Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (41)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

MENJAGA KESEHATAN DIRI

Secara umum, sejak seseorang bangun dari tidur pada pagi hari (katakanlah ia bangun pada pukul 04.30 WIB atau kira-kira 30 menit sebelum waktu shalat Shubuh) hingga ia istirahat tidur pada pukul 22.00 WIB, maka selama rentang waktu itu atau kira-kira 17,5 jam posisi kepalanya berada di atas jantungnya. Dengan demikian selama itu pula jantungnya harus bekerja keras untuk memompakan darah dan oksigen ke otaknya.

حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ (البقرة: ٢٣٨)

Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.(QS.2:238)

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ ¤أُوْلَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ ¤ الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ¤ (المؤمنون: ٩-١١)

dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan me-warisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.(QS.23:9-11)

Shalat yang dilaksanakan menurut alur dan tempo yang benar (tertib)

عن أبي هريرة قال: أَوصَانِيْ خَلِيْلِيْ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلاَثٍ بِصِيَامٍ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتِيَ الضُّحَى وَأَنْ أُوْتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ (متّفق عليه)

Dari Abu Hurairah r.a., katanya; Saya diberi oleh sahabat karibku Rasulullah SAW, dengan tiga perkara; berpuasa tiga hari setiap bulan, shalat Dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur.

عن معذة أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَمْ كَانَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى صَلاّةَ الضُّحَى، قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيْدُ مَاشَاءَ اللهُ ((رواه مسلم)

Dari Aisyah r.a. katanya; Rasulullah SAW biasanya melakukan shalat Dhuha empat rakaat, lalu beliau menambahnya menurut kemampuan beliau atau atas kehendak Allah.

عن أبي ذر رضي الله عنه قال: أَذَّنَ مُؤَذِّنُ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالظُّهْرِ،  فَقَالَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْرِدْ، أَبْرِدْ (أَوْ قَالَ: التَّظِرْ، التَّظِرْ) وَقَالَ: إِنَّ شِدَّةَ الحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَحَنَّمَ، فَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ، فَأَبْرِدُوْا عَنِ الصَّلاّةِ، قَالَ أَلاَبُوْ ذَرِّ: حّتَّ رَأَيْنَا فَيءَ التُّلُلِ (متّفق عليه)

Dari Abu Dzar r.a., katanya; Muazzin Rasulullah SAW telah menyerukan azan pada waktu Zhuhur, lalu Nabi SAW bersabda : Tunggulah dingin, tunggulah dingin (atau tunggulah, tunggulah), lalu beliau bersabda; Sesungguhnya panas yang sangat itu dari uap jahannam, maka apabila panas sangat terik, tangguhkanlah shalat untuk menunggu dingin. Kata Abu Dzar, sehingga kami melihat bayang-bayang bukit.

عن أنس بن مالك قال: كُنَّا نُصَلِّى مَعَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سِدَّةِ الحَرِّ فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُّمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنَ الأَرْضِ بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ (رواه مسلم)

Dari Anas bin Malik r.a.  katanya; pernah kami shalat bersama-sama Rasulullah SAW, ketika panas terik; apabila seseorang tidak dapat meletakkan dahinya ke tanah, dihamparkannya baju yang dipakainya lalu ia sujud di atasnya.

عن أنس بن مالك قال: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ المَدِيْنَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ قُلْتُ كَنْ أَقَامَبِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا (رواه مسلم)

Dari Anas bin Malik katanya; kami bepergian bersama-sama Rasulullah SAW dari Madinah ke Makkah, maka beliau shalat dua rakaat dua rakaat sampai kembali. Tanyaku kepada Anas, berapa lama Rasulullah SAW berdiam di Makkah? Jawab Anas, sepuluh hari.

عن بن عمر أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيْحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ المُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُوْلُ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ (رواه مسلم)

Dari Ibnu Umar r.a. katanya; bahwa ia adzan pada suatu malam yang sangat dingin, hu-jan dan angin, diucapkannya di akhir adzan; “Baiknya kamu shalat di tempatmu masing-masing (2X), kemudian ia berkata, bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang adzan pada malam yang dingin atau hujan ketika dalam perjalanan dengan kalimat tersebut.

عن بن عمر قال: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَجِلَ بِهِ السَّيْرُ جَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ ( رواه مسلم)

Dari Ibnu Umar r.a. katanya; Apabila perjalanan Rasulullah SAW memerlukan kecepatan, beliau menjamakan Maghrib dengan Isya.

عن أنس بن مالك قال: كَانَ رَسُوْلُ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّرَ إِلَى وَقْتِ العَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَعَلَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتِ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَّرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه مسلم)

Dari Anas bin Malik katanya; Apabila Rasulullah SAW hendak bepergian dan berangkat sebelum matahari tergelincir, ditaakhirkannya Zhuhur lalu dijamakkannya  dengan Ashar, dan bila akan berangkat setelah matahari tergelincir, beliau shalat Zhuhur terlebih dahulu.

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 44
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Di sana, ada Iwan dan Man Keluk. Melihat Vitlan datang, Man Keluk menggeser duduknya memberikan tempat kepadanya. Vitlan mengeluarkan rokok, sembari duduk di sampingnya. Man Keluk mengambil bungkus rokok itu. Di lihatnya di dalam bungkus itu tinggal sebatang, ia mengurungkan niatnya mengambil rokok tersebut.

”Ambiak selah. Ambo masih ado ko” kata Vitlan, sambil mengangkat tangannya yang memegang rokok.

”Mokasih,” kata Man Keluk, sembari menyulutnya. 

”Ka maa rencana waang, satalah tamat ko?” tanyanya.

”Alun tahu lai, Man. Masih pikia-pikia,” jawab Vitlan.

”Jangan lupa, tayang pukul lima sore ini. Sebuah film spy yang dibintangi oleh aktor kawakan, Sean Connery,” teriak Iwan Kribo, melalui megaphone, memberitahu film yang akan main sore dan malam nanti, sambil menirukan suara tembak-tembakan, sebagaimana adegan yang terjadi di dalam film, membuat perbincangan mereka terhenti.

Iwan Kribo meneriakan iklan film-film yang akan tayang, sambil berjalan menyusuri jalan-jalan yang ada di kota Sawah Lunto. Ia sangat mahir, menirukan adegan-adegan yang ada dalam sebuah film. Bila film yang diiklankannya film koboi, ia akan menirukan derap langkah kuda diiringi suara ringkikannya, suara kereta api beserta bunyi pluitnya dan suara tembak-tembakan. Bila film silat, ia akan menirukan adegan silat. Begitu juga bila yang diklankannya film drama, ia akan menirukan suara rayuan, tangisan hingga suara desahan.

”Nonton yok, nanti malam!” ajak Iwan.

”Ayok,” balas keduanya.

”Ajak yang lainlah,” kata Man Keluk.

”Pastilah. Salero kito kan samo,” sela Vitlan.

”Kito nonton film nan terakhir yo,” kata Iwan.

”Sembaranganlah. Film terakhir jadi juo,” balas Vitlan.

” Kalau baitu, aden ikuiklah,” sela Indra.

”Berati lah barampek kito ma. Ambo pulang dulu di,” sambung Iwan, sambil meninggalkan mereka.

”Ambo pulang juolah,” sambung Man Keluk.

”Samolah. Ambo pun pulanglah,” kata Vitlan.

Sampai di rumah.

”Lan, iko ado titipan untuak waang,” sapa bu May, pemilik rumah, dari jendela.

”Mokasih, Buk,” jawab Vitlan setelah menerima titipan itu. Sebuah amplop berwarna kuning kecoklatan, seperti amplop dinas ukuran besar.

Tiba di kamar, Vitlan menghidupkan lampu dan menimbang-nimbang serta membolak-balik amplop tersebut. Ia mereka-reka isinya, karena isinya sedikit agak tebal, dari hanya sekadar surat. Dari bu Tina, gumamnya, setelah membaca nama pengirim. Di sudut kiri bawah amplop, ada tulisan dengan tanda seru digaris bawahi. ”Bukalah setelah kamu sampai di tujuan!!!” Vitlan mengurungkan niatnya untuk segera membuka amplop tersebut, kemudian mema-sukannya ke dalam kopernya.

Dalam hati, ia bertanya-tanya, apalah isinya, kok sampai ada pesan seperti itu. Ingin hatinya, untuk segera ke rumah bu Tina. Tapi niat itu diurungkannya. Sambil makan malam, pikirannya tetap tertuju pada pesan di amplop itu. Vitlan membiarkan piring dan periuk, di tempatnya. Saat itu, tidak ada keinginannya untuk segera mencucinya, sebagaimana biasanya ia lakukan setiap selesai makan.

Ia menyulut sebatang rokok dan mengunci pintu kamar, lalu berjalan ke pasar baru. Di jenjang kelok S, ia berpapasan dengan Armen, yang juga akan ke sana. Vitlan mengeluarkan bungkus rokok dan menawarkannya pada Armen. Ia mengambil sebatang dan menyalakannya dengan puntung rokok Vitlan.

Di depan kedai Indra, sudah berkumpul teman temannya. Ada sekitar sepuluh orang jumlahnya. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan lewat seperempat. Mereka secara beramai-ramai, membantu Indra mengemasi barang dagangan dan menutup kedainya. Setelah itu, mereka bergerak ke bioskop yang hanya berjarak dua bangunan dari tempat itu. Sampai di dalam bioskop, mereka memilih tempat di sebelah depan. Ekstra film yang segera tayang, sudah mulai diputar. Satu dua, penonton masih ada yang masuk.

Film sudah diputar. Mereka ikut mereaksi jalannya cerita. Tiba pada adegan intip-intipan antara anak mudanya dengan bandit, mereka ikut memberi aba-aba, ”awas, di sebelah bela-kangmu” atau ”awas, di balik bangunan” bila banditnya sedang berada di belakang atau di balik dinding. ”Asyiiik,” kata mereka bila melihat adengan percintaan. Begitu juga bila melihat adegan-adegan seru lainnya. Suara mereka, hampir-hampir mengalahkan suara sound bioskop. Penonton lain hanya geleng-geleng kepala, melihat tingkah pola mereka.

Efek dari film yang ditontonnya, membuatnya semakin bertekad untuk menghadapi tantangan yang mungkin akan dihadapinya sendirian di hari-hari, setelah ia mengambil keputusan akan hari depannya. Dalam kesendiriannya malam itu, Vitlan mencoba meneguhkan hatinya, sehingga dapat tidur sambil tersenyum.

Setelah berkemas, ia menemui ibu kosnya untuk pamitan, sembari menyerahkan kunci kamarnya. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke stasiun bus di pasar baru. Di sepanjang jalan, Vitlan berpapasan dengan bus dan truk, yang hari itu memadati ruas jalanan ke inti kota. Lebar jalan yang tidak begitu besar, membuat kendaraan berjalan lambat. Tiba di kelok S, Vitlan melihat di jalan sebelah bawah, dari deretan kendaraan itu ada beberapa bus. Satu di antaranya bus ALS. Ia bergegas dengan berlari mendekati bus tersebut dan melambaikan tangan ke stoker yang ada di pintu belakang. Bus segera menepi di seberang jembatan dan stokernya turun.

”Ke mana, Bang?” tanyanya

”Ke mana busnya, Bang?” Vitlan balik bertanya.

”Ke Medan,” katanya.

”Ikut, Bang,” kata Vitlan, terus naik ke atas bus.

”Kok lewat sini busnya, Bang?” tanya Vitlan, setelah duduk di sebelah stoker dan meletakan barangnya di balik sandara tempat duduk, yang biasa digunakan oleh supir untuk istirahat.

”Ada jalan rusak, putus menjelang Solok,” jelas stoker.

”Bang, berapa ongkos ke Medan, Bang,” tanya Vitlan.

”Tiga ribu sembilan ratus,” jawab stoker.

”Uangku cuma ada seribu lapan ratus, Bang,” kata Vitlan, sambil mengeluarkan uang yang ada di kantong celananya.

”Tak ada lagi uangmu, masak segini kau kasih ongkosnya,” kata stoker itu, menatap Vitlan.

”Ia, Bang. Itulah cuma uangku. Nanti kubantu-bantulah, Abang. Aku ingin sekali ke Medan, Bang,” harap Vitlan.

”Ada saudarmu rupanya di sana?” tanya stoker itu, dengan logat Mandailingnya.

”Ndak ada, Bang,” jawab Vitlan.

”Berani kali, kau. Tak ada saudara yang kau tuju,” lanjut stoker itu.

”Beranilah, Bang. Karena ndak saudaralah, makanya aku ingin merantau ke sana. Aku bisa mandiri, dalam mengerjakan apa saja, yang penting bagiku, halal,” jelas Vitlan.

”Hebat kali, kau. Siapa namamu?” tanyanya.

”Vitlan, Bang. Biasa dipangil Alan. Nama abang siapa?” kata Vitlan.

”Panggil saja aku, Sunan atau Unan,” jawabnya.

Bus bergerak meninggalkan Sawah Lunto menuju Batu Sangkar. Ruas jalan yang kecil, membuat bus tidak dapat melaju dengan maksimal. Menjelang tengah hari, bus tiba di sana, kemudian berbelok arah ke Padang Panjang terus ke Bukit Tinggi. Setelah menaikan beberapa penumpang, bus pun langsung meninggalkan Bukit Tinggi.

Keluwesan dalam bergaul disertai kecekatannya dalam bekerja, membantu Sunan mengangkat dan menyusun barang-barang bawaan penumpang, membuat Vitlan langsung dapat simpati dan segera menyatu dengan kru bus. Iapun langsung diajak makan bersama satu meja dengan mereka. Selain makan, Vitlan juga mendapat suguhan kopi dan puding telur setengah masak serta rokok. Suguhan seperti ini, terus didapatkannya setiap kali bus berhenti untuk beristirahat makan dan menunaikan ibadah, disepanjang perjalanan, hingga bus tiba di Medan.

Setelah membantu menurunkan semua barang bawaan penumpang, Vitlan berpamitan kepada bang Samin, bang Sutan dan bang Sunan.

”Makasih ya Bang, sudah memberi tumpangan padaku,” kata Vitlan dengan mata berkaca-kaca menyalami satu persatu dari mereka.

”Sama-sama Lan. Bila kau balik ke Bukit (Bukit Tinggi, red), jumpai kami saja ya,” kata bang Sutan.

”Ini sekadar beli rokok kau,” kata bang Samin, sembari menyelipkan sesuatu ke kantong bajunya.

”Makasih Bang,” katanya, kembali memeluk bang Samin.

 Perlahan Vitlan melangkah meninggalkan stasiun ALS dan berjalan menyusuri jalan Sisingamangaraja yang teduh oleh rindangnya pepohonan yang berada di kanan kiri jalan. ”Benar kata Besra. Medan ini dijuluki Paris van Sumatera,” katanya membatin.

Padanan kata:

Ambiak    = Ambil,     Selah   = Sajalah,        Pikia    = Pikir

bersambung

Bagikan: