Tabedo – Bagian 7
Oleh: Phillar Mamara
Pukul sembilan kurang lima belas menit Vitlan muncul.
“Assalamu’alaikum,” sapanya.
“Wa’alaikum salam,” jawab Mak.
“Dari mana saja Waang, lihat siapa tuh (sambil menunjuk ketiga gadis) sudah dari sore tadi menunggu Waang,” kata Mak.
Vitlan menujukan pandangannya ke ketiga gadis itu dan seketika darahnya berdegup kencang begitu ia beradu pandang dengan Icha. Beberapa saat Vitlan terpaku di tempat ia berdiri,
“Hei, kok bingung saja, sana temui mereka,” sergah Mak sembari menepuk bahu Vitlan.
Ia tersentak, dan mencoba tersenyum seraya berjalan ke meja di mana ketiga gadis itu duduk. Icha balas tersenyum. Vitlan menyalami satu persatu dari mereka, dan duduk di kursi kosong di depan Icha.
“Sudah lama,” sapa Vitlan kepada ketiga gadis itu.
“Sudah dari sore, Bang,” jawab Cicik.
Sambil melirik jam tangannya,
“Kalian sudah makan?” tanya Vitlan.
“Belum, tadi Mak suruh makan, mereka tidak mau. Katanya nanti saja sama-sama denganmu,” potong Mak.
“Kalau begitu kita makan nasi goreng saja ya! biar Abang bikinkan dulu,” timpal Vitlan seraya berjalan ke steling.
Tangan Vitlan bergerak mengambil satu persatu bumbu-bumbu yang diperlukan untuk membuat nasi goreng. Minyak dalam penggorengan telah panas, satu persatu telor diambil dan dengan sebelah tangan ia tetakkan di bibir kuali, kemudian dijatuhkan ke dalam minyak panas , diberi sedikit garam halus, kemudian diangkat. 4 buah telor mata sapi sudah siap di goreng. Selanjutnya ricisan bawang dimasukkan ke dalam kuali. Setelah gorengan mengeluarkan aroma bawang goreng, bumbu lain satu persatu ia masukan. Setelah merasa pas, nasi dimasukkan.
Tangan Vitlan bergerak dengan lincah bagaikan gerakan tari serampang dua belas di dalam kuali. Tidak lebih dari sepuluh menit makanan telah siap untuk dihidangkan. Dengan sekali angkat ke empat piring nasi goreng tersebut segera terhidang di meja makan.
“Silakan,” ajak Vitlan, seraya duduk.
“Ayok, Buk, mari makan,” ajak ketiga gadis pada Mak.
“Silakan Nak,” balas Mak.
Berempat mereka makan, dan terlihat Icha makan dengan lahapnya sampai keringat keluar dari wajahnya. Berkali-kali Icha melap wajahnya dengan sapu tangan. Sekali-sekali ia melirik ke depannya dan mereka beradu pandang, tersenyum kemudian sama-sama tertunduk. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dada keduanya.
”Masakan bang Vitlan enak ya,” Cicik memecah keheningan.
“Iya enak sekali,” timpal Icha.
“Enak apa enak?” goda Raudah, sambil mengerlingkan mata.
“Memang enak kok,” jawab Icha.
Dipuji demikian Vitlan hanya senyum.
“Benar kok Bang, buktinya nih habis semua”, sambung Raudah.
“Ia Bang, Icha biasanya makan cuma sepiring kecil. Tapi barusan sepiring besar, habis,” sambung Icha.
“Yang masaknya siapa?” timpal Cicik genit.
Wajah Icha tambah merah. Tulang kering Cicik ditendangnya. Tapi Cicik sudah lebih dulu mengalihkan kakinya,
“Eeeh tak kena,” ejek Cicik setengah berbisik.
Vitlan hanya senyum memandangi tingkah ketiga gadis itu.
Tangan Icha mulai mengumpulkan piring bekas makan, tapi,
“Biar nanti saja,” cegah Vitlan.
“Tak apa-apalah bang, biar tak semak kelihatan mejanya,” tampik Icha sembari tangannya terus bergerak mengumpulkan piring di atas meja, lalu mengangkatnya ke tempat cuci piring.
“Biar nanti saja dicuci, Nak,” cegah Mak ketika melihat Icha akan mencuci piring-piring bekas makan mereka.
“Tak apalah Buk,” balas Icha.
Mak mendatanginya.
“Sudah kamu duduk saja,” sambung Mak, sambil menggiring Icha kembali ke tempat semula. Icha duduk kembali. Mak kembali ke tempat duduknya semula.
Vitlan menyalakan rokok. Asap mengepul keluar dari rongga mulutnya, bergulung-gulung, berputar-putar naik ke udara, sebagaimana pikirannya saat itu, yang juga bergulung-gulung, tidak menentu sebagaimana kepulan asap rokonya di udara. Ia tidak tahu apa yang akan diperka-takannya. Sedikit pun ia tidak menyangka akan kedatangan ketiga gadis itu. Vitlan menyulut lagi rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke udara, berulang dan berulang, sampai…
“Bang Alan, Abang kok tak mau datang lagi ke rumah,” Cicik memecah keheningan.
“O ya, belum sempat,” jawab Vitlan gugup.
“Belum sempat, atau tidak sempat,” balas Cicik menyelidik.
“Ndak ah, cuma belum sempat saja. Banyak kerjaan,” jawab Vitlan, sekenanya.
“Ibuk Abang bilang, Abang memang tidak mau datang ke rumah cewek, kenapa Bang ?” desak Cicik.
“Ndak ah, Mak abang itu mengada-ada sajanya itu,” tampik Vitlan sembari melirik pada Mak.
“Kenyataannya memang begitu kan,” sela Cicik.
“Ndak ndak ndak, ndak begitu kok. Benar, abang lagi banyak kerjaan,” bela Vitlan gelagapan.
“Buktinya Abang tak mau datang ke rumah kami, padahal ada yang nunggu lho,” sambung Cicik sembari melirik Icha.
bersambung
