TABEDO – Bagian 24
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Selesai makan, Vitlan merapikan meja, kursi, menyapu lantai dan mencuci piring, sendok dan gelas yang kotor. Setelah itu membaca koran edisi hari itu yang belum sempat dibacanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu tengah malam. Jalanan sudah mulai sepi, tidak banyak lagi kendaraan yang lewat. Vitlan menutup kedai, dan beranjak ke kamar mandi untuk berwudhuk dan setelah itu naik ke lantai dua.

Sesampai di kamar, Vitlan shalat Isya. Setelah itu berganti pakaian dengan piyama. Mengambil rokok sebatang lalu menghisapnya sembari membaringkan badan di atas tempat tidur. Rokok di tangannya baru habis diisap kira-kira separoh, ia telah tertidur, dengan sisa batang rokok yang sudah tidak menyala lagi masih terselip di sela jari telunjuk dan jari tengahnya.
!!!

Pagi itu Vitlan bangun agak terlambat. Ia baru bangun sekitar pukul setengah enam. Tidak seperti biasanya, pagi ini, ia langsung mandi. Selesai mandi, kembali ke atas, shalat dan bersalin. Memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas, kemudian turun lagi, sarapan ala kadarnya dari sisa makanan yang tidak habis terjual.

Pukul setengah tujuh Vitlan keluar rumah dengan terlebih dahulu meninggalkan pesan untuk Mak di secarik kertas dan diletakkan di atas meja di depan steling. sampai di depan, ia memanggil becak mesin yang biasa parkir di sepanjang jalan dekat simpang, di depan rumahnya.

”Bang, Bang Parman, sini,” katanya memanggil tukang becak mesin yang bernama Parman.
”Ke mana Lan,” tanya bang Parman.
”Amaliun Bang,” jawab Vitlan langsung naik ke becak.
”Mau ke mana kau rupanya, bawa-bawa tas segala,” tanya Parman sambil menghidupkan mesin becaknya.
”Mau ke Tanjung Balai Bang, ada perlu,” jawabnya singkat.
”Ooo…, ada perlu apa kau ke sana Lan?” tanyanya
”Ada keperluan sikit Bang, penting,” jawab Vitlan
”Ooo…, lama Lan?” tanyanya lagi.
”Belum tahu Bang, bisa sehari, bisa seminggu.”
”Naik apa kau ke sana?”
”Naik Kereta Api, Bang,”
”Ke Amaliun ada perlu apa?”
”Mau ke tempat teman dulu, Bang,”
”Bang, pinggir Bang,” kata Vitlan.

Parman menginjak pedal rem dan becak pun berhenti.

”Tunggu ntar ya Bang,” kata Vitlan sambil melompat turun dan setengah berlari membuka pagar dan terus menuju pintu rumah.

”Assalamu’alaikum,” teriak Vitlan.
”Wa’alaikum salam,” kata suara dari dalam rumah dan pintu rumah segera terbuka.
”Masuk dulu Bang,” kata Raudah.
”Ciciknya mana, dah siap?” tanya Vitlan.
”Sudah Bang,” jawab Cicik melongokkan muka dari ruang tengah.
”Nak Vitlan sarapan dulu, Ibuk sudah siapkan nih,” ajak Ibu Cicik begitu melihat Vitlan sudah datang.
”Sudah Buk, Vitlan sudah sarapan tadi di rumah,” bela Vitlan.
”Ndak apa, sarapan saja lagi bersama orang ini,” desak Ibu Cicik.
”Becaknya sudah menunggu Buk,” jawab Vitlan.
”Sudah, Panggil saja sekalian tukang becaknya, sarapan sama-sama,” kata Ibu Cicik sambil melangkah menuju pintu diiringi Vitlan.
”Bang, masuk dulu sini,” kata Ibu Cicik.
”Bang Parman, masuk dulu Bang,” kata Vitlan, sembari mendekat dan menggamit tangannya masuk ke dalam rumah.

Parman menurut saja ke dalam rumah. Mereka sarapan bersama. Selesai sarapan, mereka keluar menuju becak. Vitlan mengangkat koper Cicik.

”Makasih Buk, sarapannya,” kata Parman kepada Ibu Cicik.
”Ya sama-sama,” jawab Ibu Cicik.
”Mari sini kopernya Lan,” pinta Parman sembari memegang koper yang dijinjing Vitlan. Ia melepaskan jinjingannya.
Cicik naik duluan, kemudian Vitlan.

Sementara koper diletakkan di depan kaki mereka.
”Kalau tidak kopernya di belakang saja Lan,” kata Parman lalu berjalan ke sebelah kiri becak.
”Boleh juga Bang, biar kakinya lempang,” jawab Vitlan.

Parman memindahkan koper ke bagian belakang becak. Setelah itu becak mulai berjalan

”Kami pergi ya Buk,” pinta Vitlan dan Cicik berbarengan.
”Ya Nak, hati-hati ya… sampaikan salam Ibu sama Nenek, mak Wo dan, Icha ya…,” balas Ibu Cicik.
”Ya Buk,” jawab Cicik.

Becak mulai melaju menuju stasiun kereta api. Sampai di stasiun, Vitlan langsung menuju loket untuk membeli karcis, tapi Cicik mencegahnya.

”Bang Alan mau ke mana, karcisnya sudah ada Bang, sudah dipesan ibuk tadi malam sama temannya,” kata Cicik.

Vitlan menghentikan langkahnya dan berbalik.

”Oh ya,” katanya.

Sementara itu, Parman menurunkan koper dari becak. Cicik turun dari becak dengan keranjang jinjingnya. Parman membantu mengangkat koper sampai ke peron.

”Makasih Bang,” kata Vitlan kepada Parman sembari menyodorkan uang dua ratus rupiah.
”Ambil saja semua Bang,” kata Vitlan begitu dilihatnya Parman merogoh kantong, mau membe-rikan kembaliannya.
”Makasih Lan,” kata Parman lalu berlalu.

Vitlan dan Cicik naik ke gerbong bisnis dan mencari tempat duduk sesuai nomor karcis yang ada ditangan Cicik. Setelah dapat Vitlan meletakkan koper di sebelah dinding, kemudian meletakkan tas sandangnya di atas koper tersebut. Sementara Cicik memangku keranjang. Tas kecilnya tetap disandangnya.

!!!

Kereta berangkat hampir setengah jam dari jadwal semestinya. Vitlan duduk di sebelah dalam, sementara Cicik duduk di sebelah jendela. Beberapa saat kemudian, Cicik mengeluarkan beberapa buah bon-bon dari tasnya, dan menyodorkannya kepada Vitlan.

”Bang, nih ada bon-bon Bang”, kata Cicik memecah kebisuan.

Vitlan mengambilnya dua dan memakannya.

”Berapa lama kira-kira kita di jalan Cik,” tanya Vitlan membuka obrolan.
”Kira-kira lima sampai enam jam Bang,” jawabnya.
”Lama juga ya?” balas Vitlan
”Ya…, gitulah, Bang. Karena begitu sampai di Tanjung, kita naik erbete lagi ke rumah,” terang Cicik.
”Jadi, rumahnya bukan di Tanjung Balai, Cik?” tanya Vitlan mengerenyitkan keningnya.
”Bukan, Bang. Di Bagan,” jelas Cicik.
”Bagaimana sebenarnya ceritanya, Om Mahidin itu, kok sampai ditahan, Cik?” selidiknya.
”Om Mahidin itu kan menjabat sebagai Kakandep. Jadi kan banyak uang di sana. Waktu diadakan pemeriksaan oleh atasannya dari Kanwil, dari… inspektorat gitulah, dia tidak bisa menjelaskan dana yang telah dikeluarkan. Karenanya dia diperiksa,” jelas Cicik.
”Terus,” desaknya.
”Hasil pemeriksaan itulah yang menyeretnya ke penjara, Bang,” kata cicik.
”Cicik yakin Om itu yang melakukannya,” tanyanya lagi.
”Yaa…, kek mana ya, Bang, dibilang percaya, ya tidak juga. Dibilang tidak percaya, kenyataannya seperti itu. Om itu, sudah ditahan,” jawab Cicik sambil mendesah.
”Kehidupan keluarganya cemmana rupanya,” tanya Vitlan.
”Memang sejak menjabat Kakandep, banyak perubahan dalam kehidupan keluarganya. Om itu sudah punya rumah baru, abang dan kakaknya Icha yang kuliah di USU, masing-masing punya mobil. Cuma Icha saja yang ke mana-mana naik angkutan umum atau diantar oleh supir,” jawabnya.
”Anak Om itu berapa?”
”Anak Om itu ada empat. Yang paling besar bang Syahbuddin, nomor dua, kak Hasnah, dipanggil Butet, terus Icha dan yang paling kecil Saldin,” jelas Cicik.
”Sekarang mereka pada tinggal di mana, Cik?”
”Bang Syahbuddin dan kak Butet, tinggal bersama adik bapaknya di Medan, sementara mak tuo, Icha dan Saldin tinggal bersama nenek.”

bersambung

Bagikan:
HIDUP SEHAT ala Rasulullah SAW (21)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

SUMBER BAHAN MAKANAN DAN MINUMAN

Sumber Bahan Minuman

Air

Air bukan hanya sebagai sumber air minum, akan tetapi lebih daripada itu air adalah sumber kehidupan. Bumi ini setelah diciptakan merupakan sebuah benda mati. Akan tetapi ianya menjadi hidup setelah Allah turunkan air hujan dari langit. Sebagai sumber air minum, Allah memberikannya dalam bentuk air hujan yang turun dari langit, mata-mata air yang memancar dari dalam bumi, sungai-sungai yang mengalir, danau dan telaga.

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقاً فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ (الأنبياء: ٣٠)
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. 21: 30)

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لَّكُم مِّنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ (النّحل:١٠)
Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu (QS. 16: 10)

وَآيَةٌ لَّهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبّاً فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ ¤ وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِن نَّخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنْ الْعُيُونِ ¤ (يس:٣٣-٣٤)
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.(QS. 36: 33-34)

وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الأَرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَاراً وَمِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (الرّعد:٣)
Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan , Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.(QS. 13: 3)


Susu

Sumber bahan minuman berikutnya adalah susu. Susu biasa didapatkan dari hewan ternak seperti sapi, kerbau, unta, kambing dan biri-biri. Dalam jumlah terbatas susu juga dapat diperoleh dari kuda.
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُّسْقِيكُم مِّمَّا فِي بُطُونِهِ مِن بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَّبَناً خَالِصاً سَآئِغاً لِلشَّارِبِينَ (النحل: ٦٦ )
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya

عن ابن عمر، قال: أُتِيَ النَّبِيُّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بجُبْنَةٍ فى تَبوْكَ، فَدَعَا بِسِكِّيْنٍ، فِسَمَّى وَقَطَعَ (رواه أبوداود)
Dari Ibnu Umar r.a., dia berkata; pada waktu perang Tabuk, Rasulullah SAW disuguhi keju, maka beliau minta diberi pisau.

Madu

Sumber bahan minuman berikutnya adalah madu. Susu biasa didapatkan dari lebah atau tawon.

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (النحل: ٦٩)
kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan (QS.16: 69)

Buah

Buah, selain dimakan langsung, juga dapat dijadikan sebagai sumber minuman segar dan bergizi. Hampir semua jenis buah dapat dijadikan sebagai sumber bahan minuman.
Membuat minuman dari buah adalah dengan memeras buah tersebut, kemudian diambil air perasannya. Saat ini cara praktis mendapatkan minuman dari buah adalah dengan mengubah buah menjadi jus.

وَمِن ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَراً وَرِزْقاً حَسَناً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (النّحل: ٦٧)
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.(QS. 16: 67)

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 23
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Pukul 11.30 malam pertunjukan film usai. Vitlan dan teman-temannya tetap duduk ditempat menunggu penonton lain keluar gedung bioskop. Mereka baru beranjak dari bangku penonton ketika penonton yang masih berada di dalam gedung bios-kop tinggal sedikit. Mereka pulang dengan jalan kaki, seperti kebanyakan penonton lainnya. Ada juga sebahagian penonton pulang dengan naik be-cak, dan sedikit dari mereka, yang datang dan pulang naik kereta.

”Mil, Njas, Man, Rul, besok aku berangkat ke Tanjung Balai. Aku belum tahu kapan baliknya,” kata Vitlan kepada mereka.
”Ada urusan apa kau ke sana Lan?” tanya Jamil.
”Urusan itu… masak kau tak tau Mil,” goda Maman.
”Iya Lan, urusan cewek yang hari tu, siapa namanya? I … I … Icha, ya Icha. Dah kek mana kau sama dia, rupanya Lan?” tanya Jamil bersemangat.
”Kalian dengarlah dulu aku,” pinta Vitlan.
”Haa, ya ya,” jawab Jamil.
”Begini ceritanya. Ini sama kalian saja, kuceritakan ni ya. Beberapa waktu yang lalu bapak si Icha itu disidangkan untuk terakhir kalinya dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara …”
”Haaa (serempak). Bapaknya kenapa rupanya, merampok, membunuh,” potong Jamil.
”Inilah kau, main potong saja. Dengar dululah penjelasanku. Bapaknya itu, kan kepala Dinas, eh kepala Kantor. Ah ndak tahu aku. Pokoknya, Kepalalah. Ia dituduh menggelapkan dana anggaran yang ada di kantornya,” kata Vitlan.
”Banyak Lan?” tanya Anjas.
”Dengarnya ratusan juta,” kata Vitlan.
”Perampok rupanya,” selentik Jamil spontan.
Anjas menyikut rusuk Jamil sambil mengerlingkan matanya kepada Jamil. Jamil diam.
”Jadi Dia sangat terpukul dengan kenyataan itu, Dia merasa malu sekali, karenanya dia sekarang mengucilkan dirinya ke tempat neneknya di sana. Aku harus ke sana melihat kondisinya. Mudah-mudahan kehadiranku dapat memperbaiki keadaan,” jelas Vitlan.

Mereka telah melewati masjid raya. Sampai di depan sebuah gang.
”Kami balik ya,” kata Jamil dan Anjas berbarengan sambil melambaikan tangan dan berlalu masuk gang.
Bertiga mereka berjalan menyusuri trotoar jalan hingga sampai di depan kedai nasi Mak.

”Yok balik, aku dah ngantuk kali,” kata Maman langsung menyeberang jalan, sambil melambaikan tangan. Vitlan dan Basrul balas melambaikan ta-ngan.
”Rul, kau dah mau balik pulak?” tanya Vitlan.
”Ya, besok aku ada kerjaan,” jawab Basrul.
”Ntar Rul, aku mau ngomong samamu sebentar,” ajak Vitlan lalu menggamit lengan Basrul ke dalam kedai, dan mengambil tempat duduk di pojok sebelah belakang.
”Begini Rul, kira-kira sepuluh hari yang lalu, Pak A Kiat datang kemari menjumpaiku, dan…
”Ntar Lan, Pak A Kiat itu siapa, dan apa hubungannya dengan pembicaraan kita ini?” potong Basrul.
”Lan, jaga kedai ya, Mak dah ngantuk,” kata mak.
”Ya Mak,” jawab Vitlan.
”Hai Rul, kau dengar aku dulu, jangan asal potong saja. Kau, sama pula kek si Jamil, kutengok. Pak A Kiat itu adalah orang tua dari orang yang tabrakan tempo hari, yang kita datang memberitahu ke rumahnya malam itu, ingat kau ndak,” jelas Vitlan.
”Haa ya, ya, ya ha’a, aku ingat,” jawab Basrul.
”Dia datang ke sini untuk mengambil kereta anaknya, yang kusimpan di samping belakang, terus sebelum beliau pamit, ia memberiku amplop ini (sembari mengeluarkan amplop berisi uang dari kantong celananya), katanya sebagai tanda terima kasih telah susah-susah mencari rumahnya malam-malam lagi,” jelasnya, menirukan pak A Kiat.
”Dikasih berapa Lan?” tanya Basrul.
”Ndak tahu, belum kubuka, bukalah!” kata Vitlan menyodorkan amplop tersebut kepada Basrul.
Basrul membuka amplop dan menghitungnya.
”Lima puluh ribu Lan,” kata Basrul.
”Ah masak, banyak kali,” sambung Vitlan heran dan setengah tidak percaya.
”Benar, cobalah kau hitung sendiri,” kata Basrul sambil menyodorkan uang tersebut.
Vitlan menghitung uang tersebut dan
”Betul ya, lima puluh ribu,” decak Vitlan.
”Kita kan berlima waktu itu, jadi uang ini kita bagi limalah ya,” lanjut Vitlan.
”Begini saja Lan. Tadi kau bilang kau mau ke Tanjung Balai besok, dan baliknya belum tahu kapan. Coba kau bilang dulu samaku, apa maksudnya belum tahu itu,” tanya Basrul.
”Ya … aku kan ndak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana Rul, makanya ku bilang belum tahu baliknya kapan. bisa saja aku di sana hanya satu dua hari saja, bisa juga sepekan, dua pekan, sebulan, atau malah ndak balik sama sekali ke sini,” jelas Vitlan serius.
”Ya ya, aku paham. Kalau begitu kau bawa saja uang itu semua, untuk keperluanmu, karena bagaimanapun kau mesti punya cadangan uang yang cukup untuk menghadapi semua ini Lan,” kata Basrul.
”Iya Rul, tapi…
”Sudahlah Lan. aku tahu maksudmu. Untuk teman-teman yang lain itu, biar aku nanti yang menjelaskannya. Sekarang kau kantongi saja uang itu.” potong Basrul sambil merangkul dan menepuk-nepuk bahu Vitlan.


Vitlan terharu, matanya berkaca-kaca menatap Basrul. Ia bangkit memeluk temannya itu.

”Sudahlah Lan, rejekimulah itu,” lanjut Basrul (sambil menepuk-nepuk bahu Vitlan).

Ia duduk kembali. Basrul mengambil rokok yang tadi diletakkan Vitlan di atas meja sebatang dan menghisapnya. Vitlan ikut mengambil sebatang dan menyulutnya. Asap rokok bergulung-gulung ke udara.

”Aku pulang ya Lan, sudah larut dan selamat jalan untukmu,” kata Basrul sembari berdiri dan berjalan ke depan.

Vitlan ikut berdiri dan mengiring di samping Basrul, sampai di depan kedai.

”Yok Lan,” kata Basrul sambil menepuk bahu Vitlan kemudian berlalu.
”Yok Rul,” balas Vitlan sambil melambaikan tangan.

Vitlan kembali ke dalam kedai. Dia menuju steling nasi memperhatikan lauk-lauk yang ada di sana. Dia tak tertarik, lalu menutupkan kembali kain penutup steling. Ia kemudian beranjak ke steling yang satunya lagi, lalu menghidupkan kompor dan memasak mie tiaw, makanan kesukaannya.

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (20)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

Sumber Bahan Makanan Dan Minuman

Berburu dengan menggunakan senapan/bedil

Setelah manusia menemukan senapan/bedil, maka banyak orang menggunakan senjata ini untuk berburu binatang buruan, baik di darat, maupun di laut dan di udara.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّهُ فَكُلُواْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (المائدة:٤)
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu . Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) . Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (QS.5: 4)

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (المائدة: ۹٦)
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan (QS. 5: 96)

عن عدي بن حاتم رضي الله عنه قال: قَالَ لِي ذَكَرَأَصْحَابُ رَسُولُ اللهُُُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ؛فَاذْكُرِ اسْمَ اللهِ، فَإِنْ أَمْسَكَ عَلَيْكَ، فَأَدْرَكْتَهُ حَيًّا،فَاذْبَحْهُ، وَإِنْ أَدْرَكْتَهُ قَدْ قَتَلَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنْهُ؛ قَكُلْهُ، وَإِنْ وَجَدْتَ مَعَ كَلْبِكَ كَلْبًا غَيْرُهُ وَقَدْ قَتَلَ؛ فَلاَ تَأْكُلْ، فَإِنَّكَ لاَتَدْرِيْ أَيَّهُمَا قَتَلَهُ، وَإِنْ رَمَيْتَ بِسَهْمِكَ؛ فَاذْكُرِاسْمَ اللهِ، فَإِنْ غَابَ عْنْكَ يَوْمًا، فَلَمْ تَجِدْ فِيْهِ إِلاَّ أَثَرَسَهْمِكَ؛ فَكُلْ إِنْ شِئْتَ، وَإِنْ وَجَدْتَهُ غَرِيْقًا فِيْ المَاءِ، فَلاَ تَأْكُلْ (متّفق عليه)
Dari Adi bin Hatim r.a., katanya; Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kamu melepas anjing pemburumu dengan menyebut nama Allah, lalu ia menangkap hewan buruan untukmu, jika hewan buruan tersebut engkau dapati masih hidup, maka sembelihlah, dan jika kamu temukan telah dibunuh oleh anjingmu tanpa dimakannya, maka makanlah. Apabila ada anjing lain yang menyertai anjingmu lalu hewan buruan tersebut engkau temukan telah terbunuh, maka janganlah kamu memakannya, karena kamu tidak tahu apakah anjingmu ataukah anjing lain terse-but yang membunuhnya. Apabila kau membidikkan panahmu maka sebutlah nama Allah. Jika hewan yang panah itu baru kamu temukan kemudian setelah satu hari sedang di tubuhnya tidak ada tanda luka lain, kecuali terkena panahmu, maka makanlah, jika kamu suka. Apabila kamu menemukannya tenggelam di dalam air, maka janganlah kamu makan.
Senjata yang digunakan untuk berburu haruslah senjata yang dapat melukai (senjata tajam). Senjata berburu tidak diperkenankan menggunakan senjata tumpul seperti tulang, batu, kayu, atau benda tumpul lainnya. Senjata-senjata seperti ini dapat membunuh akan tetapi tidak dapat melukai atau mengalirkan darah.

عن سعيد بن جبير، أَنَّ قَرْيْبًا لِعَبْدِاللهِ مُغَقَّلِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ خَذّفَ قَالَ: فَنَهَاهُ، قَالَ: إِنَّ رَسُولُ اللهُُُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الخَذْقِ، وَقَالَ: إِنَّهَا لاَ تَصِيْدُ صَيْدًا، وَلاَتَنْكَأَ عَدُوًّا، وَلٰكِنَّهِاَ تَكْسِرُ السِّنَّ وَتَفْقَـأُ العَيْنَ (متّفق عليه)
Dari Said bin Jubair r.a., bahwa kerabat Abdullah bin Mughaffal r.a. berburu dengan lemparan batu, lalu Said melarangnya, kata Said: Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berburu dengan lemparan batu. Kata beliau: “Lemparan batu tidak bisa menembus tubuh hewan buruan dan tidak membunuh dengan melukainya, tetapi hanya bisa mematahkan tulang dan membuat mata menonjol”

Burung dan Unggas

Sumber bahan makanan lain adalah burung-burung yang terbang di udara. Begitu juga segala jenis unggas seperti; ayam, itik, belibis, angsa, ruak-ruak dan lain sejenisnya.

وَلَحْمِ طَيْرٍ مِّمَّا يَشْتَهُونَ (الواقعة: ٢١)
dan daging burung dari apa yang mereka inginkan (QS. 56: 21).

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 22
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

”Yok Bang,” katanya.


Bang Giman mulai mengayuh, becak bergerak perlahan, meninggalkan kediaman Ibu Cicik. Vitlan melambaikan tangan pada mereka bertiga kemudian hilang dikeremangan malam.

!!!

Di tengah pejalanan dekat masjid raya, di seberang jalan, Vitlan melihat Jamil, Anjas, Maman dan Basrul bejalan beriringan, berlawanan arah dengan becak yang ditumpangi Vitlan.

”Bang, Bang, ntar Bang,” kata Vitlan sembari menepuk-nepuk tangan kiri abang becak.

Seketika becak berhenti, Ia menyerahkan uang Rp.50,- kepada tukang becak, kemudian turun dan setengah berlari menyeberang jalan.

”Hei, hei, ke mana kalian?” tanya Vitlan kepada mereka.
”Hei Lan,” jawab mereka serentak.
”Ada film bagus di Paradiso,” jawab Basrul.
”Film silat, bintangnya Fu Shen sama Lo Lieh,” sambung Jamil yang memang sangat hobbi film silat.
”Kau ke mana saja Lan?” tanya Jamil.
”Aku dicari-cari aparat, jadi untuk sementara aku harus menghindar dulu,” jawab Vitlan yang berjalan di tengah-tengah teman-temannya.
”Katanya kau sempat ditahan ya Lan?” tanya Anjas.
”Darimana kau tahu?” Vitlan balik bertanya sambil tertawa.
”Ndak, aku dengar selentingan begitu,” jawab Anjas juga tertawa.
”Aku memang sempat dicegat aparat waktu pulang kuliah, tu di depan Makam Pahlawan, dan dibawa ke Koramil …”
”Hah … jadi kau sempat ditahan Lan?” potong Jamil dengan suara sedikit meninggi, sembari memegang bahu Vitlan yang membuat langkah Vitlan tertahan.
”Hampir,” jawab Vitlan.
”Hampir kek mana?” lanjut Jamil.
”Ya, hampir ditahan,” jelas Vitlan.
”Trus, trus,” tanya Jamil lagi.
”Setelah sampai di kantor Koramil, aku diinterogasi. Tengah aku diinterogai tersebut datang Bang Hombing. Interogasi dihentikan, kemudian aku dilepaskan,” jelas Vitlan.
”Trus, kau disiksa ndak Lan?” selidik Jamil.
”Ndak, aku baru ditanya tiga empat pertanyaan, Bang Hombing datang. Terus aku dikeluarkan. … Untung Bang Hombing datang tepat pada waktunya. Kalau tidak mungkin ceritanya sudah lain,” jelas Vitlan.
”Hidupmu memang penuh keberuntungan Lan. Punya mak angkat yang sangat sayang dan penuh perhatian, disegani orang-orang tua, anak kuliahan, dan digila-gilai banyak cewek cantik lagi,” puji Anjas sambil menepuk-nepuk bahu Vitlan.
”Alaaah, kau bisa saja Njas,” jawab Vitlan.
”Betul kok Lan, barangkali cuma nasibmu saja yang belum menjadi orang hebat, Lan,” bela Anjas.
”Aku ndak pernah bermimpi jadi orang hebat, yang penting bagiku adalah bagaimana kehadiranku bisa memberi manfaat bagi orang lain, Njas. Hanya itu saja,” kata Vitlan.
”Aku doakan agar kau bisa mencapai apa yang kau inginkan, Lan,” balas Anjas.
”Makasih Njas,” sahutnya.

Mereka telah sampai di depan kolam renang Paradiso, tempat di mana mereka akan menonton film.

Di area bagian dalam Paradiso tersebut terdapat kolam renang, yang pada siang hari biasa digunakan oleh anak sekolah dan masyarakat untuk belajar berenang, pembinaan atlit, maupun untuk kebugaran dan kesenangan belaka. Sementara pada bagian lain terdapat gedung bioskop dengan bangunan setengah terbuka, yang digunakan untuk pemutaran film hanya pada malam hari saja.

Halaman Paradiso telah ramai oleh orang-orang yang akan menonton film. Penonton film di sini umumnya anak-anak muda penggemar film silat. Ada yang tegak-tegak dekat pagar, ada yang melihat-lihat papan iklan film yang sedang dan akan diputar. Ada juga yang duduk-duduk di bok, ada yang bersandar di dinding bangunan.

Banyak juga pedagang asongan yang menjajakan aneka barang dagangan mereka seperti: kacang rebus dan jagung rebus, yang menggunakan gerobak dayung; pedagang kacang goreng, dengan ciri khasnya, sumpit dan suluh kecil dari kaleng yang diberi sumbu kain; kacang tojin, kuaci, bon-bon, rokok dan lain-lain.

”Hei, hei, mana duitnya,” kata Jamil pada Vitlan dan teman lainnya.
”Malam ini biar aku yang traktir, berapa harga tiketnya Mil?” kata Vitlan.
”Rp.75,-” jawabnya.

Vitlan mengeluarkan dompet dan mengambil uang lembaran lima ratus rupiah dan menyerahkannya kepada Jamil. Jamil menerima uang tersebut dan berlalu. Tak lama kemudian ia telah kembali dengan lima lembar tiket.

Pintu gerbang bagian dalam Paradiso telah dibuka. Para penonton pertunjukan sebelumnya keluar. Lima belas menit kemudian, penonton pertunjukan berikutnya dipersilakan masuk. Mereka masuk berdesak-desakkan, agar dapat tempat duduk yang mereka inginkan, karena di Paradiso tidak dikenal sistim penomoran dan kelas tempat duduk, seperti pada bioskop umumnya. Harga tiketnya pun tidak ada perbedaan, semua sama.

Vitlan dan teman-temannya ikut berdesak-desakan masuk ke dalam. Sampai di dalam, mereka mencari tempat duduk di sebelah belakang. Vitlan duduk diapit oleh Basrul dan Maman.

Potongan-potongan film yang akan segera diputar (ekxtra film) dan berbagai iklan produk barang, telah ditayangkan. Penonton berteriak, karena film yang ditunggu-tunggu belum juga diputar.

”Wuuuhhh,” setiap kali iklan berganti.
Sampai tiba waktunya film yang dinanti mulai ditayangkan. Penonton mulai fokus ke layar bios-kop. Pada saat adegan laga yang seru, penonton ikut berteriak,
”Ciaatt, ciaatt, ciaatt,” gema suara di ruang bioskop.

Suasana gedung bioskop pun menjadi tambah riuh oleh suara penonton. Suasana riuh seperti ini berlangsung sampai pertunjukan film berakhir.

bersambung

Bagikan: