Tabedo – Bagian 20
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Telah lebih sepekan Vitlan berada di Adinegoro. Dia rindu pulang ke rumah. Dengan sebuah tas sandang yang berisi beberapa buah buku dan dua stel pakaian, ia keluar ruang yang biasa digunakannya bersama teman-temannya untuk tidur, masuk ke ruang sekretariat. Tidak ada orang di sana. Terus, ia keluar ke bawah pohon Seri menemui teman-temannya yang lain, asyik main karambol.

”Mau ke mana kau Lan?” sapa Wahab.
”Aku pulang ke rumah dulu, nanti malam atau besok aku balik,” jawab Vitlan, sembari menepuk bahu Wahab, Salim, Junaidi, dan melambaikan tangan pada yang lainnya sambil berlalu meninggalkan mereka.
”Yok,” balas teman-temannya sembari mengangkat tangan.

Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore, ketika bemo yang membawa Vitlan berhenti di seberang rumahnya.

”Pinggir, Bang”, kata Vitlan kepada supir bemo.

Bemo berhenti, Vitlan turun dan membayar ongkos, kemudian berlari menyeberang jalan. Sampai di depan rumah.

”Assalamu’alaikum,” sapa Vitlan.
”Alaikum salam,” jawab Mak.
”Syukurlah Waang sudah pulang Lan. Tuh ada surat untuk Waang di laci,” lanjut Mak, sambil menunjuk steling.

Vitlan melangkah menuju steling, menarik laci dan mengambil surat tersebut, kemudian duduk di kursi dekat steling.
”Kapan datangnya Mak?” tanya Vitlan kepada Mak sambil membuka surat tersebut.
”Kemarin sore,” jawab Mak.

Vitlan membacanya.

            Medan, 9 – 11 – 80 

’Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bang Vitlan, tolong abang datang segera ke rumah. Ada masalah penting yang mau Cicik bicarakan sama Abang tentang Icha. Kondisinya sangat mengkhawatirkan Bang. Kami tunggu kedatangan Abang.
Wassalam,
Cicik

Vitlan menutup surat dan mendesah. Dia merogoh kantong celana dan mengeluarkan bungkus rokok. Mengambilnya sebatang lalu menghisapnya. Kemudian berlalu ke lantai atas. Sambil berjalan,

”Apa ya yang sedang terjadi dengan Icha?” gumam Vitlan dalam hati.

Sampai di kamar Vitlan membaringkan tubuhnya di ranjang. Asap rokok mengepul bergulung-gulung ke langit-langit kamar. Ia membatin mengira-ngira apa yang sedang terjadi dan dialami Icha.

”Allahu akbar Allahu akbar,” terdengar azan berkumandang.
Vitlan bangkit, mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi di lantai dasar. Selesai mandi, segera kembali ke lantai dua untuk mengerjakan shalat maghrib. Selesai shalat, berpakaian, pakai sepatu, menghias wajah dengan bedak kertas yang jadi kegemarannya, mengeluarkan sisir dari kantong belakang celana lalu merapikan rambutnya yang gondrong sebahu. Kemudian turun terus ke depan.

”Mak, awak pergi sebentar ya, ke rumah Cicik di Amaliun,” pinta Vitlan sama Mak.
”Ya, hati-hati Waang ya,” jawab Mak.
”Ya Mak,” jawabnya lalu melangkah ke pinggir jalan.
”Bang, Bang,” teriak Vitlan kepada abang becak yang nongkrong dekat simpang.

Abang becak mendekat.

”Ke mana Lan,” tanya abang becak.
”Amaliun Bang,” pinta Vitlan lalu naik ke atas becak.

Sampai di alamat yang dituju. Vitlan turun dan membayar ongkos becak.
”Bang Giman, nanti kira-kira jam sembilan atau tengah sepuluh tolong jemput aku ke sini ya!” pintanya pada tukang becak yang bernama Giman tersebut.
”Ya Lan,” jawab Giman lalu pergi.

Vitlan membuka pintu pagar dan berjalan menuju pintu dan mengetuknya.

”Assalamu’alaikum,” sapanya.
”Alaikum salam,” jawab suara dalam.
Terdengar suara langkah kaki mendekat dan membuka pintu.
”Eee … Nak Alan, mari masuk,” sapa ibu Cicik seraya menyambut uluran salam Vitlan.
”Makasih, Buk,” jawab Vitlan seraya masuk.
”Duduk, Nak,” kata ibu Cicik sambil berlalu ke ruang dalam.

Vitlan duduk, dan tak lama berselang ibu Cicik keluar bersama Cicik dan Raudah.

”Apa kabar, Bang,” sapa Cicik dan Raudah serempak dan bergantian menyalami Vitlan.
”Alhamdulillah Sehat, bagaimana kalian,” jawab Vitlan.
”Baik-baik saja Bang,” jawab mereka berdua, kemudian duduk di kursi tamu yang agak panjang di sebelah kiri Vitlan. Sementara ibu Cicik duduk di kursi di sebelah kanan Vitlan.
”Yod, gih bikin minuman untuk abangmu gih,” kata ibu Cicik pada Raudah, yang dipanggil Yod. Ia segera bangkit berjalan ke dalam.
”Awak pulang tadi ke rumah, lalu ada surat dari Cicik, ada apa rupanya sama Icha,” Vitlan membuka pembicaraan.
”Iya Bang, kemarin Cicik ke rumah Abang, tapi Abang tidak di rumah. Kata Mak Abang, Abang sudah lebih seminggu tak pulang. Ke mana saja Abang sampai lebih seminggu?” tanya Cicik.
”Ada kegiatan di organisasi Abang,” jawab Vitlan.
”Ooohh…., begini Bang, kira-kira dua bulan yang lalu, pengadilan menjatuhkan hukuman sama Om Mahidin, ayah si Icha, 18 tahun penjara. Dia dituduh menyelewengkan ratusan juta dana yang ada di kantornya. Di antara mereka bersaudara, Icha yang paling terpukul dengan kejadian itu. Dia shock sekali Bang, dan sekarang tak mau keluar rumah. Dia mengurung diri terus,” papar Cicik.

Vitlan tercenung, lama, suasana jadi diam. Cicik dan ibunya saling pandang. Ia keluarkan sebatang rokok, lalu menghisapnya.

Kemudian…,

”Sekarang Icha ada di mana?” tanya Vitlan.

Dengan sedikit ragu Cicik menjelaskan,

”Dia sekarang di rumah nenek di Tanjung Balai, Bang. Rumah yang di Kisaran yang selama ini mereka tempati disita Bang. Mobil dan barang-barang berharga semua ikut disita. Mereka tak punya apa-apa lagi sekarang Bang,” lanjut Cicik.
”Kami tak menduga sama sekali bakal terjadi seperti ini sama keluarga abang kami itu,” timpal ibu Cicik.
”Jadi apa yang bisa saya lakukan,” tanya Vitlan.

Raudah masuk menenteng baki berisi sebuah teko dan empat buah cangkir keramik bermotif bunga, dan meletakkannya di atas meja. Dia lalu berbalik ke dalam dan keluar lagi dengan dua piring berisi gorengan dan meletakkannya satu di depan Vitlan dan satu lagi di depan Raudah. Ada pisang kepok goreng, pisang raja goreng, sukun goreng, ubi dan tapai goreng. Cicik menuangkan teh manis panas ke masing-masing cangkir.

bersambung

Bagikan: