Tabedo – Bagian 15
Oleh: Phillar Mamara
Vitlan merasakan kesejukan yang dalam ketika air wudhuk menyentuh wajah dan anggota wudhuk lainnya, seakan-akan ini kali pertama ia berwudhuk. Apalagi ketika ia mengusap kepalanya hingga ke tengkuk dengan jemari yang basah oleh air.
Dengan suasana hati yang bercampur baur antara was-was, takut, gundah, dan senang, Vitlan mulai mengangkat takbir. Lantunan lafaz demi lafaz dari bacaan shalat secara perlahan mulai menenangkan hatinya. Perasaan Vitlan benar-benar plong ketika bacaan hamdallah mengakhiri do’anya.
Selesai shalat maghrib, Vitlan kembali ke meja di mana Mak dan Mayor Sihombing duduk.
”Cam mana ceritanya tadi tu Lan,” tanya Mak.
Vitlan mengeluarkan rokok ji sam soe dari kantong celananya, mengambil sebatang lalu menyulutnya.
”Tadi waktu awak pulang kuliah sama Iskandar, awak dicegat aparat Koramil di depan makam pahlawan itu, terus awak diseret naik ke atas jip dan dibawa mereka ke kantor Koramil. Sampai di sana awak dibawa masuk ke satu ruangan dan di sana awak diinterogasi oleh dua orang tentara. Yang satu duduk di depan meja di depan awak dan yang satu lagi berdiri di samping kanan awak,” Jelas Vitlan.
”Apa saja yang ditanyakan sama Waang,” selidik Mak.
”Macam-macam Mak, mulai dari nama, tanggal lahir, asal, kerjaan sampai soal pertemuan beberapa hari yang lalu di kantor lurah,” jelas Vitlan.
”Mak cemas kali tadi Lan, sebaik temanmu bilang Waang diangkat Koramil. Hati Mak sudah tak tenang, Mak takut kaliiilah Lan, kalau terjadi yang tidak-tidak padamu. Mak jadi ingat si Awai, si Cecep dan siapa lagi tuh yang mukanya tak berbentuk lagi setelah keluar dari tahanan Kodim,” kata Mak sambil matanya berkaca-kaca.
”Untunglah Pak Hombing ini datang menenangkan Mak dan bilang Waang segera pulang,” lanjut Mak.
Mayor Sihombing, sudah mendengar banyak dari Mak, tentang kira-kira yang menjadi sebab musabab, Vitlan di ciduk aparat. Sambil memegang dan mengusap-usap pundak Vitlan, Mayor Sihombing bilang.
”Begini Lan, situasi sekarang sedang tidak menguntungkan. Siapa saja sekarang ini, yang dianggap jadi penghalang dan penentang kebijakan pemerintah, dapat dianggap sebagai musuh pemerintah. Dan orang semacam kau ini, dianggap salah satu orang yang berbahaya kalau dibiarkan terus bertindak seperti yang kau lakukan di kantor lurah itu bagi kelangsungan program pembangunan. Mereka sangat tidak suka dengan orang-orang yang kritis dan bisa membangkitkan semangat perlawanan masyarakat. Orang-orang seperti kau ini harus dibungkam Lan …,” jelas mayor Hombing.
”Tapi Bang …,” sela Vitlan.
”Lan, kau dengarlah dulu Abang bicara,” potong Sihombing.
”Ya Bang,” sahut Vitlan.
”Lan, bagi abang, kau ini tidak hanya sebatas kawan, tapi sudah abang anggap sebagai adik sendiri. Karakter kau ni, cocok sama abang. Lan, kau masih muda, perjalanan hidupmu masih panjang. Masih banyak cara cerdas untuk memperjuangkan sesuatu yang kau anggap benar. Kau tak harus korbankan dirimu Lan. Ingat Lan pepatah Minang dalam menyelesaikan masalah. Rambuik tak putuih, tapuang tak tumpah.” lanjut Hombing.
”Abang mengerti juga rupanya pepatah itu,” sela Vitlan.
”Lan, Abang ini lama bertugas di tanah Minang (sambil meletakkan tangan di dada). Isteri Abang juga orang Minang, putri seorang datuk di luhak Limo Puluah Koto,” jelas Sihombing.
”Jadi apa yang harus aku lakukan Bang,” lanjut Vitlan.
”Begini saja Lan, untuk sementara waktu kau menjauh sajalah dulu. Abang khawatir kau akan ditahan lagi, karena kau diincar terus sekarang ini,” jelas Sihombing.
”Maksud Abang?” tanya Vitlan.
”Sudahlah Lan, Kau turuti sajalah kata-kata Abang. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk berjuang seperti yang kau inginkan. Percuma Lan, percuma. Masih untung kau baru sampai di Koramil Lan, Abang masih bisa jemput Kau. Coba kalau Kau sudah dibawa ke Jalan Ghandi, Abangpun tak mungkin bisa lagi menyelamatkanmu,” lanjut Sihombing.
”Betul apa yang dikatakan Pak Hombing itu Lan, kau lihat kan si Cecep, si Awai, kek mana bentuknya waktu keluar dari tahanan Kodim,” timpal Mak.
”Jadi, untuk sementara Kau menjauh saja dulu Lan,
kalau Kau mau, Kau bisa tinggal di rumah abang,” sambung Sihombing.
”Makasih Bang,” jawab Vitlan sambil mangut-manggut.
Beberapa saat suasana diam. Vitlan beberapa kali menengadahkan wajahnya ke langit-langit sembari menghembuskan asap rokoknya ke udara.
Sesaat kemudian.
”Abang balik dulu ya Lan, Buk balik Buk,” pinta Sihombing, sambil melangkah ke depan ke keretanya
”Kek mana janji kita, Bang”, tanya Vitlan, mengikutinya bersama Mak.
”Istirahat sajalah kau dulu, biar tenang pikranmu itu,” jawab Mayor Sihombing.
”Ya Bang, makasih Bang,” kata Vitlan.
”Makasih Pak,” kata Mak.
Mayor Sihombing mengengkol keretanya dan berlalu. Vitlan beranjak ke kedai Mak Etek. Emak kembali ke dalam kedai.
”Rokok sabungkuih Mak Etek,” kata Vitlan.
”Sia tadi tu Lan,” tanya mak Etek kepada Vitlan sembari menyodorkan rokok yang diminta Vitlan.
”Bang Sihombing, kawan awak mak Etek,” jawab Vitlan.
”Lah tuo ambo caliak, kawan baa pulo tu Lan,” selidik mak Etek.
”Tuo jo mudo, gadang jo ketek, sadonyo harus dipakawani mak Etek,” balas Vitlan sembari menerima kembalian.
”Hebat Waang ma Lan, tentara nan bapangkek saroman tu bakawan jo Waang,” decak mak Etek.
”Yok mak Etek,” lanjut Vitlan sambil beranjak.
”Yoo… Lan,” balas Mak Etek.
”Lan, istirahatlah Waang dulu,” sapa Mak begitu melihat Vitlan datang.
”Ya Mak,” jawab Vitlan sambil berlalu ke dalam.
Vitlan masuk ke kamar, dia biarkan jendela tetap terbuka. Angin bertiup perlahan. Dia duduk di kursi dengan posisi tengadah menghadap jendela dan kaki diselonjorkan ke atas meja. Matanya menerawang jauh ke langit, Kepulan asap rokok berbentuk bulatan-bulatan silih berganti keluar dari rongga mulutnya. Sebatang habis, dilanjutkan dengan batang rokok kedua. Lamunannya kembali menguak kejadian yang dialaminya tadi sore di-tangkap Koramil. Jantungnya berdebar kencang begitu mengingat kembali bunyi benturan keras di ruang sebelah ruangan tempat ia diperiksa. Vitlan teringat kembali cerita-cerita tentang orang-orang yang pernah diperiksa dan ditahan di Kodim dan di jalan Ghandi. Bulu kuduknya bergidik dan nya-linya menciut. Dipejamkannya matanya dan menarik nafas dalam-dalam. Vitlan gusar dan pikiran-pikiran buruk mulai merayap ke relung hatinya, dan ia membatin.
”Hmm, bagaimana ya, seandainya tadi sore Bang Hombing tak datang, barangkali aku sudah ditahan dan dijebloskan ke dalam penjara. ’Bagaimana pula bila aku dibawa ke jalan Ghandi, bakal tak jadi oranglah aku lagi,” pikirnya merinding.
Terngiang kembali kata-kata Sihombing tadi.
”Lan, Kau masih muda, masih banyak cara cerdas untuk memperjuangkan sesuatu yang Kau anggap benar. Kau tak harus korbankan dirimu Lan. Ingat Lan, pepatah Minang, dalam menyeleaikan masalah: Rambuik tak putuih, tapuang tak tumpah.”
Padanan kata:
Kek = bagai/kayak
Kereta = motor
Rambuik = rambut
Putuih = putus
Tapuang = tepung
Sia = siapa
Sabungkuih = sebungkus
Baa = bagaimana
Tuo = tua
Jo = dan
Mudo = muda
Gadang = besar
Ketek = kecil
Sadonyo = semuanya
Dipakawani = diperkawani/dipertemani
Saroman = serupa/seperti
bersambung
