DPR RI Peduli Cagar Budaya, Pantau Pelaksanaan UU 11/2010
Bagikan:

Menarik diskusi DPR RI dan Pusat Kebudayan Minangkabau (PKM) di Nan Jombang Dance Company, Rabu tengah hari, 12 April 2013. Ada catatan tercecer menarik. Terkesan DPR RI peduli Cagar Budaya dan pendampingan regulasinya, sebut Ketua Umum PKM Shofwan Karim dalam pengantar singkatnya. Justru materi diskusi diarahkan pengumpulan data dan informasi pemantauan oleh DPR RI mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Diskusi dihadiri dari unsur PKM, Ketua Umum PKM Dr. Shofwan Karim, Sekretaris Umum SAKO Anak Negeri Dr. Hasanuddin, Ery Mefri dan Angga owner dan pimpinan Nan Jombang Dance Company dan penulis sendiri sebagai Sekretaris Umum PKM. Dari DPR RI hadir unsur Puspanlak UU Setjen dan BK DPR RI yakni: Ester Yolanda Panggabean, Yodia, Tasya dan Tata. Pelaksanaan diskusi didisain seperti FGD, semua yang hadir menjadi narasumber.

Dari diskusi lembaga legislatif dengan PKM, terbetik berbagai isu penting terkait norma dan implementasi UU Cagar Budaya itu. Saya mencatat dari diskusi itu, isu yang muncul itu terbagi dalam aspek substansi hukum/ norma, struktur hukum/ kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana dan budaya hukum. Artinya diskusi menjadi penting dalam upaya pemantauan dan evaluasi Pelaksanaan UU Cagar Budaya itu.

Intensitas Pelaksanaan Norma Hukum UU Cagar Budaya

Mengawali pembicaraan saya, memberikan pandangan bahwa pelaksanaan UU Cagar Budaya di Provinsi Sumatera Barat, sudah berjalan pada tingkat instansi terkait seperti di Dinas Kebudayaan dan atau Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan, terutama di BPCB dan BPNB yang menjadi sekarang BPK (Badan Pelestarian Kebudayaan). Faktanya penetapan cagar budaya misalnya di Provinsi Sumatera Barat tahun 2021 ditetapkan dengan SK Gubernur Sumatera Barat No.432-1939-2021 tanggal 28 Desember 2021 sebanyak 11 cagar budaya sesuai unsur/ karakternya atas usulan Kabupaten Kota Sawah Lunto, Sijunjung, Dharmasraya dan Solok.

Secara kategoris terkesan dalam proses pelaksanaan UU 11/ 2010 itu kurang tersosialisasi. Fenomena dan permasalan itu terlihat dalam proses penguasaan, pengalihan, pendaftaran, penetapan, penghapusan, pengelolaan, pelestarian, pelindungan, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran, pengembangan, penelitian, revitalisasi dan pemanfaatan cagar budaya di Sumatera Barat. Karena kurang tersosialisasi, menyebabkan masyarakat tidak banyak tahu tentang proses sumuanya itu. Kalau pun ada sosialisasi itu masih terbatas pada instansi tertentu, sehingga belum tercipta budaya dan karakter taat hukum baik pada masyarakat pendukung (living society) maupun pada masyarakat umumnya dalam kewajiban memelihara cagar budaya.

Secara faktual, karena tidak tersosialisasi dan tidak terbentuk budaya hukum, maka muncul berbagai ancaman perlindungan Cagar Budaya (CB) di Sumatera Barat. Di antara objek yang terancam dalam periode terkini adalah (1) hutan cagar budaya di DAS Batang Anai dan di pinggir jalan raya Lembah Anai Padang – Padang Panjang, sudah banyak bangunan didirikan, berakibat sering meluapnya Batang Anai itu, (2) Rumah Singgah Soekarno di Padang dirobohkan direncanakan di lokasinya akan dibangun restoran.

Fenomena perobohannya terakhir menimbulkan keributan di Sumatera Barat dan apa hendak dikata, rumah cagar budaya itu sudah dirobohkan. Ribut dan heboh itu diketahui masyarakat tidak banyak yang tahu bahwa rumah itu CB.
Fenomena tadi, beberapa CB yang tidak terpelihara bahkan terancam. Belum lagi yang dalam tahap Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) yang belum terdeteksi apalagi terdaftar. Seperti Rumah Singgah tempat bermalam Soekarno tahun 1942, dimungkinkan lebih dari dua atau tiga, belum terdaftar. Di Painan pun, terdapat rumah Singgah Seokarno tahun 1942 itu dalam perjalannya dari Bengkulu ke Padang. Rumah itu disebut Rumah Bajubin (berlantai jubin pertama) di Painan milik isteri Mohammad Zen alumni STOVIA, yang namanya diabadikan untuk nama Rumah Sakit Painan. Rumah Bajubin ini dipastikan belum teregistrasi, meskipun sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Selain itu masih banyak ODCB yang lain yang penemuan, pendaftaran dan peregistrasiannya memerlukan fasilitasi regulasi, UU dan PP yang tersosialiasi.

Hasanuddin Sekretaris Umum Sako Anak Negeri, mengakui ODCB yang belum terekrut informasinya dengan. Ia menyebut di nagarinya Nagari Kapalo Hilalang, Sicincin Padang Pariaman. Ia masih menemukan peninggalan lama artefak bernilai ODCB di Nagarinya itu tidak jauh dari DTW Tepian Pemandian Umum Lubuk Bonta, yakni Lesung Air atau Kincir, tempat penumbukan kopi masa Belanda abad ke-18. Dilaporkan ke pihak berwenang, terlambat direspon akhirnya dirusak masyarakat, lokasinya dijadikan tempat pasilitas publik (publik service). Ia menyatakan sedih, seperti juga pihak berwenang tadi menyatakan sedih.

Lain hal dengan pandangan Ery Mefri Owner Nan Jombang Dance Company. Ia menyayangkan, yang dianggap cagar budaya itu lebih dominan, peninggalan benda purbakala (artefak). Padahal katanya, banyak Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) dalam bidang seni. Betapa banyak seni langka, yang di Nan Jombang sendiri maupun bersama PKM, menggali dan mempertunjukannya kembali seni langka di nagari-nagari itu, untuk memberi tahu dunia, inilah peninggalan lama bidang seni yang kaya nilai dan filosofi masyarakat. Karenanya kata Ery, semestinya pembuat kebijakan meningkatkan komunikasi dengan masyarakat budaya dan regulasi yang dibuat mengakomadasikan seni langka sebagai bagian cagar budaya yang penting mesti didaftar dalam kerangka mewariskan nilai edukasi dan filosofi seni budaya masyarakat.

Tim DPR RI menanyakan, tentang pelaksanaan UU CB, dan peraturan lain, yang dimungkinkan ada potensi tumpang tindih atau disharmoni antara UU Cagar Budaya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Sejauh ini saya dan PKM belum menemukannya aturan CB itu tumpang tindih, yang ada saja belum tersosialisasi. Apakah itu dimungkinkan karena saya belum begitu jauh melakukan kajian dan analisis kebijakan. Namun yang saya tahu, sebenarnya sudah ada homani sesuai amanat UUD NRI 1945 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32 dan Pasal 33.

Artinya, dalam tilikan saya, bahwa pelaksanaan UU Cagar Budaya, secara kategoris mengarah sesuai dengan asas dan tujuan. Asas dan tujuan itu diamanatkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Cagar Budaya. Pun, Asas dan tujuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Cagar Budaya masih relevan dengan kondisi saat ini.

Aspek Substansi Hukum CB dan Ketakutan Masyarakat

Fenomena cagar budaya yang berada di per-air-an, Indonesia, pengamanannya penting. Karenanya perlu mengimplementasikan ratifikasi konvensi warisan budaya bawah laut Tahun 2001 (Convention on The Protection of Underwater Cultural Heritage/ UCH Convention).

Kalau tidak ada proteksi hukum, akan mengancam kelestarian keberadaan CB bawah laut. Bahkan dapat menenggelamkan pentingnya nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan. Misalnya, bangkai/ artefak kapal Belanda M.V. Boeloengan ditemukan di Kawasan wisata Mandeh Resort Pesisir Selatan, sebagai bukti Perang Dunia II perlu mendapat perlindungan bagi kepentingan sejarah.

Terdapat ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 29 ayat (6) UU Cagar Budaya, menyebut frasa “… dapat diambil alih oleh Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah”, sering menimbulkan ketakutan masyarakat. Fenomena ketakutan itu pernah menimpa masyarakat Sumbar. Kejadian di nagari tua Minangkabau, Sumatera Barat “Pariangan” disebut sebagai desa wisata terindah di dunia versi Amerika – Majalah Budget Travel kategori worlds 16 most picturesque villages pada 23 Februari 2012. Ketika pemerintah menawarkan bantuan rehabilitasi beberapa rumah gadang tua, pasca kunjungan Presiden Jokowi.

Di fikiran masyarakat akhirnya bukan bantuan, tetapi terbayang bagi mereka akan kehilangan rumah gadang mereka. Karenanya frasa “dapat diambil alih” itu perlu dijelaskan maksudnya dikuasai pemerintah benar dan atau hak penguasaan, namun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Artinya tidak objeknya tidak menjadi miliki pemerintah dan tidak seperti maksud “pengalihan” pemindahan hak kepemilikan. Justru hak milik pemerintah tidak yang ada adalah penguasaan, yang dikuasakan rakyat kepada pemerintah dan makanya pemerintah memberi perlindungan.

Lain pula halnya ketentuan pasal 24 ayat (2) UU Cagar Budaya mengatur bahwa “apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, dikuasai oleh Negara”. Sebenarnya sudah sesuai kondisi dan perkembangan dan disebut dalam UUD NRI 1945, namun dalam pelaksanaannya oleh penegak hukum, sering menimbulkan multi tafsir bahkan menakutkan masyarakat, merasa akan kehilangan harta peninggalan moyangnya, karena “dikuasi oleh negara” itu sering ditafsirkan “menjadi milik negara”. Dalam pemahaman masyarakat, milik negara tidak ada, yang ada menguasai dan diberi kuasa oleh rakyat untuk memberikan perlindungan. Sedangkan pemilik tetap pada rakyat, dan pemerintah memberi pasilitasi dan panduan hukum serta sanksi bila sengaja dirusak.

Artinya sepenting apapun cagar budaya itu dilihat dari jenisnya langka, rancangannya unik dan sedikit jumlahnya, tetap pemiliknya ada pada rakyat dan pemerintah memberi pasilitasi dan panduan hukum serta sanksi bila sengaja dirusak. Karenanya pula, jenis kelangkaan dan unik rancangannya dengan jumlah terbatas, penting diatur kriteria/ indikator temua cagar budaya itu sekaligus menentukan yang berwenang menentukan indikator dan kepemilikannya.

Tentang kewenangan, justru Pasal 30 UU Cagar Budaya mengatur bahwa “Pemerintah memfasilitasi pembentukan sistem dan jejaring Pendaftaran Cagar Budaya secara digital dan/atau nondigital”. Semestinya secara implementatif, tidak pemerintah saja tetapi juga setiap orang/ warga negara, berpartisipasi melakukan pendaftaran, sedangkan pemerintah di garda terdepan memberikan pasilitasi membentuk sistem dan jejaring pendaftaran itu sehingga mudah diakses.

Justru banyak Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) yang berlun terdaftar dan teregistrasi dan CB yang tidak terawat serta sulit diakses. Tentang registrasi selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor I Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya (PP 1 Tahun 2022) sebetulnya sudah menjelaskan rinci kearah penyelenggaraan Pasal 37 ayat (1) UU Cagar Budaya, yang kewenangannya diberikan kepada “Pemerintah membentuk sistem Register Nasional Cagar Budaya untuk mencatat data Cagar Budaya.” PP I/2022 sudah mengamanatkan secara rinci penyelenggaraan Register Nasional sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat (1) meliputi: Pendaftaran Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB), Pengkajian ODCB, Penetapan ODCB, Pencatatan Cagar Budaya, Pemeringkatan Cagar Budaya, Penghapusan Cagar Budaya dan Pengalihan hak Kepemilikan dan penguasaan. Sebenarnya secara substantif tidak berbeda, hanya saja untuk mengimplementasikan di lapangan sering multi tafsir juga, karenanya perlu penambahan penjelasan lebih lanjut baik di tataran aturan maupun oleh petugas lapangan.

Hukum Negara Selaras Hukum Adat: Malu dan Jera

Menyangkut sanksi, Bab XI UU Cagar Budaya telah mengamanatkan ketentuan sanksi pidana, tidak saja sudah sesuai, juga sudah seharusnya demikian. Pada perinsipnya sanksi diselaraskan hukum negara dengan hukum adat sebagai kearifan lokal. Kalau orang kaya dapat disanksi nilai tukar/ inflasi, tetapi kalau keadaan ekonominya kurang dapat disanksi hukum kurungan. Pertimbangan mendasar adalah memberi tingkat jera. Kadang hukum adat masyarakat hukum adat yang tidak ada penjara, hanya hukum malu, namun dalam pelaksanaannya lebih memberikan tingkat jera yang tinggi. Dalam hukum adat yang sanksi dengan nilai tukar/ inflasi dibayar bukan oleh yang bersalah/ pelanggar tetapi kerabatnya, artinya mempermalukan seluruh kerabatnya.

Sanksi perdata berupa penggantian denda, semestinya dipertimbangkan kondisi pihak pelanggar. Dipetimbangkan apakah pelanggar itu pengusaha dan atau perusahaan, orang asing dan atau rakyat biasa, sanksi denda tidak diberikan rata-rata, tetapi dipertimbangkan kondisi pelanggar tadi. Karena di dalam tatanan budaya masyarakat hukum malu lebih dahsat memberi tingkat jera. Sanksi diberikan pertimbangan kecerdasan intelegensi (pareso, periksa) dan kecerdasan emosional (raso, rasa) dalam norm Minangkabau raso – pareso: rasa dibawa naik, periksa dibawa turun, bertemu pada peringkat keadilan.

Karenanya sanksi dijatuhkan adil, dimulai dari memberi pertimbangan, pertimbangan diberikan di atas yang ada (kondisinya memungkinkan), sehingga sanksi itu dipandang adil sesuai alur dan patut dalam norm hukum adat Minangkabau sebagai sumbangan kearifan terhadap produk hukum negara.

Dalam fenomena kasus-kasus pelanggaran Cagar Budaya sudah mengarah sebagai kejahatan karena sudah menjurus ke mata rantai pemalsuan, pencurian dan penjualan ke luar negeri, saat itu penting pidana. Tentu saja mempertimbangkan norma hukum formal KUHP, juga pertimbangan moral justis yang berakar dari kearifan lokal bersumber adat budaya masyarakat.

Aspek Struktur Hukum dan Kelembagaan: Aktor Pemerintah dan Masyarakat

Amanat Bab V UU Cagar Budaya tentang aturan penemuan dan pencarian Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB), dalam implementasinya memberi peluang dan menemukan kendala. Memberi peluang baru, tidak saja aktivitas destruktif pada masyarakat mencari dan menemukan ODCB, tetapi juga peluang proyeksi baru dan agenda pemerintah sesuai kewenangan. Namun ditemukan kendala dalam masyarakat pada pengimplementasiannya, selama ini karena dimungkinkan UU Cagar Budaya ini belum tersosialisasi, dan karenanya belum terbentuk budaya hukum, bahkan masyarakat tidak tahu.

Yang masyarakat tahu, bahwa pencarian dan penemuan ODCB itu adalah kewenangan pemerintah saja, sehingga masyarakat tidak aktif berpartisipasi mencari dan menemukan ODCB dan pemerintah menunggu, sehingga kedua aktor (pemerintah dan masyarakat) itu tejebak dalam kancah “penantian yang tidak kunjung wujud” dalam pencarian dan penemuan ODCB itu. Bahkan banyak sekali masyarakat menemukan ODCB itu tetapi tidak tahu ke mana mau melaporkan sehingga diproses pemerintah menetapkan OCB.

Fenomena dan fakta itu banyak, ditemukan pada beberapa tempat seperti situs manuskrip Surau Gobah Tanjung Batangkapas dan atau di daerah lain yang banyak dipalsukan dan dijual ke luar negeri, kadang malah pemerintah tertipu membelinya yang palsu. Demikian situs megalit lainnya seperti makam orang rupit di Banda X Pesisir Selatan dan makam panglima raja seperti Tan Sri Dano Taluk, penghulu dan ulama seperti di Nagari Pagadih, lesung batu dan atau seperti mejan Nagari Suayan dan atau menhir di Nagari Mahat 50 Kota lainnya. Mejan Megalit dan menhir itu banyak berstatus ODCB, dibiarkan tercabut, tergeletak, bahkan dirusak menjadi batu asahan golok dan sebagainya seperti pernah kami tulis kesan perjalanan ke Nagari Suayan 50 Kota, karena masyarakat mencari dan menemukannya tak tahu ke mana mau melapor, lalu dibiarkan begitu saja sia-sia dan mengorbankan pewarisan nilai sejarah dan budaya bangsa di daerah.

UU CB Bab VIII mengatur terkait tugas dan wewenang Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah perihal cagar budaya, penting penjelasan mekanisme dan pola koordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten /Kota, dan pihak-pihak terkait di dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Selama ini dalam pelaksanaannya terdapat kendala, jangankan pemanfaatannya diharap jelas, bahkan baik masyarakat dan banyak aparat di kabupaten kota, yang tidak tahu mana saja yang cagar budaya di daerahnya. Solusi, penting disosialisasikan baik UU Cagar Budaya, mau pun CB dan atau ODCB yang sudah ditetapkan jenis dan peringkatnya oleh Bupati, Wali Kota dan Gubernur, sehingga membentuk kewaspadaan dini masyarakat taat hukum menangkal ancaman dan gangguan/ pengrusakan ODCB dan CB yang ada di wilayahnya. Kasus pengrusakan Rumah Singgah Soekarno di Padang yang ribut di media, dirusak karena tak tahu sebagai CB, dan atau Rumah Singgah Soekarno di Painan Rumah Berjubin tak diketahui apakah sudah ODCB atau belum, yang jelas rumah tua tempat singgah dan tidur Soekarno itu belum terperhatikan.

Persebaran cagar budaya Indonesia tentu BPK sudah melakukan mapping. Namun rasio CB dan PPNS pelestarian CB melakukan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaaatan CB dan ODCB masih dikhatiri berjalan optimal. Masih ada kendala pada ketesediaan tenaga PPNS dengan upaya menarik dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian CB dan ODCB yang sangat banyak tersebar di kawasan nagari/ desa di Sumatera Barat dibanding antara yang tidak teregistrasi dengan yang sudah teregistrasi dan ditetapkan sebagai CB dan ODCB. Solusi, pencarian, penemuan, penetapan, pengembangan, pelestarian, perlindungan dan pemanfaatan CB, disarankan upaya kawal ketat dipasilitasi kebijakan/ regulasi yang tersosialisasi dan disertai petugas lapangan di samping juru juru pelihara CB lainnya yang piawai merekruit partisipasi para pihak aktor pembangunan termasuk aktor masyarakat tradisional.

Aspek Pendanaan Cagar Budaya
Registrasi ODCB dan perawatan CB mahal

Sebenarnya UU CB Pasal 98 sudah mengatur pendanaan. Namun disarankan, sebaiknya masyarakat jangan dibebani tanggung jawab dana, karena masyarakat pemilik justru seharusnya diberi jasa perawatan di samping peneydiaan dana pelestarian yang cukup oleh pemerintah dan pemda. Sumbernya tentulah sudah tepat dari APBN, APBD, Hasil Pemanfaatan CB dan Sumber lain yang sesuai peraturan perundang-undangan.

Pengalokasi anggaran semestinya dana sharing Pemerintah dan Pemda dengan perinsip proforsional. Justru Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan dana cadangan untuk Penyelamatan Cagar Budaya dalam keadaan darurat dan penemuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya, dipandang sudah sesuai dengan kondisi sekarang. Pengalokasian anggaran untuk perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan kompetensi Cagar Budaya, dipandang sudah seharusnya, bahkan terpikir: penting pula penyediaan anggaran pencarian dan penemuan peranserta masyarakat dihargai dengan pendanaan yang pantas.

Implementasi terkait dengan pengelolaan alokasi anggaran tersebut karena terdapat pendapat bahwa pengalokasian anggaran tidak dikelola sebagaimana mestinya melainkan hanya terbatas pada Pendapatan Asli Daerah (PAD, dipandang tidak pantas. Sebab CB sebagai aset, jangan ditafsirkan hanya menghasilkan PAD semata, tetapi juga ad pengalokasian anggaran, naum juga harus dipertimbangkan pentingnya pelestarian untuk memelihara nilai budaya dan sejarah. Kalaupun setiap aset ada PAD, justru seharusnya berbagi keuntungan antara penguasaan pemerintahan dengan kepemilikan pada rakyat, jangan hanya semua dipungut untuk pemerintah tetapi ada bagian masyarakat. Karena pada perinsipnya, penguasaan dan perlindungan diberikan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat.

Aspek Sarana dan Prasarana – UU CB

Penting senantiasa ada upaya teknis dukungan pelestarian cagar budaya sejalan dengan Pasal 54 UU Cagar Budaya yaitu “Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai”. Tim DPR RI selanjutnya menanyakan Pasal 96 ayat (1) huruf k UU Cagar Budaya “mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan”. Tim DPR RO dan PKM sama melihat, bahwa implementasi dukungan jumlah, pemerataan, serta teknis dan/atau kepakaran dari Tenaga Ahli Cagar Budaya, Tenaga Ahli Pelestarian, dan Juru Pelihara saat ini, adalah penting, (1) pemastian rasionya berbanding jumlah CB dan atau ODCB, (2) berimbang tenaga teknis, juru pelihara dan tenaga ahli sekaligus pendistribusian kewenangan. Karena berfikir boleh stinggi langit tetapi bekerja sesuai kewenangan.

Kendala dalam pelaksanaan dukungan teknis dan/ atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/ atau yang dikuasai, belum dirasakan, terutama dukungan teknis dan juru pelihara, sehingga banyak kasus CB yang dirusak lantaran masyarakat bahkan ada pegawai negara yang tidak tahu bahwa itu CB di daerahnya. Solusi yang mungkin ditawarkan, teruslah kembangkan kebijakan manajemen sumber daya manusia (MSDM) di bidang kepurbakalaan terutama pada tenaga teknis dan juru pelihara berbasis pengalaman masyarakat dan kearifan lokal di mana wilayah terdapat CB dan ODCB.

Demikian pula implementasi dukungan fasilitas pemanfaatan dan promosi cagar budaya, semestinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masa kini dilakukan dengan beradaptasi pada benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya oleh pemerintah, pemerintah daerah, pihak-pihak terkait, dengan menciptakan branding baru pemanfaatan CB dan ODCB.

Begitu pula branding penerapan perkembangan teknologi informasi terhadap penguasaan, pengalihan, pendaftaran, penetapan, penghapusan, pengelolaan, pelestarian, pelindungan, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran, pengembangan, penelitian, revitalisasi dan pemanfaatan cagar budaya, disejalankan dengan dengan tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masa kini beradaptasi CB dilakukan pemerintah dan Pemda serta masyarakat. Penerapannya menarik pemikiran Seminar – Kongres Kebudayaan PKM terakhir akhir tahun lalu, (1) memperhatikan nilai ketangguhan dasar negara Pancasila, juga mempertimbangkan, (2) mencermati transformasi kuasa internet dan kondisi penetrasi internet di Indonesia, (3) memperhatikan isu futuristik metavers praktis membentuk comunitas virtual yang saling terhubung, bekerja dan bertemu meskipun tidak satu meja dan atau sekantor, (4) memperhatikan upaya perawatan generasi masa depan yang teck savvy yang tetap mempertahankan identitasnya yang sebagian nilai idnetitas itu bersumber dari kebudayaan bangsa termasuk bersumber CB dan atau ODCB ini yang mendorong mereka mencintai kebudayaan daerah mereka (seperti Minangkabau) sebagai bagian integral kebudayaan bangsa Indonesia.

Kendala, selama ini masih terdapat kesenjangan antara tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masa kini, sehingga pemerintah mau pun masyarakat kesulitan bersama, dalam branding CB dan ODCB meskipun sudah menggunakan teknologi. Solusi, ciptakan branding dengan pemanfaatan teknologi, tutup lobang defisit dan tegakan hukum dengan menciptakan masyarakat berkarakter sadar hukum melalui sosialisasi sepertu UU Cagar Budaya itu.

Aspek Budaya Hukum dan Edukasi

Dalam aspek budaya hukum dan edukasi, penting implementasi pemberian edukasi mengenai cagar budaya kepada masyarakat. Karena secara empiris banyak ditemukan permasalahan pelestarian cagar budaya di antaranya: masih rendah kesadaran dan kepedulian sebagian masyarakat terhadap nilai penting Cagar Budaya. Faktanya masih marak tindak pelanggaran terhadap upaya perlindungan Cagar Budaya di beberapa daerah, seperti pencurian, pemalsuan, pembawaan Cagar Budaya ke luar negeri secara illegal, corat-coret pada batu-batu Candi bahkan mrusak dan meruntuhkan dan kasus lainnya.

Ada indikasi, masih sangat rendah keterlibatan masyarakat di dalam pengamanan, pengelolaan dan pelestarian cagar budaya. Seharusnya peran serta masyarakat dalam pelestarian cagar budaya harus tinggi dan dipasilitasi kebijakan. Sebenarnya secara kategoris peran serta masyarakat itu sudah terakomodir dalam pasal-pasal UU Cagar Budaya ini, intensitasnya penting diadvokasi.

Adalah penting masukan dan saran sebagai sebuah rekomendasi, terkait fenomena implementasi UU Cagar Budaya. Di antaranya, UU ini penting dilakukan advokasi ke arah perubahan. Perubahan dan atau pergantian penting melihat dari aspek budaya hukum dan edukasi, aspek saran adan prasarana, aspek pendanaan, aspek struktur hukum dan kelembagaan dan aspek substansi hukum lainnya tentang cagar budaya.*

Bagikan:
SAKO’s Journey Singgah Melihat Kampung dan Makam Hayati
Bagikan:

Sehabis rapat teknis Festival Pagaruyung di istana Silindung Bulan, Ahad (5/3/2023) sore, SAKO menyempatkan singgah untuk melihat kampung dan makam Hayati.

Hayati adalah seorang tokoh dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karangan Hamka.

Kampung dan makam Hayati terletak di Kampung Pandam Batipuah Baruah, Kabupaten Tanah Datar.

Asni dan Ita kerabat Hayati ditemui sejarawan Dr Saharman

Asni dan Ita anak cucu dalam kaum sikumbang ialah kerabat Hayati. Dua wanita ini menunjuk makam dan rumah Hayati. “Di sini dulu kamar Hayati.”

Makam Hayati

“Sekarang rumahnya ini diwakafkan kepada Muhammadiyah,” kata Asni dan Ita menunjukan lokasinya.

Bagikan:
SAKO’s Journey ke Ganggo Hilia, Jejak Rajo Bandaro
Bagikan:

SAKO.OR.ID – Ganggo Hilia, Nagari Rajo Bandaro. Ialah rajo adat syara’ (rajo adat plus rajo ibadat) dari Rajo 4 Selo. Menarik, citra cerita Syahrial Dt. Bandaro, salah seorang pewaris Rajo Bandaro, satu di antara Rajo 4 Selo di Bonjol (dulu Alahan Panjang) Rantau Pasaman itu. SAKO’s Journey asyik mendengar ceritanya di rumah kaumnya Kampung Dalam, Padang Laweh, Ganggo Hilia Kamis sore 24 November 2022.

Dt Parpatiah berdialog dengan mamak rumah Rajo Bandaro

Team SAKO’s Journey ke Ganggo Hilia setelah acara Duduk Bersama diskusi penguatan limbago adat, sako pusako salingka kaum di Nagari Koto Rantang, Palupuh, Agam. Adalah etape berikutnya dari team SAKO’s Journey yang besoknya terus ke Nagari Pagadih. Adalah sebuah nagari di Palupuh yang berpagar pohon batang gadih oleh leluhur mereka penghulu nan-6 dalam basa-12 asal dari Kamang.

Nagari Ganggo Hilia Kaya Sejarah di Bonjol

Terkesan, Nagari Ganggo Hilia memiliki sejarah Rajo Bandaro satu di antara Rajo 4 Selo. Kaumnya di Kampung Dalam, Padang Laweh, Bonjol.

Nagari Ganggo Hilia orbitasinya di Kecamatan Bonjol, yakni satu di antara 4 Nagari di Bonjol. Luas Nagari 45,77 km persegi.

Jarak 1 km dari Kantor Wali Nagari ke Ibu kecamatan. Ke ibu kota Kabupaten, Lubuk Sikaping 21 km. Sedangkan ke Padang Ibu kota Provinsi Sumatera Barat, 152 km.

Masjid jejak sejarah Rajo Bandaro

Secara demografis menurut sensus 2018, Ganggo Hilia penduduknya 8.432 jiwa. Laki-laki 4.159 dan perempuan 4.273 jiwa.

Dari pespektif pemerintahan Nagari Ganggo Hilia punya 12 jorong. Dua belas jorong itu: (1) Kampuang Caniago, (2) Kampuang Jambak, (3) Kampuang Koto (4) Kampuang Sianok, (5) Kampuang Talang, (6) Musus, (7) Padang Baru, (8) Padang Bubus, (9) Padang Laweh, (10) Pasar, (11) Tanjung Alai, dan (12) Tanjung Bungo.

Nagari Ganggo Hilia, memiliki service centre (pusat pelayanan). Pusat pelayanan pendidikan, ada SD 8 Unit, SMP 2 unit dan SMA 1 unit. Pusat pelayanan kesehatan, 1 unit Puskesmas dan 1 unit Puskesmas Pembantu. Pusat pelayanan ibadat ada 9 Unit masjid dan 23 unit surau/ mushala.

Rajo Bandaro dan kakaknya puti di antara puti kampung dalam di dampingi Dt. Parpatiah dan Istri juga puti dalam kaum Dt Bandaro.

Bahkan untuk kawasan 4 Nagari di Bonjol kaya sejarah dan service centre. Pusat pelayanan wisata religi, ada DTW makam-makam ulama syekh, raja dan penghulu. Ada DTW peninggalan perang artefak Meriam Tuanku Imam Bonjol. Juga warisa budaya jenis wisata kuliner, khas makanan Bonjol di antaranya kipang pulut. Ada pula wisata budaya DTW kawasan pengembangan pertunjukan seni gerak Silek Sambuik Sapuluah dan yang baru ada seni tari bentuk pertunjukan Ronggeng Musus yang cukup populer.

Selain wisata religi, peninggalan perang, dan wisata budaya dan kuliner, juga kaya wisata alam dan tanaman hias kaktus. Di antara wisata alam perbukitan dengan perairan yang aliran airnya berpotensi dan berpeluang olah raga Arung Jeram. Selain itu juga ada perbukitan dikenal Bukit Benteng Bukit Tajadi, disebut sebagai bukti perang juga, yakni Benteng Pertahanan Tuanku Imam Bonjol. Ini semua bagian kekayaan alam Nagari Ganggo Hilia dan di keseluruhan 4 Nagari di Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman.

Bahkan masih di Ganggo Hilia, terdapat Situs Prasasti Ganggo Hilia. Situs Prasasti dimiliki masyarakat hukum adat dipasilitasi Nagari Ganggo Hilia. Karena demikian pentingnya situs ini sudah dicatat sebagai cagar budaya di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dengan nomor inventaris 12/BCB-TB/A/08/2007. Lokasinya di Ganggo Hilia, di Jalan Dusun, Jorong Pasar. Luas situs 115 cm x 180 cm x 96 cm terletak pada lahan seluas 120 X 130 m.

Negeri Pahlawan Imam Bonjol dan Achmad Mochtar

Nagari Ganggo Hilia bagian dari keseluruhan subkultur Minangkabau “Alahan Panjang rantau Pasaman” sekarang disebut Bonjol. Terletak di Kecamatan Bonjol sekarang, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Rantau Pasaman ini menaruh banyak pahlawan.

Sebagai nagari pahlawan, banyak pahlawan besar lahir dari Nagari Bonjol ini. Ada pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol (1772- 6 November 1864). Juga ada ilmuan dunia, ialah Dokter spesialis ahli virus Prof.Dr. Achmad Mochtar (10 November 1890 – 3 Juli 1945), yang menjadi tumbal kebrutalan Kolonialism Jepang diduga berselingkuh dengan Amerika dulu menjelang Indonesia Mereka.

Nagari Rajo 4 Selo Bonjol

Selain Imam Bonjol dan Achmad Mochtar juga ada pahlawan yang dikenal dalam Masyarakat Hukum Adat dari Rantau Pasaman, ialah Raja 4 Selo. Juga ada yang melegenda, di antaranya Puti Mayang Manadu, Syekh Qalibi makamnya di Padang Bubus/ Bubuih, Syekh Maulana Ibrahim makamnya di Koto Kaciak Ungguak Batu dan Syekh Muhammad Said makamnya di Suraunya di Bonjol, dan pahlawan lainnya.

Khusus jejak kebesaran Rajo 4 Selo itu terdapat di 4 nagari Bonjol sekarang (dulu Alahan Panjang Rantau Pasaman). Empat Nagari itu: (1) Nagari Ganggo Hilia, (2) Nagari Ganggo Mudiak, (3) Nagari Koto Kaciak dan (4) Nagari Limo Koto.

Rajo 4 Selo di 4 Nagari – Bonjol itu menjadi simbol kebesaran pucuk adat Alahan Panjang Rantau Pasaman. Rajo 4 Selo itu ialah: (1) Dt. Bandaro, Suku Tanjung, Rajo di Ganggo Hilia, berpusat di Kampung Dalam Padang Laweh, (2) Dt Sati, Suku Melayu, Rajo Ganggo Mudiak, (3) Dt. Bagindo Kali Suku Melayu, Rajo Koto Kaciak, dan (4) Dt. Bagindo Rajo Limo Koto, Suku Tanjung.

Rajo Bandaro di Ganggo Hilia

Rajo Bandaro langgamnya disebut sampai ke bukit Gunung Malintang batas 50 Kota. Sedangkan Rajo Bagindo Kali disebut langgamnya sampai ke ombak nan badabua. Lebih lanjut dapat ditelusuri dari para pemangku adat di Bonjol.

Dulu Rajo Bandaro, kebesarannya sebagai raja adat syara’ (rajo adat dan rajo ibadat), raja pertamanya ialah Tuanku Tun Kayo Bandaro Langik. Makam/ kuburnya terdapat di Padang Lubuak Usa (Asal). Disebut pewarisnya Datuk Bandaro, Tuanku inilah yang pertama mancancang latiah (membuka wilayah dan meneruka) di Ganggo Hilia Bonjol yang dulu bernama Alahan Panjang.

Kampuang Dalam, Padang Laweh termasuk sub kultur adat di Kampuang nan tigo sampai kini. Kampuang nan tigo itu adalah: Musuik, Padang Laweh dan Padang Bubuih. Penghulunya Dt Pangulu Bando Putiah, ialah kamanakan Rajo Bandoro di Ganggo Hilia.

Setelah Alahan Panjang jadi nagari, Tuanku Tun Kayo Bandaro Langik balik pulang ke Pagaruyung, cerita pewarisnya Syahrial Dt Bandaro payung suku tanjung di Kampung Dalam. Balik ke Pagaruyung, tepatnya ke Ranah Ulak Tanjuang Bungo, sentra orang suku Tanjung, sebut Mak Katik Suhaimi. Tujuan balik ke Pagaruyung itu, menjemput kapanakannya tiga orang. Satu orang perempuan, terus ke Parik Batu. Dua lagi laki-laki terus ke Alahan Panjang atau Bonjol kini, cerita pewaris rajo Dt. Bandaro itu.

Kedua kemenkan Pewaris Tuanku Tun Kayo Bandaro Langik tadi memperkuat Rajo Bandaro dan penghulu adat membangun masyarakat hukum adat. Kata Syahrial Dt. Bandaro pewaris Rajo Bandaro, masih ditemukan jejak kebesaran Rajo 4 Selo di Bonjol. Khusus Rajo Bandaro di Ganggo Hilia, jejak kebesarannya masih dapat ditemukan di Kampung Dalam dan di Bonjol umumnya. Di antaranya ada ulayat, kaum suku tanjung, masjid, rumah gadang dan makam lainnya.

SAKO bertemu dan bercerita panjang dengan pewaris rajo di Ganggo Hilia Syahrial Dt. Bandaro. Sekarang ia payung suku rajo adat sara’ yakni penghulu suku Tanjung. Kaumnya di kampung rajo yakni Kampuang Dalam, di Joong Padang Laweh, Ganggo Hilia, Bonjol sekarang.

SAKO’s Journey, sebagian teamnya sempat duduk bercerita dengan Dt Bandaro pewaris Rajo Bandaro Ganggo Hilia. Di antara tim SAKO’s Journey ialah Dt. Parpatiah dan isterinya satu di antara puti-puti dalam kaum Rajo Bandaro Ganggo Hilia. Juga ada Mak Katik Suhaimi, AR Piliang, Dt Rajo Putiah lainnya. Sementara team SAKO’s Journey lainnya masih membidik Nagari Koto Rantang Palupuh, Agam. Mereka Dt. Inaro, Didi Rio Mandaro dan Afrizal.***

Bagikan:
SAKO Bertamu Ke Kabid Kebudayaan Padang, Ini yang Dibahas
Bagikan:

SAKO.OR.ID – SAKO adalah sebuah yayasan yang telah memiliki SK-Menkumham RI. Kata SAKO sendiri merupakan pendekan dari Saiyo Sajalan dan Sakato.

Pada Senin (24/10) siang, SAKO berkunjung ke Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang. Kunjungan itu dilaksanakan selepas kunjungan ke Diknas Sumbar.

Rombongan Sako disambut langsung oleh Syamdani selaku Kabid Kebudayaan di ruangan kerjanya di Kantor Disdikbud Padang.

Bersama dengan Kabid Syamdani yang juga kandidiat doktor sekaligus penulis dan youtuber sejarah itu, Sako membahas perihal proses pendaftaran Benda Cagar Budaya.

Katanya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, penetapan cagar budaya di kabupaten/kota dilakukan dengan Surat Keputusan Bupati dan atau Walikota.

Sedangkan Badan Pelestarian Cagar Budaya seperi juga di Sumatera Barat, melaksanakan kegiatat-kegiatan pelestarian.

Karenanya, situs-situs di nagari-nagari, baik yang ditemukan oleh masyarakat maupun oleh aktor pembangunan serta para pihak lainnya, didaftarkan ke Dinas terkait, yakni yang mengurus kebudayaan.

“Merespon laporan itu dinas terkait melakukan survey dan kalau layak, direkomendasikan untuk ditetapkan dengan SK Bupati dan Wali Kota,” kata Syamdani.

SAKO Menelusuri Asal-Usul Bertemu Situs dan yang Tersuruk

SAKO, bertamu terdiri dari GG Datuak Parpatiah, Januarisdi Rio Mandaro serta YY Dt. Rajo Bagindo dan Datuak Inaro menyampaikan temuan perjalanannya dalam agenda SAKO’s Journey.

Agenda SAKO ini, sudah menjalankan napak tilas ke nagari-nagari di Sumatera Barat. Perjalanan itu melihat dari dekat jejak-jejak asal usul dan mengunjungi situs-situs serta artefak arkeologis lainnya yang menjadi bagian bukti tersuruk dari asal usul suku/orang Minangkabau.

Terakhir, tanggal 1 dan 21-23 Oktober 2022 berjalan ke Nagari Suayan Kabupaten 50 Kota dan Pangian Kabupaten Tanah Datar, banyak hal yang tasuruak patut dicatat. Banyak situs yang patut dijadikan Cagar Budaya dan dilestarikan, kalau tidak terancam musnah.

Misalnya mejan versi menhir di Suayan, ada indikasi penghancuran. Ada yang sudah tercabut dan dijadikan batu asahan. Masyarakat melaporkan, kami tidak tahu gunanya bapak, kata mereka melaporkan kepada tim SAKO.

Fenomena seperti itu patut kita dan SAKO khususnya mendorong masyarakat dan pemerintah setempat mendaftarkan situs-situ itu, kata Sako dan Kabid Kebudayaan serentak.

Bagikan:
SAKO’s Journey: Suayan Nagari Tua Dari Menhir ke Angku Syekh
Bagikan:

SAKO.OR.ID – Beberapa kali saya ke Suayan, dua kali terakhir, tanggal 1 dan 21-23 Oktober 2022, semakin banyak hal yang patut dicatat. Mangkal singgah nginap di rumah asa Suayan. Adalah Kampuang/ Suku Jambak Datuk Putiah (M. Damris). Suayan terkesan Nagari Tua di Akabuluru 50 Koto.

Sebelumnya, beberapa kali ke kaum suku Jambak Suayan di bawah payung Datuk Marajo Nan Elok (Fauzan). Bermula meminang kemenakannya bernama Ikha Hajriani, untuk jodoh anak saya Ilhami El-Yunusiy, disusul acara pernikahan dan pesta anak minantu di Suayan beberapa tahun lalu. Sekarang merka sudah punya buah hati Khalif dan Khulfa, cucuku.

Lesung batu suayan

Nagari Tua Suayan, malam terasa dingin. Enak makan samba lado biru dan atau merah. Uok pucuak ubi. Gulai masakan tangan piawai Ibu Mis dan Ibu Ros saudara perempuan beliau M. Damris Dt Putiah payung suku Jambak Suayan Tinggi. Elok baso, dusanak Dt. Putiah. Habis makan, durian berpuluh-puluh dibuka pula. Dimakan engan ketan. Tak kuat makan habis, sambal dibungkuskannya pula, di bawa bundo-bundo ke Padang. Alhamdulillah, semoga keluar nagari ini senantiasa diberi rahmat Allah.

Nagari Tua Ulama Angku Suayan

Suayan Nagari tua, auranya terasa. Tua dengan teknologi batu, megalitik. Banyak situs tua seperti menhir, batu asahan dan lesung batu. Batu istimewa itu yang lebih menonjol menhir disebut orang nagari ini dengan “mejan”. Sama maknanya (Arab: turbah, nisan). Berarti batu istimewa itu menandai makam orang betuah dulu, mungkin tokoh adat dan mungkin tokoh agama. Juga ditemukan juga cerita dan jejak surau tua ulama Tuk Oya, Angku Syekh Suayan.

Mejan versi Menhir Suayan tercabut dan tergeletak sekitar menjid Nurul Hidayah

Dimulai dari nama kharismatik Angku Suayan. Dikabarkan GG Dt. Parpatiah diiyakan MD Dt. Putiah, S.Katik Malano dan Bundo Yapriati. Rekanan piawai rombongan SAKO’s Journey, mengetahui ada nama besar Angku Syekh Suayan. Disebut pula abad ke18, Angku Syekh Suayan itu ialah guru dari guru dari Haji Sumaniak, Haji Miskin dan Haji Piobang. Juga disebut Bundo Yap, Tuk Oyah dalam jaringan Angku Lurah dan Rajo Kudum lainnya.

Bahkan GG Dt Parpatiah mengabarkan, di Nagari Suayan ini jauh sebelumnya suda ada tinggal, salah seorang angku/ spiritual penjaga Puti Balukih (Puti Bulkis istri Nabi Sulaiman). Kemudian juga ada nama Angku Syekh Suayan. Ulama itu dimungkinkan dari/ pandai berbahasa Arab. Dari sentuhan kabar lama ini, Mak Katik menghubungkan dengan sejarah nama Suayan. Serangkaian itu menyebut tiga wilayah penting asal usul sampai ke niniaknya. Wilayah itu Kampar, Andaleh, Pangka Bumi dalam wilayah kultur Luak Bungsu 50 Koto dan Luak Tuo Tanah Data. Perlu pemetaan untuk dijalani SAKO’s Journey.

Disebut Mak Katik nama Suayan, dari Bahasa Arab “Suayan, suaiyan (سويا)”. Menambah kekayaan asal nama Suayan dari informasi Suayan “kejutan ayam terbang suuu.. ayam, menjadi Suayan”. Dalam kalimat Arab, ada dalam ungkapan, intazhir suayan huna (انتظرسويا هنا). Artinya tunggu sejenak di sini. Suwaiyan, Sawayan, Suayan berarti penantian sejenak. Apakah penantian itu sejak masa Puti Balukis istri Nabi Sulaiman yang menjadi kaba di Minang itu? Wallahu a’lam bishshawab !

Mungkin pula Suayan dari kata akar Arab Qur’ani “shirathan sawiyan” (jalan lurus,mustaqim, QS.Maryam 43). Akar katanya saui (sawi, سوي mustawi مستوي , suai, lalu Suaian, Suayan?). Ada juga kalimat Arab, sawwa l-nahhat al-timtsal (سوي النحات التمثال) artinya para pemahat memahat patung. Ada juga kalimat akar kata sawwaituhu (سويته) artinya nafakhtu fihi min ruhi (ونفخت فيه من روحي), aku memberinya ruh (ada akar kata dalam Qur’an). Ada juga dari kata sawwa bihi l-ardhi (سوي به الارض) artinya dafanahu fiha (دفنه فيها) – telah menguburkannya di tanah ini. Apakah karena itu terdapat banyak mejan (menhir) hasil pahatan sebagai teknologi megalitik di Suayan? Mejan menandai yang berkubur di Suayan? Entahlah! Wallahu A’lam bishshawab

Terlepas dari benar atau tidak kabar tentang tokoh spiritual dan ulama tua Angku Syekh di Suayan tadi dan berkaitan dengan akar kata Suayan, yang jelas sudah ada sejarah ulama dikawasan ini. Adalah fenomena perjuangan ulama menyebarkan ajaran Islam di kawasan Batuhampar dan atau sekitar Akabiluru, yang tidak bisa dilepaskan dari Nagari Suayan. Ulama itu Syekh Burhanuddin Kuntu, Kampar pada abad ke 12.

Mejan versi menhir Suayan randah

Disejarahkan dan dilansir pada berbagai buku sejarah dan wacana teks cetak dan media online lainnya, bahwa Syekh Burhanuddin selalu berpindah-pindah dalam mengajar dalam rangka mengembangkan ajaran Islam. Syekh memulai pertama mengajar dari Batu Hampar, Akabiluru tak dapat dipungkiri sampai ke Suayan. Di kawasan Batuhampar ini tahun 560 – 570 H (1141 – 1151 M). Dari Batu Hampar ke Kumpulan Pasaman (570 s/d 575H/1151 s/d 1156 M). terus ke Ulakan Pariaman (1156 – 1171 M). Setelah itu ke Kuntu sampai akhir hayatnya tahun 1171 – 1191 M.

Pertanyaan penting berpeluang penelitian, kenapa Syekh Burhanuddin Kuntu memulai mengajarkan Islam di Batu Hampar kawasan dekat Suayan ini? Kalau tak ada berada tak tempua bersarang rendah. Apa ada hubungan sejarah ulama Suayan Angku Syekh Suayan tua dan sejarah ulama tua Tuk Oyah di sana sampai ke Batu Hampar? Apakah Syekh Burhanuddin Kuntu juga pernah belajar agama di Batu Hampar, Suayan dan atau Akabiluru umumnya, lalu ia mengajar agama mulai di kawasan dekat Suayan ini? Menarik akademisi menelitinya.

Surau Lubuk Sosai Suayan

Disebut Kawasan Sosai tak jauh dari aliran sungai, di situ dulu Surau Angku Suayan. Apakah di sini sentra pengajaran Islam awal di Akabiluru? Surau ini mempunyai Tabuah (Beduk) panjangnya sebatang kayu 30 meter. Lokasi sekitar kebun pinang Fikri suku Caniago sekarang. Ada tanda di sini yakni Batu Tandinai. Tak jauh dari sini ada pula surau suluk tarekat naqsyabandi. Pernah dipimpin angku Imam Keramat.

Surau di Sosai runtuh masih ada jejak sejarah bekas pondasi. Pindah ke lokasi Surau Gadang yang kemudian jadi masjid. Waktu APRI, pernah dibombardir, surau ini tak bergeming, seperti tahan peluru. Lama masanya, lokasi dipindahkan ke Masjid Raya Suayan Tinggi, terkesan punya arsitektur khas juga.

Lalu Tabuah teknologi kayu pusako Surau Sonsai sepanjang 30 meter tadi itu dipotong tiga. Pangkalnya dipakai tabuah di Masjid Raya. Potongan tengah dipakai tabuah masjid Nurul Hidayah. Ujungnya dipakai tabuah di Masjid Taqwa Suayan Sariak. Dulu ketika tabuah Sonsai berbunyi, terdengar sampai ke Taram. Masyarakat Taram berucap: tuh tabuah Suayan berbunyi!

Negeri Banyak Mejan versi Menhir

Sebagai Nagari tua, Suayan punya banyak situs mejan versi menhir. Masyarakatnya tidak kenal menhir, disebutnya mejan. Apakah mungkin mejan itu makam tokoh adat dan agama? Pertanyaan ini berkaitan dengan asal nama Suayan tadi. Akar “kata sawwa bihi l-ardhi (سوي به الارض) artinya dafanahu fiha (دفنه فيها) – telah menguburkannya di tanah ini. Lalu untuk menandainya ada menhir teknologi mejan kubur atau turbah (penandai tanah kubur). Apakah teknologi mejan zaman batu itu, menhir yang berakar dari kalimat Arab, sawwa l-nahhat al-timtsal (سوي النحات التمثال) artinya para pemahat memahat patung? Patung itu mejan versi menhir itu?

Terlepas dari benar atau tidak yang jelas menhir itu cukup banyak di Suayan disebut oleh masyarakatnya sebagai mejan. Di antaranya:


1.Mejan tinggi sekitar setengah meter di depan rumah ibu Lis Suayan Tinggi
2.Mejan tinggi sekitar 5 meter di depan rumah ibu Er, kata Edi (60) lokasi lahan suku caniago payung Datuk Parpatiah Lego.
3.Mejan di Parak Er, setinggi 2,5 meter. Diperkirakan satu kesatuan dalam peta segi tiga lokasi mejan depan rumah ibu Lis dan ibu Er dan di Parak Er.
4.Mejan tinggi sekitar 4,5 meter dikelilingi banyak mejan kecil dan sedang. Kata Edi tertanam di lahan suku Caniago payung Datuak Paduko Rajo. Dahulu tempat perkumpulan tradisi alek “batuka lapek” (bertukar kue lapek) untuk menunjukkan kekeramatan masing-masing perserta pesta tradisi itu. Habis itu disediakan kolam mandi yang dipasang talang runcing, semua mencebur kesana tak ada yang terluka, sebuah kekeramatan, kata Fauzan Dt. Marajo Nan Elok.
5.Mejan tinggi 5 meter di lokasi parak Sabri sekarang di Suayan Randah
6.Menhir tinggi sekitar 4,5 meter tercabut tergeletak di simpang tiga jalan kampung di sekitarnya terdapat pula beberapa mejan kecil dan sedang tidak jauh dari masjid Nurul Hidayah Suayan Randah yang dulu punya tabuah potongan tengah dari tiga potongan Tabuah Sosai 30 meter tadi.
7.Ada juga mejan di sebuah masjid modern, sayang menhir itu ditempatkan di sebuah kolam yang digenangi air dilapis pula dengan semen terkesan menghilangkan aslinya.

Selain itu juga terdapat tekonologi zaman batu megalitik jejak arkeologis dalam bentuk keperluan rumah tangga. Bentuknya lesung batu penumbuk padi dan atau penumbuk kopi. Terdapat lesung batu di halaman rumah pusaka kaum Jambak M.Damris Dt. Putiah. Demikian pula, lesung batu tak jauh dari halaman rumah ibu Lis di Suayan Tinggi. Lesung batu hasil produk teknologi megalitik itu sebenarnya teramati pada banyak di lakasi lain di Suayan Randah dan Suayan Tinggi. Pada umumnya lesung batu itu tidak jauh dari mejan versi menhir itu.

Rombongan SAKO’s Journey:
Situs Jadikan Cagar Budaya kalau tak mau lenyap

Rombongan SAKO’s Journey di antaranya GG. Dt. Parpatiah, Hanafi Zen St. Bagindo, AR Piliang Malin Marajo, S.Katik Malano, YY Dt.Rajo Bagindo, Januarisdi Rio Mandaro, Hasanuddin Yunus Dt. Tan Patiah, MD. Dt. Putiah, J.Angku Janiah, Bundo/ Ny. Hanafi, Bundo/ Ny. GG Dt. Parpatiah, Bundo/ Ny. Sepit Sugiarti Ningsih, Bundo Yapriati lainnya.

Kunjungan diterima dan didampingi ninik mamak Nagari Suayan. Di antaranya Fauzan Dt. Marajo Nan Elok, Dt. Ompek, Dt. Khudum, Dt. Manggung Sati, Angku Sati, Malin Sati serta keluarga kaum MD Dt. Putiah ibu Mis dan Ibu Ros serta isteri Dt. Putiah lainnya.

Dalam menelusuri berbagai situ, terpikir oleh tim SAKO’s Journey situ-situs Nagari Suayan ini menunjukkan bahwa nagari ini terkesan nagari tua. Situsnya penting dipelihara.

Direkomendasikan melalui walinagari Suayan ke Bupati 50 Kota, situs-situs Suaya ini segera dilihat dan ditetapkan sebagai benda-benda cagar budaya dan selanjutnya patut mendapat penanganan Dinas yang membidangi kebudayaan di tingkat kabupaten serta selanjutnya dilola dan dilindungi oleh Badan Cagar Budaya Sumatera Barat dan Riau.

Kalau tidak segera dilindungi, situs ini akan terancam lenyap. Indiskasinya terdapat fakta, mejan versi menhir di Suayan ini sudah ada yang tercabut dan rebah bergeser dari tempat semula. Ada juga fakta dirusak menjadikannya fungsi batu asahan untuk mengasah alat perkakas pertanian.

Demikian pula lesung batu sudah bergeletakan tidak terletak lagi pada lokasi semula. Masyarakat tidak dapat dipersalahkan, karena memang mereka tidak tahu fungsi situs ini sebagai bagian kekayaan nagari mereka dan kalau dilola dengan baik dapat menjadi investasi ekonomi kreatif karena akan dikunjungi sejarawan dan wisatawan. Ironis! Memang.

Bagikan: