Tabedo – Bagian 29
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Setengah jam kemudian, di kamar mandi,
”Senang kalilah ya, hati yang sedang berbunga-bunga tu,” kata Cicik, menggoda, melihat wajah ceria Icha.
”Ya iyalah. Hai Cik, kek mana caranya kau bisa membawa bang Alan ke sini?” kata Icha, sambil mengganti pakaian dengan kain basahan.
”Pandai akulah itu, siapa dulu si Cicik,” jawab Cicik mendabik dada, sambil senyum.
”Ceritakanlah Cik, sama ku,” rengek Icha sembari menyiramkan air ke tubuhnya.
”Balen dulu, baru ku kasih tahu,” balas Cicik,
”Gitu saja minta balen. Mentang-mentang …,” sungut Icha.
”Tidak mau, tak usah. Tak ada beritanya,” bela Cicik.
”Baik, baik, mau balen apa? Bilang saja,” tantang Icha.
”Eee, banyak uang ni ya,” goda Cicik.
”Sekadar untuk nraktir adalah,” jawab Icha.
”Nanti ya ku ceritakan di kamar,” kata Cicik.
”Baik, setuju,” balas Icha senang.

Di tempat lain, ibu Icha sibuk merapikan kamar yang akan ditempati Vitlan. Seprei, sarung bantal dan guling, ia ganti dengan yang baru. Sehelai kain sarung dan selembar sajadah diletakkannya di kepala ranjang. Setelah itu, ibu kembali ke ruang tengah, menghidupkan televisi, mengganti channel dari TV3 ke TVRI untuk mendengarkan berita, lalu duduk di sofa.

”Adin ke masjid ya, Bu,” kata Saldin menggamit tangan ibunya dan menciumnya.
”Ya, hati-hati ya Adin,” jawab ibu.
”Adin ke masjid ya, Bang,” kata Adin, begitu berpapasan dengan Vitlan, di beranda.
”Ya,” jawab Vitlan.

Selesai mandi, Icha dan Cicik ke kamar, berhias ala kadarnya, kemudian keluar ke beranda
”Bang, sudah sore, mandilah lagi,” sapa Icha.
”Ya ntar, habis dulu rokok ini ya, tinggal sikit lagi, nanggung,” jawab Vitlan.
”Duh cantikny,” gumamnya dalam hati, tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dari Icha yang berdiri tepat di depannya.
”Nengoknya kok gitu kali,” kata Icha manja.
Vitlan hanya senyum, sambil mengacungkan kedua jempolnya di depan dada.

Mendapat pujian seperti itu, Icha menjadi kikuk dan salah tingkah. Dia menatap Vitlan, kemudian memalingkan pandangannya ke halaman.

Vitlan bangkit dari duduknya, melangkah ke arah jendela dan menjentikkan puntung rokoknya ke halaman. Kemudian melangkah ke ruang dalam. Icha menguntit sampai di ruang tengah. Ia mengambil handuk dan kain sarung yang tadi diletakkan di sandaran kursi dan memberikannya pada Vitlan, kemudian berbelok ke kamar, sementara Vitlan melangkah ke kamar mandi.

Selesai mandi Vitlan berpapasan dengan ibu Icha yang duduk nonton TV. Melihat Vitlan melangkah di dekatnya, ibu Icha berdiri mendekat.

”Nak Vitlan, kamarnya di sini,” kata ibu Icha, sambil menggiring Vitlan ke kamar yang berada berhadap-hadapan dengan kamar Icha, yang memang biasa digunakan untuk tamu yang datang berkunjung
”Nak Vitlan istirahat tidurnya di sini, terserah Nak Vitlan saja, mau tidur di ranjang ini atau yang itu. Pakaiannya tarok di lemari ini (sambil membuka daun pintu lemari sebelah kanan,” jelas ibu Icha.
”Ibu tinggal ya!” lanjutnya sembari melangkah keluar kamar.
”Ya Bu, makasih,” jawab Vitlan.

Di kamar itu terdapat dua buah ranjang dengan ukuran satu kasur, sebuah lemari pakaian, dan sebuah meja dengan dua kursi. Di lantai terdapat sebuah permadani dalam posisi tergulung. Nampaknya permadani ini sewaktu-waktu siap untuk dibentangkan. Vitlan membentangkan permadani tersebut. Kemudian ia mengambil tasnya yang terletak di samping lemari pakaian, dan meletakkannya di atas permadani. Vitlan membuka tas lalu mengeluarkan piyama dan beberapa buah buku bacaan yang selalu dibawanya ke mana ia pergi.
Setelah mengganti pakaiannya dengan piyama, ia duduk berselonjorkan kaki di atas permadani sambil bersandar di ranjang. Tangannya meraih sebuah buku untuk dibacanya. Baru dua halaman buku dibacanya, terdengar azan maghrib. Ia bangkit, mengambil sajadah yang terletak di atas ranjang lalu membentangkannya di atas permadani.

Vitlan menjamak dan qashar saja shalat Maghrib dan Isyanya. Selesai shalat dan berdo’a, ia kembali duduk berselonjor di tempat semula, dan melanjutkan membaca. Baru beberapa halaman dibacanya, kantuk mulai menyerangnya. Ia menjangkau guling yang terletak di atas ranjang lalu berbaring sambil memeluk guling tersebut. Ia kembali membaca, matanya terasa makin berat, lalu terpejam, buku di tangannya terlepas dan iapun tertidur pulas.

Selesai shalat maghrib dan berhias sekenanya, Icha dan Cicik keluar kamar dan begabung dengan ibu di ruang tengah.
”Nak Alannya mana? Kok dibiarkan sendiri di kamar. Ajak ke sinilah,” kata ibu
Icha bangkit sembari menarik tangan Cicik, melangkah menuju kamar Vitlan. Pintu kamar diketuk pelan.
”Bang, Bang, Bang Alan,” panggil Icha.
Tidak ada sahutan dari dalam.
”Bang, Bang Alan,” panggil Icha lagi.
Tetap tak ada sahutan.

Pelan, Cicik menarik gagang pintu dan membukanya sedikit. Dia melihat Vitlan sudah tertidur di atas ambal. Dia mengguit Icha dan memberi isyarat untuk tidak bicara, dengan jari telunjuk dibibir. Pelan mereka melangkah ke dalam kamar.

Mereka memperhatikannya dengan seksama. Yakin Vitlan sudah tertidur pulas, perlahan mereka beranjak keluar kamar dan menutup pintu kamar rapat-rapat.
”Bang Alannya sudah tidur Bu,” jelas Icha dan Cicik, sambil duduk kembali di tempat semula.
”Ya sudah kalau begitu,” jawab ibu.
”Ia menggeletak saja di atas ambal,” jelas Icha.
”Kok tidur di situ dia? Perasaannya Ibu tidak membentangkan ambal tadi,” jelas Ibu.
”Mungkin Bang Alan itu, yang membentangkannya kemudian golek-golek, sambil baca buku. Karena kecapaian kali, langsung tertidur,” jelas Cicik.
”Ya sudah,” jawab ibu.
”Tadi kalau mak Tuo tidak salah dengar Cicik bilang nak Alan itu mahasiswa, kuliah di mana dia?” tanya ibu Icha.
”Iya mak Tuo. Cuma Cicik tidak tahu di mana dia kuliah. Kampusnya, kalau tak salah, di daerah Teladan. Nantilah Cicik tanya sama dia,” jawabnya.
”Sejauh mana kalian sudah mengenalnya?” selidik Ibu.
”Yang Cicik ketahui tentang bang Alan itu, ya sejauh yang diceritakan mak angkatnyalah,” jawab Cicik.
”Apa saja rupanya yang sudah diceritakannya?”
”Dibilangnya, bang Alan itu sudah tinggal di situ sejak 4 tahun lalu, sejak dia tamat STM. Mulanya dia kos, karena dia itu rajin membantu nyuci piring, nyapu, ngelap-ngelap, masak, belanja, jaga kedai, lama kelamaan, dia diangkat jadi anak angkat oleh ibuk itu. Bukan itu saja, bang Alan itu juga taat beribadah dan suka menolong orang. Abang-abang becak yang ada di sekitar daerah itu rata-rata kenal sama dia,” jelas Cicik.
”Sering bertemu dia?” tanya Ibu lagi.
”Cicik ketemu dengan bang Vitlan itu, pertama waktu di acara malam tahun baru itu sama-sama dengan Icha dan Iyod. Kedua di rumahnya juga sama Icha dan Iyod, terus waktu ngantar Icha di stasiun kereta api, terus waktu mau ke sini,” papar Cicik.

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (26)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

TERTIB MAKAN DAN MINUM

  • Pengecualian Bangkai Ikan dan Belalang

Ikan dan Belalang adalah dua jenis binatang yang diperlakukan tidak sama seperti binatang-binatang lainnya. Bila binatang lain harus disembelih terlebih dahulu bila akan memakannya, maka ikan dan belalang tidak mesti disembelih bila hendak memakannya. Pengecualian ini disebabkan oleh:

  • Ikan dan belalang tidak memiliki leher tempat untuk menyembelihnya,
  • Ikan dan belalang memiliki jumlah darah yang sedikit di dalam tubuhnya sehingga tidak memerlukan proses penyembelihan terlebih dahulu sebelum dimakan.

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قَالَ رَسُولُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ (رواه أحمد وبن ماجه)
Dari Ibnu Umar r.a. katanya, Rasulullah SAW bersabda: “Telah dihalalkan bagi kami dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang; dan dua macam darah adalah hati dan limpa”.

  1. Tidak Makan Binatang Buas, Bertaring dan Bercakar (Kuku Tajam)

Selain melarang dengan mengharamkan bangkai, darah, babi, hewan yang tidak disembelih dengan menyebut nama Allah, Segala yang buruk, Islam juga mengharamkan binatang buas, binatang bertaring dan berkuku tajam/bercakar.

Perlu diketahui bahwa makanan akan mempengaruhi perilaku manusia. Makanan yang baik punya kecenderungan menjadikan manusia berperilaku baik dan makanan yang buruk punya kecenderungan menjadikan manusia berperilaku buruk.

Sifat buas merupakan salah satu dari perilaku buruk. Oleh karena itu manusia dilarang memakan binatang buas, agar terhindar dari perilaku buruk (yang merupakan gangguan kesehatan mental).

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (الأعراف: ١٥٧)
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. 7: 157)

عن أبي هريرة رضي الله عنه، عَنِّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُل!ُ ذِي ْنَابٍ مِنَ السَّبَاعِ، فَأَكْلُهُ حَرَامٌ (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW bersabda: “Setiap binatang yang bertaring haram dimakan.

عن ابن عبّس رضي الله عنهما قال: نَهَى رَسُولُ اللهِِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السَّبَاعِ، وَعَنْ كُلِّ ذَيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas r.a. katanya: Rasulullah SAW melarang setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang bercakar/berkuku tajam.

  1. Makan Buah Sebelum Makan
    Rasulullah SAW mengajarkan dengan mencontohkan kepada manusia bagaimana makan yang benar dilaksanakan. Prosedur makan yang baik akan menentukan derajat kesehatan seseorang.
    Tatacara makan yang baik dan benar adalah:
  • Makan buah sebelum makan makanan padat atau makanan pokok, terutama ketika perut kosong karena puasa. Buah merupakan bahan makanan alami yang langsung dapat dimakan tanpa harus mengolahnya terlebih dahulu.

Secara umum buah dengan mudah dapat dicerna oleh lambung manusia. Tidak seperti makanan padat, buah lebih cepat hancur dan mengalami proses pembusukan di dalam lambung. Oleh karena itu buah seperti: Kurma, Tin, Anggur, Jeruk, Apel, Pisang, Pepaya dan sejenisnya sangat baik dimakan sebelum makan makan padat.

Makan buah sebelum makan makanan padat, akan membantu pencernaan mencerna makanan padat, sehingga proses percernaan berjalan dengan lancar.

Memang tidak semua jenis buah seperti: Nanas, dapat dimakan sebelum makan makanan padat, karena mengandung asam yang tinggi yang dapat membuat sembelit, perih di lambung.

  • Makan makanan padat sebaiknya dilakukan rentang kira-kira tiga puluh menit setelah makan buah, atau setidak-tidak diberi rentang waktu yang cukup antara keduanya.

عن سلمان بن عامر الضّبّيّ الصّحابيّ رضي الله عنه، عَنَّ النَّبِيُُِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَالْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ، فَـإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ، فَـإِنَّهُ طَهُوْرٌ (رواه أبوداود والتّرمذي)
Salman bin Amir Adhdhobby r.a., berkata: Bersabda Nabi SAW: Jika berbuka salah satu kamu, hendaknya berbuka dengan kurma, bila tidak ada, maka berbukalah dengan air, karena ssungguhnya air itu adalah pencuci.

عن أنس رضي الله عنه قال: كَانََ رَسُولُ اللهُُُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّى عَلَى رُطَبَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَتُمَيْرَاتٌ، فَإِنْ لَم تَكُنْ تُمَيْرَاتٌ حَسَاحَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ (رواه أبوداود و التّرمذى)
Anas r.a., berkata: Adanya Rasulullah SAW berbuka sebelum shalat maghrib dengan tiga kurma ruthob (yang masih basah), bila tidak ada, maka dengan kurma, bila tidak ada, maka dengan tiga teguk air.

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 28
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Vitlan bangkit dari kursi dan mengiring dari belakang. Sampai di meja makan, Icha menarik kursi dan mempersilakan Vitlan duduk. Ia menurut. Icha mengambil posisi duduk di sebelah kiri Vitlan.

Sementara Cicik dan ibu Icha duduk di seberang mereka.

”Diambil nasinya Nak,” kata ibu Icha sembari menyodorkan cambung nasi pada Vitlan.

Vilan menerimanya dan meletakkan di depannya, lalu menyendok nasi ke piringnya. Setelah merasa cukup, ia kemudian meletakkan cambung nasi itu di tengah meja. Ia melayangkan pandangan sejenak ke lauk yang tersedia di atas meja.

Matanya tertuju ke piring kakap goreng, lalu mengambilnya. Setelah itu mengambil sayur tumis kangkung dan sambal cabe hijau.

”Oh ya, sambal yang kita bawa dari Medan tadi kan masih ada,” kata Cicik langsung bangkit dari duduknya.

Sejenak kemudian Cicik sudah kembali menenteng jinjingan rantang dan meletakkannya satu persatu di atas meja. Ia membuka rantang dari jinjingannya.

”Bawa apa saja Cik, oouw, ada ikan asam pedas,” kata Icha langsung mengambil rantang yang berisi ikan asam pedas dan mengambil isinya sepotong, kemudian menyirami nasi di piringnya dengan kuahnya.
Saldin muncul, langsung duduk bersama mereka.

”E, e, e…cuci tangan dulu ke belakang,” cegah ibu kepada Saldin.
Saldin menurut, langsung berlari ke kamar mandi, mencuci muka, tangan dan kaki dan melapnya dengan handuk, yang tergantung di tali jemuran kamar mandi. Kemudian kembali ke meja makan dan duduk di tempat semula.

”Ini bang Vitlan dari Medan, bang Vitlan ini temannya kak Icha dan kak Cicik,” kata ibu mem-perkenalkan Vitlan kepada Saldin.
”Nama awak Saldin Bang, panggilnya Adin aja,” kata Saldin mengenalkan diri. sembari mengulurkan tangannya pada Vitlan, kemudian membawanya ke keningnya.

Vitlan membalas perkenalan Saldin dengan senyuman, dan mengusap kepala Saldin.

Icha makan dengan lahap, dan nambah. Ibunya memperhatikan tingkah Icha dengan seksama.

Hatinya senang melihat anak gadisnya kembali bersemangat dan keceriaan mulai menyembul dari wajahnya. Dalam hati ia membatin.

”Sejak kedatangan nak Vitlan tadi siang, kau nampak langsung berubah, Nak. Wajahmu yang selama ini selalu terlihat murung, kini nampak ceria. Mudah-mudahan saja kau telah menemukan orang yang tepat untuk mengembalikan semangat hidupmu. Ibu akan lakukan apa saja untuk kebahagiaanmu. Ibu merasa yakin kalau nak Vitlan cocok menjadi pendampingmu, meski ibu baru mengenalnya.” bisik ibu membatin.

”Diambil lauknya Nak, masak makannya dengan sayur saja,” kata ibu Icha melihat Vitlan mengambil sayur lagi.
”Sudah Bu,” jawab Vitlan.
”Masakan Ibu tidak enak ya,” lanjut ibu Icha.
”Enak, enak kok Bu,” jawab Vitlan.
”Bang Alan ini pintar masak ni mak Tuo,” timpal Cicik.
”Pantas dia tidak begitu selera sama masakan Mak Tuo,” lanjut ibu Icha.
”Ndak gitu kok, Bu. Tumisan kangkungnya enak kali, Saya suka,” bela Vitlan sembari menjangkau cambung nasi untuk nambah.
”Syukurlah kalau suka masakan Ibu,” jawab ibu Icha.
”Di Medan tinggalnya di mana Nak, jauh tidak dari rumah Cicik,” tanyanya.
”Di SM Raja simpang Halat Bu, ndak jauh kok dari rumah Cicik, paling juga setengah kilo,” jawab Vitlan.
”Di mana kenal dengan orang ini?” tanyanya lagi.
”Di Paradiso Bu,” jawabnya.
”Begini ceritanya Mak Tuo,” timpal Cicik.
”Waktu itu malam Minggu. Di halaman kolam renang Paradiso ada acara pentas band menyambut tahun baru, kami bertiga dengan Iyod pergi nonton pertunjukan itu. Sedang enak-enaknya nonton, Icha digratili seorang anak kecil, lantas Bang Alan datang menolong kami, terus kami minta ditemani sampai kami diantarnya pulang,” terang Cicik.

Vitlan menjangkau piring udang goreng dan mengambilnya beberapa ekor.

”Asli orang Medan?” tanya ibu lagi.
”Ndak Bu, saya merantau ke Medan, saya orang Minang,” jawab Vitlan.
”Di Medan, kerja apa dagang?” cecar ibu.
”Bantu-bantu Mak jualan, Bu,” jawabnya.
”Bang Alan ini mahasiswa Mak Tuo”, timpal Cicik.
”Jadi, tinggal sama orang tua?”.
”Sama mak Angkat, Bu” jawabnya.
”Orang tua kandungnya di mana”.

Vitlan menghentikan suapnya. Mengalihkan pandangan ke Cicik, selanjutnya ke Icha, kemudian ke meja makan. Dia tampak ragu, namun berusaha menutupinya

”Di kampung, Bu,” dengan suara pelan.
”Tambah lagi nasinya Bang,” timpal Cicik, melihat nasi di piring Vitlan sudah habis.
”Sudah, dah kenyang,” jawab Vitlan sembari menjangkau mangkok cuci tangan.
”Kok dah siap saja makannya, Nak,” tanya ibu Icha.
”Dah kenyang Bu,” jawab Vitlan sembari mencuci tangan.
Vitlan kemudian mengambil lap tangan.
”Cha, ambil gih, tuh di sana ada pisang,” perintah ibu Icha sembari menunjuk meja kecil dekat pintu ke dapur.

Icha segera bangkit menuju tempat dimaksud dan kembali dengan sesisir pisang barangan yang diletakkan di atas piring, kemudian meletakkannya di depan Vitlan. Vitlan mengambil pisang sebuah dan memakannya.

Icha, Cicik dan ibu sudah pula selesai makan. Ia mengangkat piring dan peralatan makan lainnya, yang sudah kotor ke dapur, kemudian langsung mencucinya. Ibu Icha, masih duduk menemani Adin yang masih makan. Vitlan bangkit dan menyorongkan kursinya, ke bawah meja.

”Ke depan Bu,” katanya mohon diri, lalu beranjak dari kursi menuju beranda, sambil menenteng gelas minumnya.
”Ya, Nak,” Jawab ibu Icha.

Sampai di beranda, Vitlan duduk di kursi yang didudukinya tadi. Dia mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celana, mengambilnya sebatang lalu menghisapnya. Asap bulat-bulat keluar dari mulutnya. Angin senja bertiup pelan. Di jalan depan rumah anak-anak berjalan beriringan menuju masjid.

Sebahagian anak laki-laki berjalan, seperti setengah berlari, sambil melompat-lompat dan menendang-nendang apa saja yang nampak oleh mereka.

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (25)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

TERTIB MAKAN DAN MINUM

1. Tidak Makan Bangkai, Darah dan Daging Babi

Bangkai

Bangkai adalah binatang yang mati dengan sendirinya, bukan karena disembelih. Ada beberapa sebab atau cara matinya binatang, sehingga ia masuk kategori bangkai, antara lain:

• Binatang mati dengan sendirinya, ini bisa disebabkan usia yang sudah tua, atau karena sakit.

• Binatang mati karena atau sengaja dibunuh dengan lemparan batu, kayu, dan lain-lain.

• Binatang mati karena atau sengaja dibunuh dengan cara dicekik. dan dipukul.

• Binatang mati karena ditanduk, digigit, dicakar, dan diterkam binatang buas,

• Binatang mati karena tertimpa batu, pohon, tertabrak kendaraan, atau jatuh dari tempat yang tinggi.

• Binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah ketika menyembe-lihnya.

• Binatang yang meskipun disembelih, akan tetapi dipersembahkan untuk berhala.

Larangan makan bangkai diakibatkan karena darah binatang yang mati itu tidak keluar dari tubuhnya. Darah yang tidak keluar tersebut menumpuk di organ-organ tubuh binatang. Darah tersebut mengandung senyawa-senyawa berbahaya dan berbagai kuman dan bakteri yang dapat menimbulkan berbagai penyakit bila dimakan.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (المائدة: ٣)
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah , (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) aga-mamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 5: 3).

Darah

Larangan memakan darah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

• Darah adalah sarang tempat berkembang biaknya berbagai jenis kuman/bakteri,

• Darah bila dimakan dapat menyebabkan gangguan pencernaan,

• Darah tidak mengandung gizi dan tidak dicerna oleh lambung,

• Darah mengandung unsur-unsur beracun, kotoran, dan senyawa-senyawa berbahaya, yang harus dibuang, karena salah satu fungsi penting darah adalah membawa sisa metabolism makan dalam sel-sel tubuh yang berupa kotoran dan racun untuk dibuang.

Berdasarkan faktor-faktor di atas dapat disimpulkan bahwa memakan darah memiliki resiko tinggi bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu Allah mengharamkan manusia memakan (dan meminum) darah.

Daging Babi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli, haramnya memakan daging babi disebabkan beberapa hal antara lain:

• Babi adalah binatang yang paling jorok dan kotor. suka berada pada tempat yang kotor, suka memakan bangkai, kotoran manusia, bahkan kotorannya sendiri.

• Daging babi merupakan penyebab utama kanker anus dan usus besar, iritasi kulit, eksim, dan rematik. pengerasan pada urat nadi, naiknya tekanan darah, nyeri dada yang mencekam, dan radang pada sendi-sendi.

• Daging babi banyak mengandung parasit, bakteri seperti: Bakteri Tuberculosis (TBC), virus yang berbahaya antara lain: Virus cacar (Small pox), penyebab kudis (Scabies), Kolera (Salmonella choleraesuis). Virus Encephalitis (menyerang otak kecil).

• Daging babi merupakan tempat persinggahan bagi beberapa jenis cacing yang berbahaya. Diantaranya: Cacing pita, Cacing spiral, Cacing tambang, Cacing paru-paru, Larva dan sista. Cacing pita babi dapat bermigrasi ke tubuh manusia melalui usus & peredaran darah.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (المائدة: ٣)

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah , (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agama-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’-mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 5: 3).

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (البفرة: ١٧٣)

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah . Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 2: 173).

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (الأنعام: ١٤٥)

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 6: 145)

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 27
Bagikan:

”Di belakang Nak, Cik tunjukkan gih,” kata Ibu Icha kepada Cicik, seraya berlalu. Kemudian kembali lagi dengan selembar sajadah, dan membentangkannya dekat dinding.

Vitlan berjalan ke belakang diiringi Cicik.

”Tuh kamar mandinya Bang,” kata Cicik sembari menunjuk sebuah pintu di pojok dapur.

Selesai berwudhuk, Vitlan kembali ke ruang tengah untuk melaksanakan shalat jamak qasar antara Zuhur dengan ’Ashar.

”Shalatnya di situ Bang,” kata Cicik, sambil menunjuk sajadah yang sudah terbentang dekat dinding.

Ibu Icha pindah duduk ke samping kanan Icha.

”Bagaimana rasanya, dah baikan Nak,” sapanya sembari membelai rambut Icha dengan tangan kirinya.
”Sudah tidak apa-apa Buk,” jawab Icha malu-malu, sembari merapatkan tubuhnya ke dada ibunya.
”Ibu sempat kuatir tadi, kamu tiba-tiba pingsan, tak pernah-pernahnya kamu seperti itu,” lanjut ibunya.
”Tapi sudah tidak apa-apa kok, Buk,” jawab Icha.
”Ya sudah, kalau sudah tidak apa-apa,” balas ibunya mencoba memahami perasaan anak gadisnya itu.

Cicik yang duduk di sebelah kiri Icha, senyum-senyum kecil saja melihat tingkah Icha. Dia mencoba memahami apa yang baru saja dialami sepupunya itu, apalagi kalau bukan gejolak rindu yang hebat.

Vitlan telah selesai shalat dan kembali ke tempat mereka duduk. Ia duduk berseberangan dengan mereka. Ibu Icha melirikkan sudut pandangnya pada Vitlan, dan bergumam dalam hati.

”Ini rupanya orang yang telah menarik perhatian anakku, sampai-sampai membuatnya pingsan waktu bertemu tadi. Tampan, shalih dan perhatian, kesannya sangat baik.”
”Cik, tamunya kok tidak dibuatkan minum,” kata ibu Icha kepada Cicik setelah dilihatnya tidak ada apa-apa di atas meja.
”Oh ya …, maaf. Maaf ya Bang, lupa. Ntar Cicik buatkan,” kata Cicik tersentak setelah tahu dia belum membuatkan minuman untuk Vitlan, sembari bangkit dari duduknya.
”Ndak usah repot, Buk,” jawab Vitlan sambil senyum melihat Cicik jadi salah tingkah.

Tidak berapa lama berselang, Cicik telah kembali dengan membawa baki berisi teko dan tiga buah cangkir. Ia menuangkan teh manis panas, ke dalamnya, dan meletakkannya di depan masing-masing orang.

”Silakan diminum, Bang,” kata Cicik lalu beranjak ke tempat keranjang yang ia bawa tadi. Cicik lalu mengeluarkan penganan dan buah jeruk, kemudian meletakkannya di atas meja.
”Silakan dimakan,” lanjutnya.
Vitlan mengangkat cangkir dan menyerumput isinya.
”Nenek dan Adin ke mana mak Tuo?, kok tidak nampak dari tadi,” tanya Cicik.
”Nenek pergi ke Tebing, ada saudara yang pesta di sana, lusa mungkin pulang, si Adin pergi main-main sama kawan-kawannya,” jawab ibu Icha.
”Sudah ya, kalian Ibu tinggal dulu ya, Ibu mau masak dulu,” kata ibu Icha kepada mereka.
”Ya Buk, ya Mak Tuo,” jawab mereka serentak.

Vitlan mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celananya, mengambilnya sebatang lalu menyalakannya. Asap rokoknya mengepul bergulung-gulung ke udara. Ia mengedarkan pandangannya, ke sekeliling ruangan. Pandangannya terhenti pada sebuah foto yang berukuran besar yang terpampang di dinding. Vitlan berdiri mendekat. Ia perhatikan satu persatu wajah yang ada dalam foto tersebut.

”Ini foto kami sekeluarga,” kata Icha mendekat.
”Yang ini bang Syahbuddin, yang ini kak Hasnah, kami memanggilnya kak Butet, yang ini Saldin, sambil menunjuk satu persatu, yang ada dalam foto tersebut.
”Yang ini siapa. Kayaknya pernah jumpa, di mana ya?” tanya Vitlan menggoda, sambil menunjuk foto gadis yang berdiri di sebelah kiri Syahbuddin.
”Di Paradiso,” jawab Icha sembari mencubit lengan Vitlan manja.
”Hei, jangan main cubit-cubit anak oranglah,” kata Vitlan menggeser lengannya.
”Biar saja,” balas Icha.
”Nanti kalau anak orang pingsan cammana?” timpal Vitlan.
”Ngenyek ya,” balas Icha.

Vitlan melangkah ke beranda dan duduk di kursi yang menghadap ke halaman. Icha mengikut dan duduk di kursi sebelah kiri kursi Vitlan. Cicik beranjak ke dapur, meninggalkan mereka berdua.

Vitlan memperhatikan kursi yang didudukinya sambil mengusap-usap tangan dan sandarannya. Ia teringat kursi yang ada di beranda rumahnya di kampung. Rangka kursi itu terbuat dari kayu jati. Bagian lantai dan sandarannya terbuat dari anyaman rotan. yang membuat pantat dan punggung kita akan tetap sejuk bila duduk dan bersandar padanya, karena udara tetap masuk melalui celah-celahnya. Anyaman rotan pada bagian lantai kursi, dapat ditanggalkan, sehingga pemakaiannya bisa dibolak-balik.

”Abang sedang memperhatikan apa, kok serius kali nengoknya?” tanya Icha melihat Vitlan begitu asyik memperhatikan kursi yang didudukinya.
”Ndak, nengok kursi ini, Abang jadi teringat rumah di kampung. Kursinya persis sekali dengan kursi ini,” kata Vitlan.
’Terus ingat apalagi,” selidik Icha.
”Rumah Abang di kampung juga pakai tangga. Hanya saja tidak setinggi rumah ini. Letak berandanya juga persis. Bedanya, kalau di kampung berandanya menghadap bukit, persawahan dan gunung. Jadi bila kita duduk dengan posisi seperti sekarang ini, kita langsung dapat menikmati pemandangan alam pegunungan. Sementara di sini, kita bisa melihat truk-truk pengangkut hasil laut lalu lalang, di depan rumah,” jelas Vitlan.
”Terus ada lagi yang teringat?” tanya Icha lagi.
”Kalau di kampung, duduk di beranda rumah sendirian, kalau di sini duduknya didampingi seorang gadis cantik,” jawab Vitlan, sembari melirik Icha.

Merasa dipuji, wajah Icha memerah dan dalam hati ia ingin mendengar Vitlan mengucapkan kata pujian itu beberapa kali lagi, sambil membalas lirikan Vitlan dengan senyum dikulum. Icha lantas bangkit melangkah ke ruang dalam, dan sejenak kemudian telah kembali membawa baki berisi cangkir dan teko yang tadi berada di meja ruang tengah tempat mereka sebelumnya duduk.

Betapa tentram dan damainya hati Icha dengan kehadiran Vitlan di sisinya. Ia berharap suasana seperti ini senantiasa hadir dalam hidupnya. Ia merasa semangat dan gairah hidupnya bangkit dan bergelora lagi dengan kehadiran Vitlan. Hatinya yang sempat redup, kini berbunga lagi.

Cicik muncul di hadapan mereka.
”Bang, Icha, yok makan, nasinya sudah masak,” kata Cicik sambil menarik tangan Icha dan menggandengnya masuk.

bersambung

Bagikan: