Tabedo – Bagian 25
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Beberapa stasiun telah dilewati, dan disetiap stasiun tersebut kereta api berhenti menaikan dan menurunkan penumpang. Kereta berhenti lagi. Kali ini banyak sekali pedagang yang naik ke atas gerbong menjajakan berbagai penganan.

Ada kacang rebus, jagung rebus, kacang tojin, kripik udang, kripik singkong/ubi rambat, kripik jengkol, sate kerang, sate kentang, sate jengkol, lemang-tapai, pecal, roti basah dan roti kering, buah-buahan, seperti; rambutan, jambu air, jambu bol, jambu perawas, nangka, semangka, nanas, pepaya dan banyak lagi yang lainnya. Ada juga yang menjajakan nasi bungkus.

Suasana dalam gerbong menjadi riuh oleh suara mereka. Mereka berjalan bolak balik dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Hal ini mereka lakukan berulang-ulang. Pluit petugas berbunyi, tanda kereta api akan melanjutkan perjalanannya.

Sebahagian dari pedagang asongan tersebut bersegera turun. Tetapi sebahagian lainnya tetap berada di atas gerbong mengikuti lajunya kereta api.

Mereka berjalan lagi dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain untuk menjajakan barang dagangan mereka, hingga Kereta Api, berhenti di stasiun berikutnya.


Waktu telah menunjukkan tengah hari. Cicik mengeluarkan rantang, dua buah piring kaleng dan beberapa buah sendok dari keranjang. Sebuah piring dia berikan kepada Vitlan dan yang satunya lagi diletakkan di pangkuannya. Rantang dikeluarkan dari jinjingannya satu persatu. Ada kalio hati, ada gulai ikan asam pedas dan tumis buncis dicampur wortel.

”Ayo Bang, kita makan,” ajak Cicik.

Tanpa menjawab, Vitlan langsung mengambil nasi, kemudian mengambil gulai ikan asam pedas dan tumisan.

”Wah, enak kali masakannya,” komentarnya sambil terus mengunyah.
”Tolong, Cik,” kata Vitlan kepada Cicik sambil menunjuk rantang yang berisi nasi.

Cicik menyerahkan rantang yang diminta Vitlan. Ia mengisi piringnya dengan nasi tambuh (hampir sama banyaknya dengan dengan piring pertama) dan mengambil kalio hati dua potong.

Vitlan menikmati betul makan siangnya hari itu. Keringat bercucuran dari kening sampai ke tengkuknya. Mulutnya komat-kamit karena kepedasan. Cicik mengeluarkan termos air, menuangkan isinya ke cangkir yang sekaligus berfungsi sebagai tutup termos tersebut, kemudian memberikannya kepada Vitlan.

”Pedas ya, Bang?” tanya Cicik, melihat Vitlan terengah-engah kepedasan.
”Ssss haa, pedas sekali,” jawab Vitlan sembari melap keringat di wajah dan tengkuknya.
”Tapi orang Padang, kok tidak tahan pedas,” goda Cicik.
”Abang makan tak bisa kalau tak pakai cabe, Cik. Tapi kalau cabenya pedas kali, juga ndak tahan,” bela Vitlan.
”Eeehk,” bunyi sendawa yang keluar dari mulut Vitlan.

Selesai makan, Vitlan mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celananya, mengambil sebatang lalu menghisapnya. Sementara Cicik telah pula selesai makan. Dia lalu mengemasi perlengkapan makan ke dalam keranjang.

”Ntar ya Cik, Abang jalan-jalan ke luar sebentar, cari angin,” pinta Vitlan kepada Cicik.
”Ya, Bang,” jawab Cicik.

Vitlan berjalan keluar gerbong. Di sana, ia duduk di lantai dan menjulurkan kakinya ke tangga kereta, menghadap ke alam lepas. Tangan kanannya memegang rokok, sementara tangan kirinya memegang besi pegangan Kereta. Udara berhembus sedikit kencang mengibas-ngibaskan rambut gondrongnya.

Setelah puas berada di sana, ia kembali ke tempat duduknya. Tak lama berselang kantuk pun mulai menyerangnya. Beberapa kali ia menguap dan akhirnya iapun tertidur pulas.

”Bang, bangun Bang, kita sudah sampai,” kata Cicik sambil menggoyang-goyang bahu Vitlan.

Vitlan terbangun.

”Sudah sampai kita ya, Cik,” tanya Vitlan sambil mengusap-usap matanya.
”Sudah, Bang,” jawab Cicik.

Keluar dari peron, Cicik mendongakkan wajahnya ke sana ke mari, mencari-cari sesuatu. Cicik berjalan pelan di depan stasiun. Beberapa abang becak dan tukang ojek, menawarkan jasa mereka. Cicik memberi isyarat dengan tangannya, sebagai penolakan. Kemudian,

”Bang, Bang Aswan, Bang Aswan,” teriaknya sembari menggamit-gamitkan tangan ke arah seseorang.
”Hai, Cik,” jawab yang dipanggil Aswan tersebut sembari mendekat ke tempat Cicik berdiri.
”Bang, antar kami pulang, Bang,” kata Cicik.
”Ya, ntar Abang ambil becaknya ya,” jawab Aswan, seraya berlari untuk mengambil becaknya. Kemudian mendekat.
”Ada barangnya Cik,” tanya Aswan.
”Ada tuh , koper satu. nih kenalkan, Bang Vitlan,” kata Cicik kepada Aswan sambil memegang lengan Vitlan.
”Vitlan, biasa dipanggil, Alan,” kata Vitlan mengenalkan diri kepada Aswan.
”Aswan,” balas Aswan menyambut uluran tangan Vitlan. Mereka bersalaman.

Becak mesin melaju ke arah Bagan Asahan. Rambut Vitlan dan Cicik melambai-lambai ditiup angin. Tubuh mereka berguncang-guncang akibat kondisi jalan yang tidak rata. Beberapa waktu kemudian becak berhenti di depan sebuah rumah panggung bergaya melayu.

Vitlan turun dan berdiri sambil mengamati keadaan sekeliling. Cicik turun dan langsung menuju tangga beranda depan rumah, lalu naik,

”Assalamu’alaikum,” katanya sembari mengetuk pintu.
”Alaikum salam,” terdengar suara mendekat dari dalam rumah. Pintu terbuka.
”Assalamu’alaikum Mak Tuo,” sapa Cicik, mengulangi salam, sembari memeluk mak tuonya.
”Eee Cicik, ’alaikum salam, sendiri saja nak?” tanya mak tuo.
”Sama teman, Bang Vitlan Mak tuo. Bang, sini!” kata Cicik sambil menggamit Vitlan yang berdiri di halaman.
Vitlan melangkah menuju beranda.
Sementara itu,
”Vitlan itu siapa Cik?” tanya mak tuo berbisik penuh selidik, sembari memperhatikan Vitlan dari kepala, hingga kaki.
”Temannya Icha mak Tuo,” jawab Cicik, balas berbisik.
”Ooo,” kata mak Tuo dengan pandangan tidak lepas dari Vitlan.
Sampai di depan tangga ia tanggalkan sepatunya.
”Tidak usah dibuka Bang,” kata Cicik.
Vitlan tidak jadi membuka sepatu, lalu naik ke beranda. Dengan sedikit membungkuk,

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (22)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

TERTIB MAKAN DAN MINUM

Makan dan Minum Sebagai Kebutuhan Pokok

Sebagai makhluk hidup, manusia pasti membutuhkan makan dan minum. Makanan dan minuman dibutuhkan sebagai sumber energi (tenaga), sumber bahan pembangun sel dan jaringan tubuh serta untuk menggantikan sel-sel tubuh yang rusak atau tua, dan pengatur proses yang terjadi di dalam tubuh serta sebagai pelindung tubuh terhadap berbagai penyakit.

Pada dasarnya, alam telah menyediakan berbagai bahan makan dan minuman yang dapat dijadikan sebagai bahan pangan bagi manusia, baik yang terdapat di daratan dan di lautan maupun yang terbang di udara. Untuk kamashlahatan bagi manusia, Islam telah menga-tur sedemikian rupa, bagaimana cara mengkomsumsi bahan makanan dan minuman tersebut, mulai dari cara mendapatkan, mengolah hingga cara (etika) memakan dan meminumnya, dalam serangkaian aturan (tata laksana), sebagai berikut:

  1. Makan Makanan Halal Dan Bergizi

Guna menjamin terpeliharanya kondisi tubuh agar tetap sehat dan bugar, maka tubuh itu membutuhkan asupan makanan dan minuman yang berkualitas, di mana terpenuhinya semua syarat ketercukupan gizi yang dibutuhkan tubuh untuk dapat hidup dan beraktifitas.


فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَى طَعَامِهِ (عبس: ٢٤)
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya (QS. 80: 24)
Dalam pandangan Islam, makanan dan minuman yang berkualitas itu harus memenuhi syarat:

Halal
Halal merupakan persyaratan mutlak yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya atas setiap jenis makanan dan minuman yang akan dikonsumsi oleh manusia.

Persyaratan/kriteria pokok dalam penetapan halal itu meliputi, antara lain:

° Halal benda atau barangnya.

Pada hakikatnya semua jenis benda atau barang yang menjadi bahan makanan dan minuman itu boleh dikonsumsi, kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, antara lain: Babi, anjing, keledai peliharaan, binatang yang makan kotoran, binatang yang menjijikkan, binatang buas, binatang yang memiliki kuku tajam/cakar, darah dan bangkai.

° Halal cara mendapatkannya

Di samping bahan/barang bahan pangannya halal, kehalalan bahan/barang ter-sebut juga harus didapatkan dengan cara yang halal, seperti; dengan cara membeli, membudidayakannya dan lain-lain. Bukan barang curian, rampokan dan lain-lain.

° Halal cara mengolahnya

Hewan yang digunakan sebagai bahan pangan haruslah disembelih atas nama Allah dengan membaca Basmalah. Matinya tidak dengan cara dipukul, dilempar dengan benda tumpul, atau ditusuk.

Untuk bahan yang berasal dari biji-bijian, umbi-umbian dan buah-buahan dapat diolah sedemikian rupa, dan tidak boleh diolah menjadi minuman yang memabukkan, seperti: anggur yang diolah menjadi arak.

° Menggunakan bejana bebas najis

Bejana/wadah yang digunakan untuk memasak bahan pangan haruslah terbebas atau bersih dari najis. Bila bejana/wadah tersebut terkena najis, maka harus terlebih dahulu dicuci dengan tanah dan air.

Thayyib (Baik dan Bergizi)
Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia, kata Thayyib diberikan arti; baik, bagus, lezat, enak, dan manis. Dari terjemahan kata ini secara sederhana dapat dikatakan bahwa kata thayyib ini lebih berkonotasi kepada sesuatu yang berkaitan dengan ma-kanan dan minuman.

Kata ‘baik’ dan ‘bagus’ bisa menunjukkan keadaan atau kondisi bahan makanan yang layak konsumsi, baik dilihat dari pisik maupun dari kualitasnya. Mengundang selera tatkala melihatnya, sedap aromanya, indah warna dan menawan bentuknya. Sementara kata lezat dan manis, menunjukkan cita rasanya.

Jadi, kata ‘thayyib’ pada persyaratan bahan makanan dan minuman dapat diartikan bahwa; bahan pangan yang mesti dikonsumsi oleh manusia itu haruslah bahan yang bagus rupanya, indah warnanya, sedap baunya, bergizi, serta lezat dan manis citarasanya.

يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ (البقرة : ١٦٨)
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. 2: !68)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (البقرة : ۱۷۲)
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu mengabdi (QS.2: 172)

Semoga bermanfaat

Bagikan:
TABEDO – Bagian 24
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Selesai makan, Vitlan merapikan meja, kursi, menyapu lantai dan mencuci piring, sendok dan gelas yang kotor. Setelah itu membaca koran edisi hari itu yang belum sempat dibacanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu tengah malam. Jalanan sudah mulai sepi, tidak banyak lagi kendaraan yang lewat. Vitlan menutup kedai, dan beranjak ke kamar mandi untuk berwudhuk dan setelah itu naik ke lantai dua.

Sesampai di kamar, Vitlan shalat Isya. Setelah itu berganti pakaian dengan piyama. Mengambil rokok sebatang lalu menghisapnya sembari membaringkan badan di atas tempat tidur. Rokok di tangannya baru habis diisap kira-kira separoh, ia telah tertidur, dengan sisa batang rokok yang sudah tidak menyala lagi masih terselip di sela jari telunjuk dan jari tengahnya.
!!!

Pagi itu Vitlan bangun agak terlambat. Ia baru bangun sekitar pukul setengah enam. Tidak seperti biasanya, pagi ini, ia langsung mandi. Selesai mandi, kembali ke atas, shalat dan bersalin. Memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas, kemudian turun lagi, sarapan ala kadarnya dari sisa makanan yang tidak habis terjual.

Pukul setengah tujuh Vitlan keluar rumah dengan terlebih dahulu meninggalkan pesan untuk Mak di secarik kertas dan diletakkan di atas meja di depan steling. sampai di depan, ia memanggil becak mesin yang biasa parkir di sepanjang jalan dekat simpang, di depan rumahnya.

”Bang, Bang Parman, sini,” katanya memanggil tukang becak mesin yang bernama Parman.
”Ke mana Lan,” tanya bang Parman.
”Amaliun Bang,” jawab Vitlan langsung naik ke becak.
”Mau ke mana kau rupanya, bawa-bawa tas segala,” tanya Parman sambil menghidupkan mesin becaknya.
”Mau ke Tanjung Balai Bang, ada perlu,” jawabnya singkat.
”Ooo…, ada perlu apa kau ke sana Lan?” tanyanya
”Ada keperluan sikit Bang, penting,” jawab Vitlan
”Ooo…, lama Lan?” tanyanya lagi.
”Belum tahu Bang, bisa sehari, bisa seminggu.”
”Naik apa kau ke sana?”
”Naik Kereta Api, Bang,”
”Ke Amaliun ada perlu apa?”
”Mau ke tempat teman dulu, Bang,”
”Bang, pinggir Bang,” kata Vitlan.

Parman menginjak pedal rem dan becak pun berhenti.

”Tunggu ntar ya Bang,” kata Vitlan sambil melompat turun dan setengah berlari membuka pagar dan terus menuju pintu rumah.

”Assalamu’alaikum,” teriak Vitlan.
”Wa’alaikum salam,” kata suara dari dalam rumah dan pintu rumah segera terbuka.
”Masuk dulu Bang,” kata Raudah.
”Ciciknya mana, dah siap?” tanya Vitlan.
”Sudah Bang,” jawab Cicik melongokkan muka dari ruang tengah.
”Nak Vitlan sarapan dulu, Ibuk sudah siapkan nih,” ajak Ibu Cicik begitu melihat Vitlan sudah datang.
”Sudah Buk, Vitlan sudah sarapan tadi di rumah,” bela Vitlan.
”Ndak apa, sarapan saja lagi bersama orang ini,” desak Ibu Cicik.
”Becaknya sudah menunggu Buk,” jawab Vitlan.
”Sudah, Panggil saja sekalian tukang becaknya, sarapan sama-sama,” kata Ibu Cicik sambil melangkah menuju pintu diiringi Vitlan.
”Bang, masuk dulu sini,” kata Ibu Cicik.
”Bang Parman, masuk dulu Bang,” kata Vitlan, sembari mendekat dan menggamit tangannya masuk ke dalam rumah.

Parman menurut saja ke dalam rumah. Mereka sarapan bersama. Selesai sarapan, mereka keluar menuju becak. Vitlan mengangkat koper Cicik.

”Makasih Buk, sarapannya,” kata Parman kepada Ibu Cicik.
”Ya sama-sama,” jawab Ibu Cicik.
”Mari sini kopernya Lan,” pinta Parman sembari memegang koper yang dijinjing Vitlan. Ia melepaskan jinjingannya.
Cicik naik duluan, kemudian Vitlan.

Sementara koper diletakkan di depan kaki mereka.
”Kalau tidak kopernya di belakang saja Lan,” kata Parman lalu berjalan ke sebelah kiri becak.
”Boleh juga Bang, biar kakinya lempang,” jawab Vitlan.

Parman memindahkan koper ke bagian belakang becak. Setelah itu becak mulai berjalan

”Kami pergi ya Buk,” pinta Vitlan dan Cicik berbarengan.
”Ya Nak, hati-hati ya… sampaikan salam Ibu sama Nenek, mak Wo dan, Icha ya…,” balas Ibu Cicik.
”Ya Buk,” jawab Cicik.

Becak mulai melaju menuju stasiun kereta api. Sampai di stasiun, Vitlan langsung menuju loket untuk membeli karcis, tapi Cicik mencegahnya.

”Bang Alan mau ke mana, karcisnya sudah ada Bang, sudah dipesan ibuk tadi malam sama temannya,” kata Cicik.

Vitlan menghentikan langkahnya dan berbalik.

”Oh ya,” katanya.

Sementara itu, Parman menurunkan koper dari becak. Cicik turun dari becak dengan keranjang jinjingnya. Parman membantu mengangkat koper sampai ke peron.

”Makasih Bang,” kata Vitlan kepada Parman sembari menyodorkan uang dua ratus rupiah.
”Ambil saja semua Bang,” kata Vitlan begitu dilihatnya Parman merogoh kantong, mau membe-rikan kembaliannya.
”Makasih Lan,” kata Parman lalu berlalu.

Vitlan dan Cicik naik ke gerbong bisnis dan mencari tempat duduk sesuai nomor karcis yang ada ditangan Cicik. Setelah dapat Vitlan meletakkan koper di sebelah dinding, kemudian meletakkan tas sandangnya di atas koper tersebut. Sementara Cicik memangku keranjang. Tas kecilnya tetap disandangnya.

!!!

Kereta berangkat hampir setengah jam dari jadwal semestinya. Vitlan duduk di sebelah dalam, sementara Cicik duduk di sebelah jendela. Beberapa saat kemudian, Cicik mengeluarkan beberapa buah bon-bon dari tasnya, dan menyodorkannya kepada Vitlan.

”Bang, nih ada bon-bon Bang”, kata Cicik memecah kebisuan.

Vitlan mengambilnya dua dan memakannya.

”Berapa lama kira-kira kita di jalan Cik,” tanya Vitlan membuka obrolan.
”Kira-kira lima sampai enam jam Bang,” jawabnya.
”Lama juga ya?” balas Vitlan
”Ya…, gitulah, Bang. Karena begitu sampai di Tanjung, kita naik erbete lagi ke rumah,” terang Cicik.
”Jadi, rumahnya bukan di Tanjung Balai, Cik?” tanya Vitlan mengerenyitkan keningnya.
”Bukan, Bang. Di Bagan,” jelas Cicik.
”Bagaimana sebenarnya ceritanya, Om Mahidin itu, kok sampai ditahan, Cik?” selidiknya.
”Om Mahidin itu kan menjabat sebagai Kakandep. Jadi kan banyak uang di sana. Waktu diadakan pemeriksaan oleh atasannya dari Kanwil, dari… inspektorat gitulah, dia tidak bisa menjelaskan dana yang telah dikeluarkan. Karenanya dia diperiksa,” jelas Cicik.
”Terus,” desaknya.
”Hasil pemeriksaan itulah yang menyeretnya ke penjara, Bang,” kata cicik.
”Cicik yakin Om itu yang melakukannya,” tanyanya lagi.
”Yaa…, kek mana ya, Bang, dibilang percaya, ya tidak juga. Dibilang tidak percaya, kenyataannya seperti itu. Om itu, sudah ditahan,” jawab Cicik sambil mendesah.
”Kehidupan keluarganya cemmana rupanya,” tanya Vitlan.
”Memang sejak menjabat Kakandep, banyak perubahan dalam kehidupan keluarganya. Om itu sudah punya rumah baru, abang dan kakaknya Icha yang kuliah di USU, masing-masing punya mobil. Cuma Icha saja yang ke mana-mana naik angkutan umum atau diantar oleh supir,” jawabnya.
”Anak Om itu berapa?”
”Anak Om itu ada empat. Yang paling besar bang Syahbuddin, nomor dua, kak Hasnah, dipanggil Butet, terus Icha dan yang paling kecil Saldin,” jelas Cicik.
”Sekarang mereka pada tinggal di mana, Cik?”
”Bang Syahbuddin dan kak Butet, tinggal bersama adik bapaknya di Medan, sementara mak tuo, Icha dan Saldin tinggal bersama nenek.”

bersambung

Bagikan:
HIDUP SEHAT ala Rasulullah SAW (21)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

SUMBER BAHAN MAKANAN DAN MINUMAN

Sumber Bahan Minuman

Air

Air bukan hanya sebagai sumber air minum, akan tetapi lebih daripada itu air adalah sumber kehidupan. Bumi ini setelah diciptakan merupakan sebuah benda mati. Akan tetapi ianya menjadi hidup setelah Allah turunkan air hujan dari langit. Sebagai sumber air minum, Allah memberikannya dalam bentuk air hujan yang turun dari langit, mata-mata air yang memancar dari dalam bumi, sungai-sungai yang mengalir, danau dan telaga.

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقاً فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ (الأنبياء: ٣٠)
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. 21: 30)

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لَّكُم مِّنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ (النّحل:١٠)
Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu (QS. 16: 10)

وَآيَةٌ لَّهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبّاً فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ ¤ وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِن نَّخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنْ الْعُيُونِ ¤ (يس:٣٣-٣٤)
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.(QS. 36: 33-34)

وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَاراً وَمِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الرّعد:٣)
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan , Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(QS. 13: 3)


Susu

Sumber bahan minuman berikutnya adalah susu. Susu biasa didapatkan dari hewan ternak seperti sapi, kerbau, unta, kambing dan biri-biri. Dalam jumlah terbatas susu juga dapat diperoleh dari kuda.
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِ مِن بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَّبَناً خَالِصاً سَآئِغاً لِلشَّارِبِينَ (النحل: ٦٦ )
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya

عن ابن عمر، قال: أُتِيَ النَّبِيُّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بجُبْنَةٍ فى تَبوْكَ، فَدَعَا بِسِكِّيْنٍ، فِسَمَّى وَقَطَعَ (رواه أبوداود)
Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata; pada waktu perang Tabuk, Rasulullah SAW disuguhi keju, maka beliau minta diberi pisau.

Madu

Sumber bahan minuman berikutnya adalah madu. Susu biasa didapatkan dari lebah atau tawon.

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (النحل: ٦٩)
kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan (QS.16: 69)

Buah

Buah, selain dimakan langsung, juga dapat dijadikan sebagai sumber minuman segar dan bergizi. Hampir semua jenis buah dapat dijadikan sebagai sumber bahan minuman.
Membuat minuman dari buah adalah dengan memeras buah tersebut, kemudian diambil air perasannya. Saat ini cara praktis mendapatkan minuman dari buah adalah dengan mengubah buah menjadi jus.

وَمِن ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَراً وَرِزْقاً حَسَناً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (النّحل: ٦٧)
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.(QS. 16: 67)

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 23
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Pukul 11.30 malam pertunjukan film usai. Vitlan dan teman-temannya tetap duduk ditempat menunggu penonton lain keluar gedung bioskop. Mereka baru beranjak dari bangku penonton ketika penonton yang masih berada di dalam gedung bios-kop tinggal sedikit. Mereka pulang dengan jalan kaki, seperti kebanyakan penonton lainnya. Ada juga sebahagian penonton pulang dengan naik be-cak, dan sedikit dari mereka, yang datang dan pulang naik kereta.

”Mil, Njas, Man, Rul, besok aku berangkat ke Tanjung Balai. Aku belum tahu kapan baliknya,” kata Vitlan kepada mereka.
”Ada urusan apa kau ke sana Lan?” tanya Jamil.
”Urusan itu… masak kau tak tau Mil,” goda Maman.
”Iya Lan, urusan cewek yang hari tu, siapa namanya? I … I … Icha, ya Icha. Dah kek mana kau sama dia, rupanya Lan?” tanya Jamil bersemangat.
”Kalian dengarlah dulu aku,” pinta Vitlan.
”Haa, ya ya,” jawab Jamil.
”Begini ceritanya. Ini sama kalian saja, kuceritakan ni ya. Beberapa waktu yang lalu bapak si Icha itu disidangkan untuk terakhir kalinya dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara …”
”Haaa (serempak). Bapaknya kenapa rupanya, merampok, membunuh,” potong Jamil.
”Inilah kau, main potong saja. Dengar dululah penjelasanku. Bapaknya itu, kan kepala Dinas, eh kepala Kantor. Ah ndak tahu aku. Pokoknya, Kepalalah. Ia dituduh menggelapkan dana anggaran yang ada di kantornya,” kata Vitlan.
”Banyak Lan?” tanya Anjas.
”Dengarnya ratusan juta,” kata Vitlan.
”Perampok rupanya,” selentik Jamil spontan.
Anjas menyikut rusuk Jamil sambil mengerlingkan matanya kepada Jamil. Jamil diam.
”Jadi Dia sangat terpukul dengan kenyataan itu, Dia merasa malu sekali, karenanya dia sekarang mengucilkan dirinya ke tempat neneknya di sana. Aku harus ke sana melihat kondisinya. Mudah-mudahan kehadiranku dapat memperbaiki keadaan,” jelas Vitlan.

Mereka telah melewati masjid raya. Sampai di depan sebuah gang.
”Kami balik ya,” kata Jamil dan Anjas berbarengan sambil melambaikan tangan dan berlalu masuk gang.
Bertiga mereka berjalan menyusuri trotoar jalan hingga sampai di depan kedai nasi Mak.

”Yok balik, aku dah ngantuk kali,” kata Maman langsung menyeberang jalan, sambil melambaikan tangan. Vitlan dan Basrul balas melambaikan ta-ngan.
”Rul, kau dah mau balik pulak?” tanya Vitlan.
”Ya, besok aku ada kerjaan,” jawab Basrul.
”Ntar Rul, aku mau ngomong samamu sebentar,” ajak Vitlan lalu menggamit lengan Basrul ke dalam kedai, dan mengambil tempat duduk di pojok sebelah belakang.
”Begini Rul, kira-kira sepuluh hari yang lalu, Pak A Kiat datang kemari menjumpaiku, dan…
”Ntar Lan, Pak A Kiat itu siapa, dan apa hubungannya dengan pembicaraan kita ini?” potong Basrul.
”Lan, jaga kedai ya, Mak dah ngantuk,” kata mak.
”Ya Mak,” jawab Vitlan.
”Hai Rul, kau dengar aku dulu, jangan asal potong saja. Kau, sama pula kek si Jamil, kutengok. Pak A Kiat itu adalah orang tua dari orang yang tabrakan tempo hari, yang kita datang memberitahu ke rumahnya malam itu, ingat kau ndak,” jelas Vitlan.
”Haa ya, ya, ya ha’a, aku ingat,” jawab Basrul.
”Dia datang ke sini untuk mengambil kereta anaknya, yang kusimpan di samping belakang, terus sebelum beliau pamit, ia memberiku amplop ini (sembari mengeluarkan amplop berisi uang dari kantong celananya), katanya sebagai tanda terima kasih telah susah-susah mencari rumahnya malam-malam lagi,” jelasnya, menirukan pak A Kiat.
”Dikasih berapa Lan?” tanya Basrul.
”Ndak tahu, belum kubuka, bukalah!” kata Vitlan menyodorkan amplop tersebut kepada Basrul.
Basrul membuka amplop dan menghitungnya.
”Lima puluh ribu Lan,” kata Basrul.
”Ah masak, banyak kali,” sambung Vitlan heran dan setengah tidak percaya.
”Benar, cobalah kau hitung sendiri,” kata Basrul sambil menyodorkan uang tersebut.
Vitlan menghitung uang tersebut dan
”Betul ya, lima puluh ribu,” decak Vitlan.
”Kita kan berlima waktu itu, jadi uang ini kita bagi limalah ya,” lanjut Vitlan.
”Begini saja Lan. Tadi kau bilang kau mau ke Tanjung Balai besok, dan baliknya belum tahu kapan. Coba kau bilang dulu samaku, apa maksudnya belum tahu itu,” tanya Basrul.
”Ya … aku kan ndak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana Rul, makanya ku bilang belum tahu baliknya kapan. bisa saja aku di sana hanya satu dua hari saja, bisa juga sepekan, dua pekan, sebulan, atau malah ndak balik sama sekali ke sini,” jelas Vitlan serius.
”Ya ya, aku paham. Kalau begitu kau bawa saja uang itu semua, untuk keperluanmu, karena bagaimanapun kau mesti punya cadangan uang yang cukup untuk menghadapi semua ini Lan,” kata Basrul.
”Iya Rul, tapi…
”Sudahlah Lan. aku tahu maksudmu. Untuk teman-teman yang lain itu, biar aku nanti yang menjelaskannya. Sekarang kau kantongi saja uang itu.” potong Basrul sambil merangkul dan menepuk-nepuk bahu Vitlan.


Vitlan terharu, matanya berkaca-kaca menatap Basrul. Ia bangkit memeluk temannya itu.

”Sudahlah Lan, rejekimulah itu,” lanjut Basrul (sambil menepuk-nepuk bahu Vitlan).

Ia duduk kembali. Basrul mengambil rokok yang tadi diletakkan Vitlan di atas meja sebatang dan menghisapnya. Vitlan ikut mengambil sebatang dan menyulutnya. Asap rokok bergulung-gulung ke udara.

”Aku pulang ya Lan, sudah larut dan selamat jalan untukmu,” kata Basrul sembari berdiri dan berjalan ke depan.

Vitlan ikut berdiri dan mengiring di samping Basrul, sampai di depan kedai.

”Yok Lan,” kata Basrul sambil menepuk bahu Vitlan kemudian berlalu.
”Yok Rul,” balas Vitlan sambil melambaikan tangan.

Vitlan kembali ke dalam kedai. Dia menuju steling nasi memperhatikan lauk-lauk yang ada di sana. Dia tak tertarik, lalu menutupkan kembali kain penutup steling. Ia kemudian beranjak ke steling yang satunya lagi, lalu menghidupkan kompor dan memasak mie tiaw, makanan kesukaannya.

bersambung

Bagikan: