Tabedo – Bagian 28
Oleh: Phillar Mamara
Vitlan bangkit dari kursi dan mengiring dari belakang. Sampai di meja makan, Icha menarik kursi dan mempersilakan Vitlan duduk. Ia menurut. Icha mengambil posisi duduk di sebelah kiri Vitlan.
Sementara Cicik dan ibu Icha duduk di seberang mereka.
”Diambil nasinya Nak,” kata ibu Icha sembari menyodorkan cambung nasi pada Vitlan.
Vilan menerimanya dan meletakkan di depannya, lalu menyendok nasi ke piringnya. Setelah merasa cukup, ia kemudian meletakkan cambung nasi itu di tengah meja. Ia melayangkan pandangan sejenak ke lauk yang tersedia di atas meja.
Matanya tertuju ke piring kakap goreng, lalu mengambilnya. Setelah itu mengambil sayur tumis kangkung dan sambal cabe hijau.
”Oh ya, sambal yang kita bawa dari Medan tadi kan masih ada,” kata Cicik langsung bangkit dari duduknya.
Sejenak kemudian Cicik sudah kembali menenteng jinjingan rantang dan meletakkannya satu persatu di atas meja. Ia membuka rantang dari jinjingannya.
”Bawa apa saja Cik, oouw, ada ikan asam pedas,” kata Icha langsung mengambil rantang yang berisi ikan asam pedas dan mengambil isinya sepotong, kemudian menyirami nasi di piringnya dengan kuahnya.
Saldin muncul, langsung duduk bersama mereka.
”E, e, e…cuci tangan dulu ke belakang,” cegah ibu kepada Saldin.
Saldin menurut, langsung berlari ke kamar mandi, mencuci muka, tangan dan kaki dan melapnya dengan handuk, yang tergantung di tali jemuran kamar mandi. Kemudian kembali ke meja makan dan duduk di tempat semula.
”Ini bang Vitlan dari Medan, bang Vitlan ini temannya kak Icha dan kak Cicik,” kata ibu mem-perkenalkan Vitlan kepada Saldin.
”Nama awak Saldin Bang, panggilnya Adin aja,” kata Saldin mengenalkan diri. sembari mengulurkan tangannya pada Vitlan, kemudian membawanya ke keningnya.
Vitlan membalas perkenalan Saldin dengan senyuman, dan mengusap kepala Saldin.
Icha makan dengan lahap, dan nambah. Ibunya memperhatikan tingkah Icha dengan seksama.
Hatinya senang melihat anak gadisnya kembali bersemangat dan keceriaan mulai menyembul dari wajahnya. Dalam hati ia membatin.
”Sejak kedatangan nak Vitlan tadi siang, kau nampak langsung berubah, Nak. Wajahmu yang selama ini selalu terlihat murung, kini nampak ceria. Mudah-mudahan saja kau telah menemukan orang yang tepat untuk mengembalikan semangat hidupmu. Ibu akan lakukan apa saja untuk kebahagiaanmu. Ibu merasa yakin kalau nak Vitlan cocok menjadi pendampingmu, meski ibu baru mengenalnya.” bisik ibu membatin.
”Diambil lauknya Nak, masak makannya dengan sayur saja,” kata ibu Icha melihat Vitlan mengambil sayur lagi.
”Sudah Bu,” jawab Vitlan.
”Masakan Ibu tidak enak ya,” lanjut ibu Icha.
”Enak, enak kok Bu,” jawab Vitlan.
”Bang Alan ini pintar masak ni mak Tuo,” timpal Cicik.
”Pantas dia tidak begitu selera sama masakan Mak Tuo,” lanjut ibu Icha.
”Ndak gitu kok, Bu. Tumisan kangkungnya enak kali, Saya suka,” bela Vitlan sembari menjangkau cambung nasi untuk nambah.
”Syukurlah kalau suka masakan Ibu,” jawab ibu Icha.
”Di Medan tinggalnya di mana Nak, jauh tidak dari rumah Cicik,” tanyanya.
”Di SM Raja simpang Halat Bu, ndak jauh kok dari rumah Cicik, paling juga setengah kilo,” jawab Vitlan.
”Di mana kenal dengan orang ini?” tanyanya lagi.
”Di Paradiso Bu,” jawabnya.
”Begini ceritanya Mak Tuo,” timpal Cicik.
”Waktu itu malam Minggu. Di halaman kolam renang Paradiso ada acara pentas band menyambut tahun baru, kami bertiga dengan Iyod pergi nonton pertunjukan itu. Sedang enak-enaknya nonton, Icha digratili seorang anak kecil, lantas Bang Alan datang menolong kami, terus kami minta ditemani sampai kami diantarnya pulang,” terang Cicik.
Vitlan menjangkau piring udang goreng dan mengambilnya beberapa ekor.
”Asli orang Medan?” tanya ibu lagi.
”Ndak Bu, saya merantau ke Medan, saya orang Minang,” jawab Vitlan.
”Di Medan, kerja apa dagang?” cecar ibu.
”Bantu-bantu Mak jualan, Bu,” jawabnya.
”Bang Alan ini mahasiswa Mak Tuo”, timpal Cicik.
”Jadi, tinggal sama orang tua?”.
”Sama mak Angkat, Bu” jawabnya.
”Orang tua kandungnya di mana”.
Vitlan menghentikan suapnya. Mengalihkan pandangan ke Cicik, selanjutnya ke Icha, kemudian ke meja makan. Dia tampak ragu, namun berusaha menutupinya
”Di kampung, Bu,” dengan suara pelan.
”Tambah lagi nasinya Bang,” timpal Cicik, melihat nasi di piring Vitlan sudah habis.
”Sudah, dah kenyang,” jawab Vitlan sembari menjangkau mangkok cuci tangan.
”Kok dah siap saja makannya, Nak,” tanya ibu Icha.
”Dah kenyang Bu,” jawab Vitlan sembari mencuci tangan.
Vitlan kemudian mengambil lap tangan.
”Cha, ambil gih, tuh di sana ada pisang,” perintah ibu Icha sembari menunjuk meja kecil dekat pintu ke dapur.
Icha segera bangkit menuju tempat dimaksud dan kembali dengan sesisir pisang barangan yang diletakkan di atas piring, kemudian meletakkannya di depan Vitlan. Vitlan mengambil pisang sebuah dan memakannya.
Icha, Cicik dan ibu sudah pula selesai makan. Ia mengangkat piring dan peralatan makan lainnya, yang sudah kotor ke dapur, kemudian langsung mencucinya. Ibu Icha, masih duduk menemani Adin yang masih makan. Vitlan bangkit dan menyorongkan kursinya, ke bawah meja.
”Ke depan Bu,” katanya mohon diri, lalu beranjak dari kursi menuju beranda, sambil menenteng gelas minumnya.
”Ya, Nak,” Jawab ibu Icha.
Sampai di beranda, Vitlan duduk di kursi yang didudukinya tadi. Dia mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celana, mengambilnya sebatang lalu menghisapnya. Asap bulat-bulat keluar dari mulutnya. Angin senja bertiup pelan. Di jalan depan rumah anak-anak berjalan beriringan menuju masjid.
Sebahagian anak laki-laki berjalan, seperti setengah berlari, sambil melompat-lompat dan menendang-nendang apa saja yang nampak oleh mereka.
bersambung