuju pajak jalan Sutomo untuk membeli bahan-bahan keperluan kedai nasi.

Pajak jalan Sutomo ini merupakan sebuah pasar tak resmi dan buka dari tengah malam sampai pagi saja. Pajak ini berada di sepanjang jalan Sutomo di sekitar persimpangan jalan Seram, dan dijadikan sebagai pusat grosir sayur mayur dan hasil bumi lainnya di kota Medan. Pajak ini memulai aktifitasnya sekitar pukul 23.00 WIB, ketika truk-truk dari segala jenis dan ukuran yang mengangkut sayur mayur dan hasil bumi lainnya mulai berdatangan ke tempat ini.

Angkutan ini umumnya datang dari daerah dataran tinggi Tanah Karo, khususnya Brastagi dan sekitarnya. Kebanyakan dari pedagang sayur-mayur ini berasal dari suku Karo. Sebahagian dari pedagang yang ada di sini sekaligus juga merupakan pemilik kebun yang menjual sendiri hasil kebunnya. Menjelang pembeli datang, mereka tidur di emperan toko di sepanjang jalan di mana mereka memarkirkan kendaraan atau di atas tumpukan barang dagangan mereka.
Pada pukul 02.00 dini hari, pembeli dari seluruh penjuru mulai berdatangan ke tempat ini. Pebelanja yang datang ke sini, umumnya adalah pedagang kebutuhan pokok yang berjualan di berbagai pajak pagi atau kedai sampah di seantero kota Medan dan sekitarnya. Begitu pula dengan pengusaha Rumah Makan dan sebahagian kecil ibu-ibu ramah tangga. Kegiatan pasar ini, secara umum biasanya sudah berakhir pada pukul 08.00 pagi. Meski demikian, ada juga beberapa pedagang yang masih berjualan hingga menjelang tengah hari.

Mak sengaja memilih tempat ini sebagai tempat belanja, karena selain semua kebutuhan pokok tersedia di sini, harganya juga murah. Lagi pula pajak di jalan Mahkamah dan pajak jalan Halat yang terletak dekat rumah baru buka pada pukul 07.00 pagi, di mana pada waktu yang sama Mak sudah mulai melakukan aktifitas dapur, mengolah bahan-bahan keperluan untuk kedai nasi.

!!!

Pukul 06.00 pagi, Vitlan bangun. Setelah shalat subuh, ia tidur lagi dan baru bangun pukul 09.00 WIB kurang sedikit. Ia turun langsung turun ke lantai dasar untuk sarapan pagi.
“Hei, bangun-bangun langsung ambil piring, Waang pasti tak subuh tadi,” sela Mak ketika dilihatnya Vitlan mengambil piring.
“Sudah Mak, habis subuh awak tidur lagi,” jawab Vitlan sambil menyendok nasi dari dandang dan mengambil lauk pauk dan berlalu melalui pintu belakang. Ia duduk di pelataran rumah tetangga di lorong di belakang rumah.

Lorong itu bersih dan sejuk karena dibuat dari semen dan terlindung dari sinar matahari pagi. Cahaya matahari baru akan mengenai lorong tersebut bila hari sudah menjelang siang, kira-kira pukul sepuluh. Lorong itu merupakan sebuah gang buntu yang di sana hanya terdapat beberapa buah rumah saja. Di sore atau malam hari, gang itu sering digunakan oleh warga untuk tempat kumpul.

Selesai makan ia nyalakan sebatang rokok dan dengan santainya berselonjor kaki dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Baru beberapa isap ia merokok, Vitlan teringat sesuatu.

“Wah, sudah lewat pukul Sembilan,” desisnya tatkala melihat jam yang terpampang di dinding ruang tamu rumah di depannya. Ia segera bangkit dan masuk ke dalam rumah, ganti pakaian, kemudian pamit sama Mak.
“Mak, awak pergi ya,” katanya sambil bergegas ke depan.
“Hei, mau ke mana Waang,” tanya Mak heran, karena tak biasanya ia tergesa-gesa seperti pagi itu, belum mandi lagi.
“Mau ke stasiun kereta api Mak,” jawab Vitlan tanpa berhenti maupun menoleh ke belakang.
“Bang Gabe, stasiun kereta api bang,” kata Vitlan kepada abang beca mesin yang dipanggilnya Gabe tersebut, sembari melompat ke atas becak mesin. Gabe menghidupkan mesin becaknya.
“Agak cepat sikit Bang, sudah mau terlambat nih,” kata Vitlan
“Baik Lan, mau ke mana kau rupanya?” balas Panggabean.
“Ada yang mau kukejar ke sana, penting kali Bang,” kata Vitlan

Panggabean mempercepat laju becak mesinnya. Setelah membayar ongkos beca, Vitlan segera masuk ke peron. Begitu sampai di sana kereta api telah mulai bergerak meninggalkan stasiun. Ia mencari ke sana ke mari ke deretan pengantar, begitu dilihatnya Cicik, Raudah dan ibunya berdiri, setengah berlari ia mendekat. Di atas gerbong kereta api dilihatnya Icha melambaikan tangan dan Vitlan membalas lambaian itu. Ia terus melambaikan tangannya sampai kereta api hilang dari pandangannya.

Sesaat kemudian, berempat mereka ke luar meninggalkan stasiun. Sewaktu berjalan beriringan tersebut, Cicik menyerahkan sesuatu ke tangan Vitlan,
“Ini titipan dari Icha buat abang,” kata Cicik.
“Oh ya?” jawab Vitlan singkat sambil menerima titipan tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
Sampai di luar stasiun, Vitlan pamit kepada mereka.
“Buk, saya pergi dulu, Cik, Raudah pergi dulu ya,”
“Ya, Nak Alan,” jawab ibu Cicik
“Ya Bang,” balas Cicik dan Raudah.

Vitlan menyetop Sudaco, naik dan hilang dari pandangan mereka.
Beberapa saat setelah duduk di dalam Sudaco, Vitlan merogoh kantongnya dan mengeluarkan titipan yang diberikan Cicik tadi. Sebuah cincin emas. Bergegas ia masukkan kembali cincin emas tersebut ke adalam kantongnya.
Sampai di rumah, Vitlan langsung ke kamar di lantai dua, merebahkan diri di ranjang. Tangannya mengeluarkan cincin mas itu dari kantong dan memandanginya lamat-lamat, sembari memain-mainkannya di tangannya. Ia membatin,
“‘Icha, meski baru sesaat aku mengenalmu, sudah dapat kupastikan bahwa kau gadis yang baik, cantik, polos dan bersahaja. tak seharusnya kau mendapatkan penolakan atas ketulusanmu. Takkan kusia-siakan perhatianmu dik.”

Padanan kata:
Pajak = pasar
Kedai sampah = kedai (biasanya ada di pemukiman), yang menjual 9 bahan pokok dan kainnya.

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (7)
Bagikan:

0leh: AR Piliang

Setelah diambil darah

Dalam perbuatan keseharian masyarakat Islam, pengambilan darah biasanya dilakukan pada waktu berbekam. Pengambilan darah seperti ini dilakukan dalam rangka pengobatan
Bekam adalah salah satu jenis pengobatan yang ada dalam ajaran Islam. Bekam dilakukan dengan melukai bagian tubuh tertentu, kemudian melakukan penyedotan darah dalam jumlah tertentu dengan menggunakan alat sedot khusus.

Saat ini, pengambilan darah tidak saja dilakukan untuk keperluan pengobatan, akan tetapi juga dalam kegiatan sosial, membantu sesama manusia melalui donor darah. Tidak seperti bekam, darah yang diambil waktu donor darah tidak dibuang, akan tetapi ditampung dalam satu wadah steril, untuk kemudian digunakan membantu pasien yang kekurangan darah akibat operasi atau pendarahan.

عن عائشة رصي الله عنها قالت: كَانَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَغْتَسِلُ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنَ الجَنَابَةِ، وَيَوْمَ الجُمُعَةِ، وَمِنَ الحِجَامَةِ، وَمِنَ الغُسْلِ المَيِّتِ (رواه أبوداود)

Dari Aisyah .a., ia berkata; Adalah Rasulullah SAW suka mandi di empat kesempatan; waktu janabat, hari Jumat, lantaran diambil darahnya, dan lantaran memandikan mayat.

Baru masuk Islam

Dalam terminologi Islam, orang yang bukan Islam dianggap kotor. Oleh karena itu bila seseorang menyatakan diri masuk agama Islam, maka kepadanya diwajibkan mandi. Kegiatan mandi itu sendiri dilakukan setelah ia mengucapkan kalimat syahadat sebagai pernyataan menerima Islam sebagai pedoman dan aturan hidupnya, sebelum ia melakukan sesuatu perbuatan atau kewajiban yang mesti ditunaikannya sebagai seo-rang Muslim.

عن أبي هريرة رصي الله عنه، فِى قِصَّةِ ثُمَامَةَ بْنِ أُثَالٍ عِنْدَمَاأَسْلِمِ وَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَغْتَسِلَ (ؤواه عيد الرّزّاق وأصله متّفق عليه)

Dari Abu Hurairah r.a., tentang kisah Tsumamah bin Utsal tatkala ia masuk Islam, dan Nabi SAW menyuruhnya supaya mandi.

Hari Jumat

Hari Jumat merupakan hari yang memiliki kedudukan tersendiri dalam kehidupan ummat Islam. Di hari itu kaum laki-laki dewasa diwajibkan berkumpul di masjid-masjid guna mendengarkan wasiat tentang kabar gembira bagi orang yang mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya, dan ancaman bagi yang melanggar dan menentangnya, melalui khutbah yang disampaikan para khatib di mimbar-mimbar Jumat.

Hari Jumat itu, merupakan waktu untuk melakukan evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan selama satu minggu, sehingga seseorang mengetahui kegiatan mana saja yang sudah dilakukan dengan benar sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dan kegiatan mana saja yang belum. Dengan demikian seorang Muslim dapat memperbaharui niat dan cara melakukan kegiatan hidupnya, secara berkala setiap minggunya.

Mandi di hari Jumat merupakan mandi wajib guna memperbaharui hidup, untuk jangka waktu seminggu ke depan.

عن أبي سعيد الخدريّ رصي الله عنه، أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: غُسْلُ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُل!ِ مُحْتَلِمٍ (أخرجه السّبعة)
Dari Abu Said Alkhudriyyi r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Mandi hari Jumat itu adalah wajib bagi tiap-tiap Muslim yang sudah baligh”.

Setelah memandikan mayat.
Satu hal yang mesti dipahami tentang mayat adalah bahwa mayat itu adalah bangkai. Layaknya bangkai sudah barang tentu menyimpan berbagai kuman dan bakteri.

Ketika kegiatan memandikan mayat berlangsung, orang yang memandikan mayat akan menyentuh seluruh tubuh mayat tersebut. Sudah barang tentu sedikit banyaknya, orang yang memandikan mayat tersebut akan bersentuhan dengan berbagai kuman dan bakteri yang ada pada tubuh mayat tersebut.

Disamping kuman dan bakteri, boleh jadi pada tubuh mayat tersebut juga ada virus. Karena itu untuk mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi, Rasulullah SAW mewajibkan orang yang memandikan mayat untuk se-gera mandi, setelah kegiatan memandikan mayat selesai dilaksanakan.

عن عائشة رصي الله عنها قالت: كَانَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَغْتَسِلُ مِنْ أَرْبَعٍ: مِنَ الجَنَابَةِ، وَيَوْمَ الجُمُعَةِ، وَمِنَ الحِجَامَةِ، وَمِنَ الغُسْلِ المَيِّتِ (رواه أبوداود)

Dari Aisyah r.a., ia berkata; Adalah Rasulullah SAW suka mandi di empat kesempatan; waktu janabat, hari Jumat, lantaran diambil darahnya, dan lantaran memandikan mayat.

”.

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 10
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Ia memencet. kemudian membasuh mukanya dengan air yang dibawanya. Akan tetapi mukanya terasa semakin gatal dan perih. Icha menjerit memanggil begitu dilihatnya Vitlan muncul di kejauhan.

“Bang Alan, tolong Icha Bang,”teriaknya.

Mendengar suara yang tak asing lagi baginya, Vitlan berlari mendekat, dan
“Mukamu kenapa ?” sapa Vitlan melihat wajah Icha yang dipenuhi bintik-bintik seperti bisul mau pecah.
“Tidak tahu bang,” jawab Icha sambil menangis menatap Vitlan dalam-dalam.
Vitlan mencoba memegang pipi Icha, tapi Icha menepis tangannya sambil menjauh.

“Lho, kamu kenapa ?” sapa Vitlan heran.
Icha lari, lari dan lari menjauh.
“Cha, Icha, hei Icha, bangun,” kata Cicik mengguncang-guncang tubuh Icha.
“Jangan dekati Icha, jangan, jangan,” igau Icha.
“Hei Icha, kau kenapa?” kata Cicik lagi sambil memukul-mukul pipinya.
Icha terbangun, kebingungan. Dadanya sesak seperti orang dikejar-kejar.

Keringat membasahi wajah dan tubuhnya. Cicik memeluk erat sauda-ranya itu dan mengusap keringatnya dengan penuh kasih sayang. Perlahan kesadarannya pulih.
“Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah”, ucapnya sambil mengusap-usap wajahnya.
“Kau kenapa?”, sapa Cicik lagi.
“Ambilkan air minum segelaslah”, kata Cicik kepada Raudah yang ikut terbangun.

Raudah berlalu ke luar kamar dan sebentar kemudian kembali dengan segelas air hangat yang diambilnya dari thermos air. Cicik menuntun Icha minum. Setelah Icha terlihat tenang, Cicik kembali menanyainya.

“Kau kenapa?” dengan tetap memeluknya.
“Aku mimpi buruk Cik,” jawab Icha.
“Mimpi apa kau rupanya?” selidik Cicik.
“Aku rasanya pergi ke bukit yang banyak bunganya. Waktu aku mau naik ke dangau yang ada di taman itu, aku tertusuk duri,”
“Terus, trus,” desak Cicik.
“Kak Cicik ini bagaimana, sabarlah,” sela Raudah sembari memukul pelan bahu Cicik.
“Terus setelah duri itu kucabut, mukaku terasa gatal-gatal dan keluar bintik-bintik merah keku-ningan berisi cairan bening. Aku menjerit dan bang Vitlan datang, begitu ia mau memegang pipiku, aku menolak dan menjauh,” jelas Icha.
“Aneh juga mimpimu ya,” komentar Raudah.
“Apa ya artinya,” tanya Icha heran.
“Manalah kutahu. Aku kan bukan tukang ramal,” jawab Raudah.
“Apa ya, tapi sudahlah, itu kan cuma mimpi,” balas Cicik yang cara berpikirnya lebih rasional.

Jarum jam dinding menunjukan pukul 2.15 dini hari. Icha beranjak ke belakang ke kamar mandi. Ia berwudhuk dan ke ruang shalat untuk mengerjakan shalat tahajjuj, kemudian berdoa.

“Ya Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kasihilah hamba, sayangilah hamba. Ya Allah yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa dan kesalahan hamba. Ya Allah Yang Maha Memberi Petunjuk, tunjukilah hamba ke jalan lurus, jalan yang Engkau ridhoi. Ya Allah Yang Maha Pelindung, lindungilah hamba dari segala mara bahaya.
Ya Allah, hanya kepada Engkau kami mengabdi dan hanya kepada Engkau kami minta tolong. Kabulkanlah doa hamba. Robbana atina fiddun ya hasanah wafil akhirati hasanah waqina azabannar. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Kembali ke kamar, didapatinya kedua sepupunya itu telah kembali tidur dengan pulas. Icha pun merebahkan badannya di ranjang, berdo’a dan sejenak kemudian tertidur pulas.

!!!

Sesampai di rumah, Vitlan mendapati Mak sudah terangguk-angguk di kursi di depan steling karena menahan kantuk, padahal waktu baru lewat pukul setengah sebelas malam.

“Mak, tidurlah ke dalam, biar Alan yang jaga kedai,” kata Vitlan menepuk-nepuk bahu Mak.

“Eeh sudah pulang waang Lan. ialah, Mak ngantuk kali memang,” jawab mak setelah tahu bahwa Vitlan telah pulang. Kemudian masuk ke kamarnya.

Vitlan merapikan letak kursi-kursi yang sudah tidak berada ditempat semestinya. Kemudian ia duduk dan menyulut sebatang ji sam soe. Belum berapa lama ia duduk datang pebelanja memesan 4 bungkus nasi goreng, 3 bungkus mie tiau dan 3 bungkus mie kuning goreng. Dengan cekatan Vitlan mulai mengolah bahan-bahan yang akan digunakan untuk memasak pesanan tersebut. Satu demi satu masuk ke dalam kuali. Gerakan tanggannya sangat lincah mengaduk-aduk adonan di dalam kuali, persis bagaikan penari yang berlenggak-lenggok di atas pentas. Keringat mengalir dari dahi dan tengkuknya. Sebentar-sebentar ia melap muka dan tengkuknya yang kuyup karena keringat.

Belum selesai ia menyiapkan pesanan tersebut datang lagi dua orang gadis di seberang jalan memesan 5 bungkus nasi goreng.

“Lama tak nampak, ke mana, Bang,” sapa mereka.
“Ada kesibukan sedikit, di luar,” jawab Vitlan, sambil tetap mengaduk-aduk masakan.
“Tadi, ada kelihatan tu 3 gadis sama Abang, pacarnya ya, Bang,” selidiknya.
“Biasaaa, penggemar,” seloroh Vitlan.
“Ah, Abang ini, macam betul saja,” sela seorang dari mereka.
“Yaaa, masak pacar tiga orang,” kilah Vitlan.
“Yang satu, pacar. Yang duanya, temannya. Bisa kan?” selidik si gadis.
“Anak mana, Bang?” tanya si gadis lagi.
“Mau tahu saja,” jawab Vitlan sambil senyum, seraya menyerahkan pesanan kedua gadis itu.

Pukul setengah satu malam Vitlan menutup kedai nasinya. Ia beruntung sekali, malam itu jualannya habis terjual. Selesai menutup kedai dan merapikan semua peralatan Vitlan beranjak ke luar ke kedai sebelah.

“Mak Etek, ji sam soe sabungkuihlah,” kata Vitlan kepada penjual rokok.
“Lah batutuik kadai Lan?” kata penjual rokok yang dipanggil mak Etek tersebut.
“Alah, Alhamdulillah, habih mak Etek,” jawab Vit-lan sambil menghidupkan rokoknya.
“Lah ka lalok lai waang,” lanjut mak Etek.
“Alun lai mak, sabanta lailah. Mak Etek alun tutuik lai,” balas Vitlan.
“Kok baitu ambo tutuik pulo lah,” jawab mak Etek.

Vitlan membantu mak Etek menutup kedainya, dan setelah mak Etek selesai mengunci pintu dan beranjak ke rumahnya yang terdapat di belakang kedainya, Vitlan pun masuk ke rumah dan langsung ke kamar mandi mengambil wudhuk, kemudian naik ke lantai dua shalat Isya lalu tidur.

Pukul 5 subuh Mak bangun. Selesai shalat subuh ia beranjak naik ke lantai dua bermaksud membangunkan Vitlan. Begitu dilihatnya Vitlan tidur begitu pulas ia urungkan niatnya dan mengambil kunci laci steling di atas meja belajar terus turun kembali ke lantai dasar.

Ia membuka laci dan melihat setumpuk uang. Mata Mak berbinar dan ia bergerak ke steling jajanan, membuka pintu bagian bawahnya dan melihat bahan jualannya kosong dan berarti dagangannya laku habis terjual tadi malam. Reflek didekapkannya uang dalam genggamannya ke dadanya.
“Alhamdulillah ya Allah, daganganku habis terjual tadi malam,” gumam Mak sebagai tanda syukur.

Padanan kata:
Sabungkuih = sebungkus
Lah/alah = sudah
Batutuik/tutuik = tutup
Kadai = kedai
Habih = habis
Lalok = tidur
Waang = kamu
Alun = belum
Sabanta = sebentar
Lai = lagi
Baitu = begitu
Ambo = saya/aku
Pulo = pula

bersambung

Bagikan:
Tabedo – Bagian 9
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

“Begini ceritanya Buk, setelah kami sampai di alamat, ternyata rumah bang Alan itu adalah sebuah rumah makan. Kami disambut oleh Mak abang itu. Sewaktu kami tanyakan bang Alan ada apa tidak, Maknya bilang bang Alan belum pulang kuliah. Ternyata bang Vitlan itu mahasiswa Buk,” kata Cicik.

“Terus,” kata ibu.

“Terus, Maknya bilang biasanya habis maghrib ia sudah pulang. Jadinya kami tunggu.”

“Oohh… jadi karena asyik cerita, kalian lupa pulang, begitu,” sambung ibu.

“Bukan begitu Buk, bang Alannya baru datang jam setengah Sembilan,” bela Raudah.

“Sambil menunggu bang Alan kami cerita-cerita sama Maknya, ia bilang bang Alan itu, orangnya tak pernah akrab dengan perempuan. Ia heran kok kami bisa dekat dengannya, sampai-sampai mau mengantar segala. Pada hal gadis cantik yang tinggal di seberang rumahnya sudah lama tergila-gila dan berusaha mendekatinya, tapi tak pernah digubrisnya,” jelas Cicik.

“Betul Buk, anaknya cantik sekali, anak orang kaya lagi,” timpal Raudah.
“Ah masak,” sela ibu.

“Benar Buk, Raudah percaya apa yang dibilang Mak bang Alan itu, soalnya bang Alan itu bukan anak kandung ibuk itu. Dia itu anak angkat ibuk itu,” timpal Raudah.

“Benar Cik, Ibuk itu bilang bang Alan itu sudah lebih 4 tahun tinggal di situ. Mulanya ia indekost, tapi karena ia rajin membantu semua pekerjaan, mulai dari mencuci piring, masak, membuka dan menutup kedai sampai belanja ke pajak, lama-kelamaan ia diangkat ibuk itu jadi anak angkatnya,” sambung Icha.

“Alaaa … mentang-mentang …,” goda Cicik tanpa meneruskan ucapannya.
“Kan iya gitu, dibilang ibuk itu,” bela Icha, sembari beranjak dari tempat duduknya mendekati Cicik, namun Cicik segera berdiri dan menjauh. Icha menjadi geram dan berusaha mengejar.

“Sudah sudah, kayak anak kecil saja kalian,” kata ibu sambil senyum-senyum melihat tingkah anak-anak dan keponakannya yang sudah beranjak dewasa itu.

“Iya, Anak ini bikin orang sebel saja,” kata Icha menghentikan langkahnya.
Ibu Cicik melirik keponakannya yang salah tingkah. Ia mencoba menangkap apa yang sedang terjadi padanya melalui perubahan sikap dan perilakunya sejak mengenal Vitlan. “Keponakanku sudah besar,” bisiknya dalam hati sambil senyum memperhatikan Icha, yang

“Anak-anak, sudah hampir jam sebelas, ayo tidur biar tidak terlambat bangun,” seru ibu Cicik kepada ketiga anak gadisnya.

‘Ya Bu, ya Cik’, jawab mereka bersamaan seraya beranjak dari ruang tengah.

Mereka berjalan ke belakang, Cicik masuk kamar mandi lebih dulu, lalu langsung ke ruang shalat. Icha shalat paling belakangan. Selesai shalat Cicik langsung ke kamar dan berganti pakaian dengan piyama. Tak lama berselang Raudah masuk.

Setelah agak lama Icha belum muncul juga di kamar, Cicik beranjak keluar dan mendapati Icha masih bersimpuh di atas sajadah menengadahkan tangan berdo’a ke hadirat Tuhan. Cicik menatapnya tekun. Rona wajah Icha kadang senyum dan kadang serius dalam berdo’a. Sifat usilnya muncul.

Dengan sedikit mengeluarkan suara mulutnya mulai berkomat-kamit.
“Ya Tuhan, terima kasihku kepadaMu yang telah mempertemukan daku dengan seorang pria tampan lagi baik hati. Ya Tuhan kumohon kepadaMu agar kebahagiaan yang mulai bersemi di hati hamba ini akan mekar dan berkembang selamanya.”

Icha mencoba tak peduli, Cicik menggoda lagi.“Ya Tuhanku, hamba tak menyangka akan bertemu lelaki yang telah membuat jantung hamba selalu berdebar dan tak dapat memejamkan mata meski malam telah larut. Ya Tuhanku …

“Aduh,” Cicik mengaduh begitu sebuah cubitan mampir di rusuknya. Cicik tak menyangka kalau Icha telah selesai berdo’a.

“Rasakan, mulut usil,” kata Icha geram.
Cicik balas mencubit, tapi Icha keburu lari ke kamar. Cicik mengejar sampai ke kamar. Tapi Icha telah menunggu dengan tangan digenggam dengan posisi siap mencubit.

“Ayo mendekat, biar kena ini lagi hhmm,” tantang Icha sambil menggeretakkan giginya.

Cicik tak jadi mendekat. Sambil meringis ia duduk di tepi ranjang lalu menaikkan baju piyamanya melihat bekas cubitan Icha. Sambil mengusap-usap bekas cubitan tersebut ia berucap,
“Cubitan anak ini keras kalilah, lihat nih sampai biru,” ringis Cicik sambil memperlihatkan rusuknya.

“Salah sendiri, makanya mulut itu dijaga,” kilah Icha sebal.
“Awas nanti ya,” ancam Cicik sewot.
“Oouw, ngancam ya. Boleh saja, biar biramnya mau ditambah lagi,” balas Icha enteng sambil mendekat.
“Tidak tidak, tidak jadi,” balas Cicik merendah.

Sesaat kemudian ketiganya sudah merebahkan diri di atas kasur.
Malam itu Icha bermimpi berjalan-jalan di sebuah taman di lereng bukit di mana banyak sekali bunga-bunga indah sedang mekar. Ia berjalan kian kemari dari sekuntum bunga ke kuntum bunga yang lain. Setiap ia sampai di tanaman bunga yang berbeda, dipegangnya bunga tersebut lalu diciumnya dalam-dalam sembari menengadahkan wajah sehingga kelihatan jelas lehernya yang jenjang. Ia mendaki dan mendaki hingga sampai di bagian atas bukit.

Di atas bukit tersebut terdapat sebuah dangau yang beratapkan daun nyiur dan berlantaikan batang pinang yang ditetak. Ia melangkah naik, akan tetapi sebelum sampai di atas dangau,
“Aduh,” Icha menjerit perlahan ketika ia merasa ada yang menusuk di pipinya.

Icha memegang pipinya dan mencabut tusukan tersebut. Bekas tusukan tersebut terasa perih dan gatal. Icha menggaruknya. Pipinya makin lama makin gatal dan kemudian warna pipinya yang putih kemerahan perlahan berubah menjadi merah tua. Bintik-bintik merah kekuningan dan berair mulai menyembul dari bawah kulit yang kemudian secara cepat menebar hampir memenuhi sebelah pipinya.

bersambung

Bagikan: