Tabedo – Bagian 27
”Di belakang Nak, Cik tunjukkan gih,” kata Ibu Icha kepada Cicik, seraya berlalu. Kemudian kembali lagi dengan selembar sajadah, dan membentangkannya dekat dinding.
Vitlan berjalan ke belakang diiringi Cicik.
”Tuh kamar mandinya Bang,” kata Cicik sembari menunjuk sebuah pintu di pojok dapur.
Selesai berwudhuk, Vitlan kembali ke ruang tengah untuk melaksanakan shalat jamak qasar antara Zuhur dengan ’Ashar.
”Shalatnya di situ Bang,” kata Cicik, sambil menunjuk sajadah yang sudah terbentang dekat dinding.
Ibu Icha pindah duduk ke samping kanan Icha.
”Bagaimana rasanya, dah baikan Nak,” sapanya sembari membelai rambut Icha dengan tangan kirinya.
”Sudah tidak apa-apa Buk,” jawab Icha malu-malu, sembari merapatkan tubuhnya ke dada ibunya.
”Ibu sempat kuatir tadi, kamu tiba-tiba pingsan, tak pernah-pernahnya kamu seperti itu,” lanjut ibunya.
”Tapi sudah tidak apa-apa kok, Buk,” jawab Icha.
”Ya sudah, kalau sudah tidak apa-apa,” balas ibunya mencoba memahami perasaan anak gadisnya itu.
Cicik yang duduk di sebelah kiri Icha, senyum-senyum kecil saja melihat tingkah Icha. Dia mencoba memahami apa yang baru saja dialami sepupunya itu, apalagi kalau bukan gejolak rindu yang hebat.
Vitlan telah selesai shalat dan kembali ke tempat mereka duduk. Ia duduk berseberangan dengan mereka. Ibu Icha melirikkan sudut pandangnya pada Vitlan, dan bergumam dalam hati.
”Ini rupanya orang yang telah menarik perhatian anakku, sampai-sampai membuatnya pingsan waktu bertemu tadi. Tampan, shalih dan perhatian, kesannya sangat baik.”
”Cik, tamunya kok tidak dibuatkan minum,” kata ibu Icha kepada Cicik setelah dilihatnya tidak ada apa-apa di atas meja.
”Oh ya …, maaf. Maaf ya Bang, lupa. Ntar Cicik buatkan,” kata Cicik tersentak setelah tahu dia belum membuatkan minuman untuk Vitlan, sembari bangkit dari duduknya.
”Ndak usah repot, Buk,” jawab Vitlan sambil senyum melihat Cicik jadi salah tingkah.
Tidak berapa lama berselang, Cicik telah kembali dengan membawa baki berisi teko dan tiga buah cangkir. Ia menuangkan teh manis panas, ke dalamnya, dan meletakkannya di depan masing-masing orang.
”Silakan diminum, Bang,” kata Cicik lalu beranjak ke tempat keranjang yang ia bawa tadi. Cicik lalu mengeluarkan penganan dan buah jeruk, kemudian meletakkannya di atas meja.
”Silakan dimakan,” lanjutnya.
Vitlan mengangkat cangkir dan menyerumput isinya.
”Nenek dan Adin ke mana mak Tuo?, kok tidak nampak dari tadi,” tanya Cicik.
”Nenek pergi ke Tebing, ada saudara yang pesta di sana, lusa mungkin pulang, si Adin pergi main-main sama kawan-kawannya,” jawab ibu Icha.
”Sudah ya, kalian Ibu tinggal dulu ya, Ibu mau masak dulu,” kata ibu Icha kepada mereka.
”Ya Buk, ya Mak Tuo,” jawab mereka serentak.
Vitlan mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celananya, mengambilnya sebatang lalu menyalakannya. Asap rokoknya mengepul bergulung-gulung ke udara. Ia mengedarkan pandangannya, ke sekeliling ruangan. Pandangannya terhenti pada sebuah foto yang berukuran besar yang terpampang di dinding. Vitlan berdiri mendekat. Ia perhatikan satu persatu wajah yang ada dalam foto tersebut.
”Ini foto kami sekeluarga,” kata Icha mendekat.
”Yang ini bang Syahbuddin, yang ini kak Hasnah, kami memanggilnya kak Butet, yang ini Saldin, sambil menunjuk satu persatu, yang ada dalam foto tersebut.
”Yang ini siapa. Kayaknya pernah jumpa, di mana ya?” tanya Vitlan menggoda, sambil menunjuk foto gadis yang berdiri di sebelah kiri Syahbuddin.
”Di Paradiso,” jawab Icha sembari mencubit lengan Vitlan manja.
”Hei, jangan main cubit-cubit anak oranglah,” kata Vitlan menggeser lengannya.
”Biar saja,” balas Icha.
”Nanti kalau anak orang pingsan cammana?” timpal Vitlan.
”Ngenyek ya,” balas Icha.
Vitlan melangkah ke beranda dan duduk di kursi yang menghadap ke halaman. Icha mengikut dan duduk di kursi sebelah kiri kursi Vitlan. Cicik beranjak ke dapur, meninggalkan mereka berdua.
Vitlan memperhatikan kursi yang didudukinya sambil mengusap-usap tangan dan sandarannya. Ia teringat kursi yang ada di beranda rumahnya di kampung. Rangka kursi itu terbuat dari kayu jati. Bagian lantai dan sandarannya terbuat dari anyaman rotan. yang membuat pantat dan punggung kita akan tetap sejuk bila duduk dan bersandar padanya, karena udara tetap masuk melalui celah-celahnya. Anyaman rotan pada bagian lantai kursi, dapat ditanggalkan, sehingga pemakaiannya bisa dibolak-balik.
”Abang sedang memperhatikan apa, kok serius kali nengoknya?” tanya Icha melihat Vitlan begitu asyik memperhatikan kursi yang didudukinya.
”Ndak, nengok kursi ini, Abang jadi teringat rumah di kampung. Kursinya persis sekali dengan kursi ini,” kata Vitlan.
’Terus ingat apalagi,” selidik Icha.
”Rumah Abang di kampung juga pakai tangga. Hanya saja tidak setinggi rumah ini. Letak berandanya juga persis. Bedanya, kalau di kampung berandanya menghadap bukit, persawahan dan gunung. Jadi bila kita duduk dengan posisi seperti sekarang ini, kita langsung dapat menikmati pemandangan alam pegunungan. Sementara di sini, kita bisa melihat truk-truk pengangkut hasil laut lalu lalang, di depan rumah,” jelas Vitlan.
”Terus ada lagi yang teringat?” tanya Icha lagi.
”Kalau di kampung, duduk di beranda rumah sendirian, kalau di sini duduknya didampingi seorang gadis cantik,” jawab Vitlan, sembari melirik Icha.
Merasa dipuji, wajah Icha memerah dan dalam hati ia ingin mendengar Vitlan mengucapkan kata pujian itu beberapa kali lagi, sambil membalas lirikan Vitlan dengan senyum dikulum. Icha lantas bangkit melangkah ke ruang dalam, dan sejenak kemudian telah kembali membawa baki berisi cangkir dan teko yang tadi berada di meja ruang tengah tempat mereka sebelumnya duduk.
Betapa tentram dan damainya hati Icha dengan kehadiran Vitlan di sisinya. Ia berharap suasana seperti ini senantiasa hadir dalam hidupnya. Ia merasa semangat dan gairah hidupnya bangkit dan bergelora lagi dengan kehadiran Vitlan. Hatinya yang sempat redup, kini berbunga lagi.
Cicik muncul di hadapan mereka.
”Bang, Icha, yok makan, nasinya sudah masak,” kata Cicik sambil menarik tangan Icha dan menggandengnya masuk.
bersambung