Agam Lounching Kurikulum Mulok Bahasa dan Sastra Minangkabau
Bagikan:

Oleh Hasanuddin Hasanuddin

Foto bersama: Bupati Agam (paling tengah) diapit Sekum SAKO (baju putih sarung hitam) dan Kadisdikbud Agam, didampingi Kepala BBPMP Sumbar, Kepala OPD, Ketua LKAAM, Ketua Bundo Kanduang dan Staf Disdikbud setelah menabuh gendang menandai lounching resmi Kurmulok BSM Agam (21/12/2023)

Agam (Sako). Perlahan tapi pasti, Kepala-Kepala Daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota di Sumatera Barat, menunjukkan komitmen untuk memajukan kebudayaan Minangkabau melalui jenjang pendidikan sejak Fase Pondasi (PAUD) sampai Fase A-F (SD, SMP, dan SMA). Hal itu dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal. Sementara itu, pada jajaran pemerintahan kabupaten/ kota, Kota Pariaman telah memulainya melalui Perwako 32 Tahun 2020 dan Kota Solok dengan Perwako 20 Tahun 2022.

Pada Kamis (21/12/2023), bertempat di Balerong Kabupaten Agam, Bupati Dr. H. Andri Warman, M.M. pun melounching Kurikulum Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau untuk jenjang PAUD, SD, dan SMP. Kurikulum tersebut mulai diberlakukan terbatas pada tujuh sekolah sebagai pilot projeck pada Semester II Tahun Ajaran 2023/2024 dan dilaksanakan secara menyeluruh pada Semester I Tahun Ajaran 2024/2025.

Menurut Bupati, Setiap daerah mesti punya ciri khas. Ciri khas Agam adalah negeri yang melahirkan banyak tokoh nasional terkemuka, seperti Hatta, HAMKA, Sutan Sjahrir, Asaat, Agus Salim, M. Natsir, Rohana Kudus, Rasuna Said, Siti Manggopoh, dan lainnya. Kondisi demikian terus menurun akibat berbagai faktor internal dan eksternal. Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Agam bertekat mengembalikan marwah Agam dengan mempersiapkan tokoh-tokoh berkualitas untuk bangsa dengan pendidikan karakter berbasis literasi budaya Minangkabau melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra etnik yang khas dan kaya itu.

Pada kesempatan itu, baik Bupati maupun Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Agam Drs. H. Isra, M. Pd., Dt. Bandaro beserta jajaran menyampaikan terima kasih atas pendampingan intensif Tim Ahli Budaya Minangkabau dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas yang sekaligus adalah Sekretaris Umum Yayasan Sako Anak Negeri, yakni Dr. Hasanuddin, M. Si. Dt. Tan Patih.

Bagikan:
ULU AMBEK
Bagikan:

Oleh Hasanuddin Hasanuddin

Ulu ambek seperti sebuah pantomim persilatan. Akan tetapi, esensinya ternyata pertaruhan harga diri dan pertarungan eksistensial antar perguruan atau antar nagari. Di samping itu, ulu ambek adalah represetasi konflik, tetapi sekaligus mediasi transformasi konflik itu menuju dinamika harmoni. Jadi, sebuah kearifan lokal manajemen konflik. Mengapa?

Ulu ambek merepresentasikan pertarungan. Kata ulu ambek bermakna lalu-ambek atau serangan-tangkisan. Ulu ambek dipertunjukkan oleh dua orang dari perguruan atau nagari yang berbeda (berbeda dari pertunjukan silat yang dilakukan oleh dua orang ang seperguruan). Pertunjukan dilakukan di atas laga-laga (laga-laga berarti tempat berlaga, tempat bertarung, tempat menentukan kalah menang, tempat menyaksikan siapa pemenang dan siapa pecundang). Pergi ber-ulu ambek disebut sebagai pai manapa (pergi menguji kepandaian dengan berlaga) dan konsekuensi ulu ambek adalah buluih (dipermalukan, baik secara personal/ pemain maupun komunal/ nagari)

Namun, dalam dinamikanya makna ulu ambek bertranformasi menjadi mediasi transformasi konflik. Ulu ambek dimaknai dengan ‘menghambat dari hulu (nya)’, berarti mencegah sejak awal mula. Laga-laga (tempat bertarung) diganti dengan pauleh (tempat menyambung silaturrahim), dan ‘pai manapa’‘pergi menguji kepandaian dengan berlaga’ diganti dengan ‘pai baralek‘ ‘pergi memenuhi undangan hajatan’. Dan, pertunjukan ulu ambek diawasi oleh janang dan raja janang (para penghulu/ ninik mamak) agar tidak terjadi saling mem-buluih-kan.

Ulu ambek merefleksikan filosofi dasar Minangkabau yang rasional, egalitarian dan dinamis. Ia mencerminkan konsep harga diri dan budi sekaligus. Harga diri egalitarian menempatkan seseorang/ kelompok/ nagari setara satu sama lain. Untuk mempertahankan kesetaraan, seseorang atau suatu kelompok/ nagari harus mampu bersaing terus menerus. Ketidakmampuan dalam mengekspresikan diri sama dan setara dengan orang lain adalah cerminan “orang kurang” atau “lebih rendah” dari orang lain. Keadaan demikian dipandang sebagai aib atau “malu” yang tidak boleh terjadi. Namun, persaingan dapat membawa kepada konflik dan disharmoni sosial. Oleh sebab itu, diperlukan budi, yaitu konsep tenggang menenggang demi menjaga harmoni. Representasi budi adalah norma-norma etik yang realisasinya dalam bentuk aturan dan pengawasan.

Oleh karena ulu ambek sangat berpotensi menjadi sumber konflik komunal horizontal (sebagaimana terjadi antara Mangguang dan Mudiak Padang pada 1930-an, yang berakibat ulu ambek dilarang dipertunjukkan), maka ulu ambek harus diawasi secara ketat oleh para penghulu. Implementasinya, ulu ambek harus dipimpin oleh janang sebagai penanggung jawab pertarungan. Janang terdiri atas dua orang yang masing-masing mewakili pangka dan alek. Janang dianalogikan sebagai wasit. Sebagai wasit, janang disumpah agar betindak adil. Oleh sebab itu, pertunjukan tersebut tidak bisa diselenggarakan tanpa seizin ninik mamak atau penghulu nagari sebagai pemilik (karena ulu ambek adalah suntiang ‘mahkota’ mereka) dan tanpa janang.

Ulu ambek menujukkan bagaimana perbedaan, persaingan, dan konflik adalah potensi dinamik yang niscaya dipelihara, namun harmoni adalah keniscayaan yang tak kalah pentingnya pula. Perbedaan dan potensi persaingan dan konflik tidak boleh dimatikan atau sebaliknya dibiarkan memuara menjadi anarkhis. Persaingan dan konflik dapat dimemediasi dan ditransformasikan menjadi konflik yang elegan, estetis, dan etis. Hal itu merupakan kearifan lokal Minangkabau dalam manajemen konflik dalam mengawal berlangsungnya dinamika sosio kultural secara dialektik dan harmonis. Kearifan lokal itu dapat memberi sumbangan bagi pengelolaan kemajemukan Indonesia yang akhir-akhir ini ditandai oleh ‘hiruk pikuk’ oleh konflik komunal horizontal yang memprihatinkan (Hasanuddin, Sastra Minangkabau FIB Universitas Andalas).

Bagikan:
KELIRU PEMAHAMAN TENTANG IDUL FITHRI
Bagikan:

Oleh: A R Piliang

Bila kita simak pandangan, pendapat hingga sikap dan perbuatan yang berkenaan dengan Idul Fithri dan seputarnya, mulai dari masyarakat awam hingga pendakwah dan kaum terdidik lainnya, dapat disimpulkan, bahwa:

1. Idul Fithri dijadikan sebagai hari Kemenangan.

Kita tidak mengerti, apakah puasa Ramadhan itu menjadi sebuah arena pertarungan, dan kita adalah pemenangnya. Karena itu, kita mesti merayakannya secara besar-besaran. Mulai dari membeli pakaian baru, mendandani rumah dengan berbagai pernak-pernik, membeli kendaraan atau menservicenya hingga pulang kampung.

Lain dari itu, kita pun beramai-ramai mulai meninggalkan masjid dan mushalla, kemudian pergi ke pasar-pasar dan pusat perbelanjaan. Kemudian menghabiskan waktu siang dan malam untuk membuat aneka macam kue dan penganan lainnya.

Padahal Rasulullah SAW, mengajak ke masjid dengan membawa serta keluarga untuk beriktiqaf. Apakah dengan menjauhi ajakan Rasulullah SAW, untuk beriktiqaf di masjid, dan menuruti kemauan nafsu, kita menjadi pemenang?

2. Idul Fithri dicitrakan sebagai hari kembali kepada Fithrah (ada juga yang menyebutnya, kembali kepada fithri).

Ibadah puasa Ramadhan, dipersepsi adalah wadah pencucian segala kesalahan, sehingga begitu datang fajar 1 Syawwal, kita kembali seperti, bayi yang baru lahir ke dunia.

3. Mengucapkan “Mohon maaf lahir dan batin” sebagai jargon Idul Fithri.

Ucapan ini terasa sangat lucu dan kontradiksi dengan penamaan Idul Fithri, sebagai “Hari Kemenangan” dan “Hari Kembali kepada Fithrah”.

Padahal Rasululllah SAW, telah menuntun dengan baik kalimat yang mesti diucapkan pada Idul Fithri itu dengan, ucapan yang indah “Taqabbalalahu Minna wa Minkum,” berikut balasannya/jwabannya dengan kalimat “Minna wa Minkum Taqabbal ya karim”.

4. Membuat jadwal kegiatan perayaan Idul Fithri dengan berbagai kagiatan

Kegiatan perayaan mulai dari hari pertama Syawwal hingga hari kesekian, yang mengesankan hura-hura tanpa manfaat peningkatan pembinaan diri, sebagaimana makna Syawwal yang sebenarnya.

Bila direnungkan dalam-dalam, dengan perbuatan sebagaimana di atas, kita ini sebenarnya setelah melaksanakan pembinaan selama 1 bulan dengan puasa Ramadhan, menjadi semakin terbina menuju kualitas terpelihara (taqwa), atau kembali ke titik nol?

Tentu diri kita sendirilah yang dapat merasakannya.

Semoga bermanfaat.

Bagikan:
IDUL FITHRI & ZAKATUL FITHRI
Bagikan:

Oleh AR Piliang

Idul Fithri adalah hari raya yang digunakan untuk menutup ibadah shaum/puasa Ramadhan. Bila kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, idul fithri adalah “hari raya berbuka”.

Disebut hari raya berbuka, karena pada hari itu, semua orang yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan wajib berbuka, melepaskan puasanya pada hari itu. Allah mengharamkan puasa pada hari itu.

Hari raya berbuka itu, jatuh pada tanggal 1 Syawwal. Ibarat sebuah perjalanan, hari raya berbuka itu merupakan waktu rehat sejenak, melepas penat dan dahaga, menambah energi sebelum melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.

Semua ummat, mesti terpenuhi kebutuhan dasarnya pada hari itu sehingga semuanya dapat bergembira, dapat melaksanakan ibadah shalat Ied dan silaturahmi dengan tenang penuh rasa syukur.

Bagi kaum Muslimin yang berada dalam keadaan serba berkekurangan, untuk memenuhi kebutuhan pokoknya pada hari itu disediakan bantuan berupa Zakatul Fithri (Shadaqatul Fithri), bukan Zakat Fithrah sebagaimana yang kita kenal selama ini.

Untuk kita pahami:
Fithri artinya “berbuka”, sementara, Fithrah artinya “dasar kejadian manusia”. Jadi ada perbedaan mendasar antara keduanya.

Zakat Fithri adalah zakat yang dikeluarkan berkaitan dengan idul fithri. Ketentuannya adalah sebagai berikut:

  1. Zakatul Fithri (zakat fithri), adalah zakat yang dikeluarkan (diberikan) untuk memenuhi kebutuhan pokok (makan minum) fakir miskin di hari raya berbuka (idul fithri).
  2. Zakat Fithri diambil dari orang-orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan.
  3. Besarnya jumlah zakat fithri tersebut adalah 1 Sha’ kurma atau 1 Sha’ gandum per kepala (1 Sha’ = +/- 2,5 kg). Di Indonesia disetarakan dengan beras sebagai bahan makanan pokok.
  4. Diserahkan kepada penerima zakat, 1 atau 2 hari sebelum idul fithri.
  5. Batas akhir penyerahan adalah sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat Id.

Semoga bermanfaat

Bagikan: