Nagari Painan dengan Painansch Contract 1663 
Bagikan:

 Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo

Nagari Painan, dikenal sebagai Ibu Kota Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Dalam sejarah Perdagangan Pantai Barat Sumatera, dikenal dengan “Painansch Conract” (6 Juli 1663) yang cikal bakalnya dari “Sandiwara Batangkapeh” (1662), pertemuan rahasia “pura-pura memancing ikan” (Yulizal Yunus, Pulau Cingkuk, 1991). Pertemuan rahasia itu antara diplomat Belanda Groenewegen dengan pemuka adat Minangkabau termasuk penghulu dari Painan dan Banda-X. Saking rahasianya pertemuan itu nyaris tidak diketahui pemuka adadt Banda-X sendiri. Banda X dimaksud adalah 10 Kota Pantai: (1) Batangkapeh (Batangkapas), (2) Taluk, (3) Teratak, (4) Surantih, (5) Ampiang Parak, (6) Kambang, (7) Lakitan, (8) Palangai, (9) Sungai Tunu dan (10) Pungasan (lihat Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, 1981:129).

Pemuka adat yang hadir dalam pertemuan Sandiwara Batangkapeh (Batangkapas) itu, di antaranya: Rajo Lelo Setia, Kando Marajo, Rajo Konto, Datuk Setia, Rajo Panjang, Rajo Indra Muda lainnya. Kando Marajo mengusul, hasil “Sandiwara Batangkapeh ini” dilajutkan ke Batavia, ternyata kemudian menjadi Perjanjian Painan (Painansch Contract) disambut Perang Bayang satu abad. Lihat juga buku Dr. WJA De Leeuw: Het Painansch Contract. HJ.Paris, Amsterdam MCMXXVI.

Painan saat ini terangkat masyhur dengan kepopuleran Daerah Tujuan Wisata (DTW) “Pantai Carocok” dan Kawasan Bukit Langkisau sebagai pemedanan “Terbang Layang” bertaraf Internasional. Kedua DTW ini merupakan zona pendukung kawasan utama pariwisata “Mandeh Resort” dalam perencanaan dan master plan “lima kawasan pembangunan” di Kabupaten Pesisir Selatan sejak tahun 1998.

Posisi Nagari Painan dapat dilihat dari dua status. Dua status itu: (1) sebagai wilayah pemerintah terdepan dalam wilayah NKRI dan (2) sebagai wilayah kesatuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Sumatera Barat.

Wilayah NKRI

Painan merupakan nagari sebagai desa wilayah administerasi pemerintahan terdepan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Nagari Painan itu dimekarkan menjadi 3 Nagari, sebagai desa (pemerintahan) masa Bupati Nasrul Abit dan Ketua DPRD Alirman Sori. Tiga Nagari itu adalah (1) Nagari Painan, (2) Nagari Painan Timur dan (3) Nagari Painan Selatan. Nagari Painan penduduknya (2022) berjumlah 5.971 jiwa (ditambahn Penduduk Painan Selatan 4912 Jiwa, dan Painan Timur 4.355 jiwa).

Luas Nagari Painan 8,49 km2 (ditambah luas Painan Selatan 645,90 ha dan Painan Timur 67,87 km2). Wilayahnya meliputi kampung-kampung: (1) Nagari Painan: Kampung Bukit Putus, Kampung Rawang dan Kampung Painan Utara lainnya; (2) Painan Selatan: Kampung Carocok, Kampung Painan Selatan, Kampung Sungai Nipah; dan (3) Painan Timur: Kampung Tangah dan Kampung Painan Timur.

Orbitasi Nagari Painan pada ketinggian + 8 M2 di atas permukaan laut. Suhu rata- rata 20 – 30 0C . Berbatas, sebelah utara berbatas dengan Kenagarian Bunga Pasang Salido.  Sebelah Selatan, Painan Selatan dan Nagari IV Koto Hilia Kecamatan Batangkapas, sebelah Timur Nagari Bungo Pasang Salido dan Nagari IV Koto Mudik, Kecamatan Batangkapas dan sebelah Barat dengan Samudera Hindia. Jarak ke Kota Padang ibu kota Provinsi Sumatera Barat 77,6 km.

Asal Usul, Toponimi dan Adat Syara’

Toponimi linguistik – pembahasaan nomenklatur nagari “Painan'” berasal dari beberapa fenomena. (1) fenomena “alam: sungai dan tanaman pinang”,  (2) penyebutan orang asing, (3) fenomena permainan, (4) fenomena sosial dalam bentuk pameo lainnya.

Toponimi Painan, dari fenomena alam “sungai kecil”, adalah sungai yang mengalir di dacrah itu bernama bernama “Sungai Pinang Kecil”. Sebut Agus Yusuf dari kata “Pinang” itu lahir kata ‘”Painan”. Justru kata “Pi” oleh orang asing dibaca “Pai” (i, ai). Jadi “Pinang” itu mereka sebut “Painang”. Dari “Painang” menjadi Painan. Beberapa fenomena toponimi Painan ini terdapat dalam buku Sejarawan asal Nagari Taluk Agus Yusuf . Banyak dikutip termasuk menjadi rujukan toponimi Nagari Painan dituangkan dalam Profil Nagari Painan.

Buku Agus Yusuf itu berjudul “Peran Ninik Mamak Sepanjang Sejarah Pesisir Selatan, Membicarakan Sejarah Kabupaten Pesisir Selatan Sejak Kepindahan Penduduk Menempati Wilayah ini Sampai Masa Reformasi” (2007:23-24). Untuk menggambarkan toponimi Painan berakar dari penyebutan orang asing, penulis Agus Yusuf mengutip Laporan Kontroleur BA Bruins (Belanda) Tahun 1936). Bruins menyebut “Pijnang” untuk menyebut Painan. Demikian orang Portugis menulis “Py-nan” untuk menyebut dan menuliskan kata Painan.

Agus Yusuf juga mengutip anggapan, bahwa Painan toponimi – pembahasaannya dari kata “pameo” untuk menggambarkan bahwa “Painan” berasal dari dua kata “Paik” dan “nian” menjadi Paiknian (artinya sangat pahit), kemudian menjadi Painan. Pernilaian Agus Yusuf, pameo itu sekedar seloroh belaka, diduganya tidak hubungan dengan asal kata Painan.

Demikian pula kata Painan berasal dari kata “Permainan”. Dicatat Agus Yusuf, bahwa semasa Belanda di Pulau Cingkuk, Painan dijadikan tempat permainan. Dari kata “Permainan” itu, Nagari Painan yang berada di mulut Teluk Painan dekat Pulau Cingkuk itu, ditetapkan nomenklaturnya menjadi Painan. Namun Agus Yusuf berkeyakinan, memilih setuju dengan kata “Pinang” sebagaí asal kata Nagarí Painan.

Asal usul penduduk Painan berasal dari nagari asal campuran. Ada dari Nagari Kerajaan Sungai Pagu (Solok Selatan). Namun sebagian ada dari Kubung 13 Solok dan juga ada dari Pariaman.

Ninik moyang yang menjadi asal usul Painan, mendirikan Nagari Painan ini. Agus Yusuf menyebut juga dirujuk Profil Nagari Painan, disebut bahwa pendiri Nagari Painan ada 5 Datuk: (1) Datuk Rangkayo Basa (suku Malayu, asal Sungai Pagu), (2) Datuk Rajo Batuah (suku Panai, asal Sungai Pagu, masuk dari jalur Tuik, Batangkapas), (3) Datuk Rajo Intan (suku Tanjung), (4) Datuk Kando Marajo (suku Caniago. asal Kinari yang kaumnya masuk dari jalur Bayang, terus ke Salido, dan jalur dari Barung-Barung Balantai Tarusan terus ke Painan, dan (5) Datuk Rajo Bagindo (suku Jambak 7 Paruik. kaumnya masuk dari jalur Padang asal Pariaman).

Painan, Nagari berpenghulu yang sebelumnya Nagari beraja-raja. Agus Yusuf mengutip hasil wawancara Bruins 1935 dengan pemuka masyarakat adat, bahwa di Painan pernah menjadi Raja Marah Johan Rajo Sampono. Sukunya Kutianyia, dijemput sebagai Raja dari Pasir Talang, Sungai Pagu (Alam Surambi Sungai Pagu.

Nagari Painan sebagai wilayah adat, mempunyai suku-suku, di antara seperti suku-suku pemuka adat pendiri Nagari Painan tadi. Suku-suku yang ada susunan datuk penghulunya: (1) Suku Melayu, penghulunya: (a) Afrizal Dt. Rang Kayo Basa, (b) Yuzar, Dt. Rajo Panjang (alm), sudah ada penggantinya, (c ) Yurnalis Dt. Sari Marajo (alm), sudah ada penggantinya, (d) Dt. Marah Baganti (talipek) dan (e) Dt. Rajo Kaciek (talipek). (2) Suku Panai, penghulunya: (a) H. Bakri Zubir Dt. Rajo Mangkuto, (b) Muchlis Dt. Rajo Batuah, (c ) Drs. Syafrizal, MM Dt. Nan Batuah, dan (d) Sarios Dt. Rajo Alam. (3) Suku Caniago, penghulunya: (a) Yuzrizal, BA Dt. Kando Maha Rajo dan (b) Kaisir Dt. Rajo Nan Sati. (4) Suku Tanjuang, penghulunya: (a) Safnir, S.Pt Dt. Rajo Intan dan (b) Harwal Nurdin Dt. Rajo Johan. Dan (5) Suku Jambak, penghulunya: (a) Erwanto Dt. Sampono Kayo, (b) Firdaus, M.Pd Dt. Rajo Bagindo, (c ) Syahril, KB Dt. Talanai Sati dan (d) Dt. Rangkayo Majo Indo (talipek).

Setiap suku dan penghulunya didukung perangkat, Urang 4 Jinih (U4J): Penghulu, Manti, Malin dan Dubalang. U4J didukung perangkat Urang Jinih Nan-4 (UJ4) yakni: Imam, Katib, Bila dan Qadhi.

Dalam peradilan adat menyelesaikan sengketa adat dilakukan scara bertingkat. Sengketa kaum diselesaikan di kaum, sengketa suku diselesaikan di suku. Di tingkat Nagari diselesaikan limbago penghulu Nagari dipasilitasi Kerapatan Adat Nagari (KAN) sekarang diketui Syafrizal Dt. Nan Batuah.

Dalam persidangan adat disebutkan, menggambarkan pelaksanaan adat dan syara’, dilakukan secara musyawarah perwakilan kaum yakni penghulu dengan orang UJ4 sebagai orang di muka dalam masyarakat adat dan beragama. Artinya sidang peradilan adat ada penghulu pimpinan suku dan ulama dari UJ4 mengawal syara’.

Dalam kehidupan bernagari, terdapat Masjid Raya Nagari Painan, yang dipasilitasi KAN yang di dalamnya diisi oleh UJ4. Pengurus di bawah kendali ulama berbasis UJ4 Nagari. Namun belum ada UJ4 berkoordinasi dengan Majelis Ulama Nagari (MUN) dalam peningkatan syiar dakwah Adat Syara’.

Masjid Raya Nagari Painan ini berpotensi diperkuat dua Masjid Pemerintah yakni: Masjid Akbar Baiturrahman di jantung Kota Painan dan Masjid Terapung Samudera Ilahi di Pantai Carocok DTW Wisata Pantai Painan. Kedua masjid megah ini segi tiga dengan Masjid Islamic Centre di Salido, yang berpotensi sebagai pusat jaringan imformasi Islam di Nagari ini. Dari tiga Masjid ini berpotensi mengkoornasikan sharing informasi Islam, di-link-an dengan seluruh masjid di Pesisir Selatan.

Potensi Nagari Painan ini sebagai pengimplementasi ABS-SBK, informasinya diperkuat dengan informasi yang dibentang penghulu, ulama dan cadiak pandai serta Bundo Kandung Painan. Informasi itu dibentang dalam pertemuan dengan Tim Provinsi Sumatera Barat dalam menilai Nagari Painan sebagai pengimplementasi ABS SBK, di KAN Painan, 13 Desember 2024.

Tim Provinsi penilai Nagari Pengimplementasi ABS-SBK itu, terdiri dari unsur tungku tigo sajarangan: (1) cadik pandai – intelektual akademisi ialah Prof. Dr. Nursyirwan Effendi, Dr. Hasanudin Yunus Dt. Tan Patiah, MSi; (2) unsur ulama: Buya Dr. Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa, Buya Mas’ud Abidin Jabbar dan Unsur adat: Prof. Dr. Rudha Thaib dan YY Dt. Rajo Bagindo. Tim Didampingi Kepala Dinas Kebudayaan Dr. Jefrinal Arifin, SH, MSi diwakili Pamong Kebudayaan Disbud Provinsi Sumatera Barat Nofrizon, Helma Fitri, Hendro dan staf lainnya.

Aspek yang dinilai pada Nagari Painan sebagai nagari implementasi ABS SBK ada 8 perspektif adat “undang nagari” dan “undang dalam nagari”. Delapan perspektif itu: (1) Bakorong bakampuang, (2) Basuku banagari, (3) Balabuah batupian, (4) Basawah ba ladang, (5) Babalai bamusajik, (6) Bahuma babendang, (7) Bahalaman bapamedanan, (8) Bapandam bapakuburan/ bapusaro.

Sistemnya dengan cara duduk bersama temu wicara bercorak sarasehan. Diskusi, tanya berjawab intens tetapi santai dan hangat. Dengar curai papar tentang Nagari Painan tidak saja sifatnya di luar menilai tetapi di batinnya adalah edukasi dan motivasi bagi kemajuan Nagari ke depan. Pernilaian dan edukasi tidak terlepas dari 8 aspek pernilai tentang prestasi capaiannya sampai kini dan kemajuan ke depan.   

Painan Resort Wisata Pantai

Nagari Painan sebagai Nagari Minangkabau dan Nagari sebagai wilayah administrasi pemerintahan terdepan NKRI juga merupakan Resort. Menarik untuk dikunjungi, untuk melihat suasana masyarakat dan eksplisit pengalaman upacara adat dan agamanya (ritus) yang sarat dengan nilai adat – syara’ (agama). Sebagai resort, Nagari Painan memiliki: (1) service center, (2) market town dan (3) regional center, untuk memberikan kepuasan kepada warga dan pengunjung.

Service Center, di Nagari Painan, aspek fasilitas pendidikan tersedia lembaga pendidikan, SD. SMP, SMA dan Kejuruan. Pasilitas kesehatan tersedia Puskesmas dan Rumah Sakit Daerah M.Zen Jamil. Pasilitas Agama tersedia Masjid Nagari dan dua masjid megah yang dipasilitasi pemerintah Kabupaten seperti tadi disebut. Hanya saja sejarah surau Painan 1523 tidak dimunculkan lagi yang dahulu dipimpin Syekh Burhanuddin Painan (lihat juga Yulizal Yunus, Surau dan Sejarah Perjuangan dan Adat Minang di Pesisir Selatan, https://wawasanislam.wordpress.com/2008/04/30/surau-dalam-sejarah-perjuangan-dan-adat-minang-di-pesisir-selatan/, 30 April 2008. Aspek pemerintahan ada Kantor Pemerintahan (Bupati dan DPRD) serta kantor Korfopimda Pesisir Selatan lainnya seperti Polres, Kodim, Pengadilan Negeri lainnya. Aspek adat ada Kantor KAN Painan dengan mayarakat hukum adatnya.

Aspek Pariwisata, Painan mempunyai DTW yang ternama yakni: (1) Pantai Carocok dengan Masjid Terapung Samudera Ilahai. Menyediakan hanggar pejalan kaki ke Pulau Kereta dan perahu mesin tempel ke Pulau Cingkuk yang mempunyai situs makam Portugis, puing Benteng/ Loji VOC dan bekas hanggar Pelabuhan Emas masa Belanda, berhadapan dengan Pelabuhan Panasahan untuk kapal antar pulau yang dibangun masa Bupati Darizal Basir. Juga ada kawasan Bukit Langkisau merupakan pemedanan terbang layang yang bertaraf internasional. Arah ke Selatan ada pantai Sungai Nipah dan pantai di sempadan Batangkapas di bukit Patambuan dan pantainya yang indah lainnya.

Market Town (pusat belanja) Nagari Painan di samping ada pasar modern dan pertokoan yang siap melayani pembeli, di samping kedai-kedai di tepi pantai serta restoran, hotel lainnya.

Regional center, Nagari Painan dari kotanya memancar jalan ke seluruh arah mata angin, terus ke segi tiga emas Tapan: arah ke Benkulu dan Kerinci (Jambi). Ke utara segi tiga emas di Bayang: arah ke Padang, Solok melalui Nagari di atas awan km 0 Pancung Tebal nagari kelahiran ulama besar Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi pembina Masjid Ganting Padang dulu, bermakam arah ke Mihrab masjid Ganting Padang itu. Selain itu juga cukup banyak jalan (Negara, Provinsi, Kabupaten) sebagai tali nadi ekonomi Pesisir Selatan yang menghubungkan ke seluruh arah pembangunan kawasan ungulan Pesisir Selatan terus ke provinsi lain.**

Bagikan:
Musyawarah Kubong XIII
Bagikan:

Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo

Mewakili Niniak mamak, Alim ulama, Cadiak pandai serta Mandeh Sako/ Bundo Kanduang Kubong XIII memfasilitasi aspirasi gerakan pemajuan Adat Minangkabau WhatsApp Group (WAG) Forum Musyawarah Adat Minangkabau (FMAM), mengundang 100-san lebih unsur Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai serta Mandeh Sako/ Bundo Kanduang, mengadakan Musyawarah Mufakat sehari. Musyawarah dilaksanakan di Balai Adat Nan Panjang Kubong XIII, Ahad 12 Januari 2025, pukul 08.00 – 16.00 wib. Agendanya “Silaturahmi, Upaya Mempererat Buhul Tali (Silaturrahmi) dalam Rangka Mempertahankan dan Melestarikan Adat Minangkabau yang (dalam Prilaku) Telah Bergeser dari (Cupak) Usali yang Diwarisi Turun Temurun”. Yang mewakili pengundang, (1) Niniak Mamak Pemangku Adat Nagari Solok, di antaranya: (1) Abel Dt. Bagindo Tan Ameh, (2) A.n Panghulu Adat Chaniago III Korong Nagari Salayo Hafrin Dt. Rangkayo Batuah/ Orang Tuo Adat Caniago III Korong, (3) Panghulu Adat Melayu Bendang Nagari Pintu Rimbo Lolo Surian Alkamra Dt. Bandaro Putih, (4) Rajo Koto Gadang Koto Anau N. Rajo Bagindo Hyang DiPatuan Pucuak Adat Malayu Tinggi Kampung Dalam. Pembentak lapiak Bundo Yetna Sriyanti dan mamak Almansuri.

Sebuah apresiasi, diakui Musyawarah Kubong XIII ini menarik sebagai pembuat sejarah gerakan adat. Tidak sekedar silaturrahmi. Sarat dengan tawaran pemikiran tentang pemajuan adat Minangkabau dan penguatan kapasitas ninik mamak ke depan.

Saking menariknya Musyawarah Kubong XIII ini, 100-san tokoh adat yang hadir hendak mau bicara semua. Namun waktu juga yang membatasi. Pun yang mendapat kesempatan bicara, diharap “to the point”, justru seperti tidak mau melepas microphone dari tangan, berakibat tak semua dapat kesempatan berbicara. Dimungkinkankan karena forum musyawarah seperti ini jarang terjadi. Karenanya forum ini dimanfaatkan untuk menumpahkan unek-unek, pikiran, perasaan, pengalaman rasa kesal bahwa adat mereka dikerdilkan dan termarjinalkan dan peranan limbago adat sebagai pemilik adat “terbunuh” dalam kehidupan beradat dalam tataran prilaku para pihak, seiiring ancaman pengaruh global yang menawarkan transformasi budaya, meski menaruh peluang dan tantangan.

Antusias hadirin yang diundang Musyawarah Kubong XIII ini spiritnya mirip forum Seminar “Sumpah Sati Bukit Marapalam” dan upacara “Memperbaharui – Update Sumpah Sati Bukit Marapalam 1403”, diselenggarakan 18 desember 2018 dipelopori MUI Sumatera Barat. Saya ketika itu didaulat mewakili unsur penghulu Minangkabau menyampaikan pidato adat sorenya di Puncak Pato, Bukit Marapalam, setelah paginya Seminar di Batusangkar sebagai salah seorang Narasumber. Sedangkan pidato Cadiak Pandai disampaikan Prof. Dr. Mestika Zed dan Pidato Syara’ disampaikan Gusrizal Gazahar/ Ketua Umum MUI Sumatera Barat.

Pertemuan informal Forum Musyawarah Kubong XIII, mengedepankan berbagai masalah dan pemecahannya dalam pemajuan adat Minangkabau yang terhambat dan peranan ninik mamak yang termarjinalkan. Pada perinsipnya meliputi dua hal: (1) sakao pusako salingka kaum serta peranan ninik mamak, dan (2) hukum adat tidak dihargai bersanding dengan hukum negara. Keduanya pertama dibentang Bundo Yetna.

Saya diberi kesempatan menjelang akhir Musyawarah Kubong XIII. Adalah sore menjelang ashar dalam kondisi microphone macet yang memaksa berbicara dengan mengangkat ekstra keras suara sendiri. Saya mengajak hadirin menghargai berterima kasih kepada WAG FMAM dan Ninik Mamak Balai Adat Nan Panjang Kubong XIII yang mengundang.

Dalam pandangan saya, perjalanan pertemuan informal Forum Musyawarah Kubong XIII seperti pelaksanaan sistem Simposium. Simposium dimaksud, adalah Forum Musyawarah ini memfasilitasi semua yang hadir berbicara menyampaikan pemikiran, pengalaman dan simpul-simpul piawai sekitar masalaha-masalah adat dan peranan ninik mamak serta cara mempertahankan ulayat dan pelaksanaan hukum adat. Namun sebagai Simposium biasanya tidak membuat kesimpulan dan Musyawarah Report. Sungguhpun demikian hadirin membuat beberapa kesepakatan. Kesepakatan yang paling penting satu di antaranya membentuk Forum Pemuka Adat Sumatera Barat yang seaspirasi dengan nama WAG “Forum Musyawarah Adat Minangkabau” (FMAM).

Merespon pemikiran yang berkembang membahas dua masalah yang tadi dibentang Bundo Yetna dan mendapat tanggapan dan pembahasan dari anggota musyawarah, cukup hangat. Pertama tentang “sako pusako dan pernan ninik mamak”. Saya katakan, kekayaan pemikiran yang kita terima dalam Musyawarah Kubong XIII ini, mengantarkan kita “ninik mamak, bundo kanduang, cadiak pandai dan ulama” “babaliak” ke Limbago Adat kita masing-masing dan meningkatkan kapasitas peranan di kaum dan di nagari. Limbago Adat yang dimaksud adalah Limbago Kaum kita, yang punya otoritas melaksanakan dan mewariskan adat, karena Limbago kaum ini tempat tumbuh adat itu sendiri sesuai asal usulnya dan sako pusako salingka kaumnya serta adat salingka nagarinya yang dikawal adat sabatang panjang di nagari kita masing-masing.

Balik dari musyawarah ini kita sampaikan kekayaan pemikiran yang dibentang pada Musyawarah Kubong XIII ini, kepada kaum suku dan nagari kita masing-masing. Justru inti Minangkabau itu adalah nagari. Minangkabau tidak mengenal kecamatan, tidak mengenal kabupaten, tidak mengenal provinsi, yang dikenalnya nagari. Karenanya nagari itu inti Minangkabau. Di nagari itu ada Limbago Penghulu ba-kaampek suku dan atau lebih. Limbago Panghulu ini memiliki “Kerapatan Nagari” (bukan KAN) membuat mufakat dan punya otoritas perumusan hukum adat yang bersumber dari norma Undang-Undang Adat Limbago Minangkabau dan peraturan adat lainnya sejalan dengan adat nan-4 (adat nan sabana adat, adat nan teradatkan, adat nan diadatkan dan adat istiadat). Nagari berfungsi, apa bila kaum suku kuat. Kuat kaum suku itu ditandai keberadaan sako pusako salingka kaumnya. Habis sako pusako, habislah kaum. Habis kaum hilang Nagari. Hilang Nagari maka lenyaplah Minangkabau.

Di Nagari itu adat tiga kelembagaan: (1) pertama pemerintahan, (2) Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai organisasi adat di Nagari sesuai amanat sejarah berdirinya dipasilitasi Perda 13/1983, dan (3) Limbago Adat Penghulu Nagari/ Rajo dengan Kerapatan Nagarinya. Ketiga kelembagaan nagari ini tidak boleh saling mencampuri. Hubungannya hanya sebatas “konsultatif”. Pendistribusian kewenangan, (1) pemerintahan nagari (wali dan bamus) berfungsi sebagai regulator, (2) KAN sebagai organizing, yakni pelaksana pasilitasi penguatan fungsi nagari sebagai kesatuan MHA dan penguatan Limbago Adat Penghulu Nagari/ Rajo dalam mengemban fungsi nagari sebagai kesatuan wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) itu, dan (3) Limbago Adat Penghulu berbasis kaumnya adalah mengemban fungsi steerring, pengarah dalam pelaksanaan adat di nagari, karena Limbago Adat ini tempat tumbuhnya adat dan punya otoritas merumus, menjalankan dan mewariskan adat dan undang-undangnya sebagai sumber norma hukum adat. Karena itu perlu digagas menggunakan otoritas: (1) Penghulu Nagari/ Rajo perlu merumuskan hukum adatnya berdasarkan Tambo Adat/ Barih Balabehnya, dan (2) Perlu membuat manajemen kaum, dimungkinkan dalam bentuk “tambo baru”, mengganti tambonya dan ranjinya yang asli sudah tidak ditemukan lagi. 

Kedua, tentang tidak dihargainya hukum adat terutama dalam mempertahankan ulayat, dan yang banyak berbicara hukum negara yang sering tidak banyak berpihak bagi ketahanan tanah ulayat kaum dan nagari, seperti tadi dibentang Bundo Yetna dalam kerisauannya persoaalan antara ulayat Selayo dan Pauh Kota Padang dan ancaman terhadap ulayat dan hutan lindung sepanjang bukit barisan di Wilayah Solok, Padang, Pesisir Selatan dan Muko-muko.

Sebenarnya, penting penyadaran, bahwa hukum negara itu dirumuskan berdasarkan hukum adat. Prof. Dr. Kurniawarman ahli hukum piawai dalam soal pertanahan dan agraria dari Unand menyebut “pada perinsipnya hukum adat itu adalah hukum formal, tak banyak tertulis”. Fakta itu dimungkinkan, lihatlah contoh Undang-undang Pokok Agararia (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UUPA ini juga mengatur “hak milik tanah sebagai hak turun-temurun”. Pasal 5-nya menyebutkan, bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa “ialah hukum adat”, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara…”. Namun dalam prakteknya, hukum adat tetap dimarjinalkan, dan tidak ada kepastian hukum, yang karenanya merisaukan MHA dalam mepertahankan tanah dan hutan ulayat kaum dan nagarinya.

Untuk memperkuat adat dan peranan ninik mamak, penting dengan hukum. Di Minangkabau berlaku tiga hukum. Tiga hukum itu disebut “tiga tali sapilin” (tali tiga sepilin). Tali itu artinya hukum. Tiga hukum itu: (1) Tali Syara’ (hukum Agama Islam), normanya: “badasa ka anggo tanggo” (berdasar ke anggaran dasar, yakni syara’ dan kitabullah), (2) Tali Adat (Hukum Adat), normanya: “bahukum ka raso jo pareso” (berhukum kepada kecerdasan emosional dan kecerdasan intellegence), dan (3) Tali Undang (Hukum Negara, disebut Minangkabau sebagai hukum akal), normanya: “baundang ka alua jo patuik” (berundang-undang ke alur dan patut). Artinya tiga hukum yang bersinergi ini berlaku di Minangkabau. Tiga hukum ini disebut dalam pasal 5 Undang Adat Minangkabau 1403 (ABS-SBK sebagai Undang Adat Minangkabau 15 pasal 90 ayat, Sumpah Sati Bukit Marapalam 1403) menyebut, bahwa orang Minangkabau tidak diikat dengan tali tigo sapilin itu akan kacau.

Tali tigo sapilin dituangkan dalam struktur hukum “Limbago Nan-10”, yakni (1) cupak nan 2, (2) Undang nan-4 dan (3) Kato Nan 4. Cupak Nan 2 adalah: (1) cupak usali dan (2) cupak buatan. Cupak usali pada undang nan-4 adalah pada (1) Undang Luak dan Rantau, dan (2) Undang (beridirinya) Nagari. Cupak buatan pada Undang Nan-4 adalah (1) Undang Nan-20 dan (2) Undang Dalam Nagari. Cupak usali dalam kato nan 4, adalah (1) Kato pusako dan (2) Kato Mufakat. Cupak buatan pada kato nan-4, adalah: (1) kato dahulu dan (2) kato kemudian. Inilah Undang- Undang Adat Limbago Minangkabau yang dahulu berlaku dan sekarang nyaris tidak dikenal lagi dalam perilaku pelaksanaan adat di nagari-nagari.

Jadi untuk penguataan adat dan peranan ninik mamak Limbago Pangulu Nagari, penting bekal Undang-Undang Adat Limbago Minangkabau. Nanti akan berguna bagi hakim adat dalam Peradilan Adat Nagari seperti diamantkan Perdaprov 7/ 2018 tentang Nagari. Dalam hal ini penting digagas menggunakan otoritas Limbago Pangulu Nagari merumuskan Undang-Undang Adat Nagarinya sesuai dengan Tambo Adat/ Barih Balabehnya dan ambil contoh kepada “yang sudah” Tambo Alam Minangkabau, yang pernah memberlakukan hukum adat di setiap nagari.

Terakhir saya sudah meneliti dan membukukan, diterbitkan oleh Pemda Provinsi Sumatera Barat/ Museum Nagari Adityawarman Disbud Sumabat, insya Allah awal tahun ini sudah didistribusi, adalah buku: “Undang-Undang Adat Limbago Minangkabau”. Setidaknya mengiringi penerbitan dan pendistribusian buku ini, ada satu manfaat, dapat memberikan kontribusi kepada Limbago Pangulu Nagari untuk merumuskan Hukum Adatnya di Nagari Masing-masing yang dapat digunakan untuk pedoman dalam penyelenggaraan peradilan dan perdamaina adat di nagari oleh hakim adat dan Kerapatan Nagari Limbago Penghulu Nagari di samping KAN. Musyawarah Kubong XIII, dalam pengamatan (simak lihat), diakui kaya membetangkan ide dan pemikiran yang dapat mengantarkan Ninik Mamak (Penghulu dan Mandeh Sako/ Bundo Kanduang) beserta ulama dan cadik pandainya, kuat “balik” ke kaum masing-masing di nagari dalam wilayah Sumatera Barat dan Minangkabau umumnya.**

Bagikan: