TABEDO – Bagian 26
Oleh: Phillar Mamara
”Assalamu’alaikum, Buk,” sapa Vitlan pada mak Tuo, sembari mengulurkan tangan untuk bersalam-an.
”Alaikum salam, silakan duduk, Nak,” kata mak Tuo, menyambut uluran tangan Vitlan.
Vitlan duduk di kursi yang terdapat di beranda rumah tersebut. Aswan naik membawa koper dan keranjang, dan meletakkannya di dekat pintu ke ruang dalam.
”Minta ijin Buk,” kata Aswan sambil melangkah menuruni tangga, kembali ke becaknya, kemudian berlalu.
Cicik masuk ke dalam.
”Cha, Cha, Icha!” katanya, melongokan muka, ke sana sini, mencari-cari Icha.
”Icha di dapur Cik,” kata mak Tuo, sembari memindahkan keranjang yang dibawa Cicik tadi ke ruang dalam.
”Chaaa,” teriak Cicik begitu melihat Icha.
”Ciciiik,” balas Icha bangkit mengejar Cicik. Keduanya berpelukan.
”Senangnya kau datang, Cik,” sapa Icha, meluapkan kegembiraannya.
”Aku, juga. Dah lama kita tidak bertemu, ya?” sambil tetap berpelukan.
”Cha, aku bawakan sesuatu untukmu,” kata Cicik pelan di telinga Icha.
Icha melepaskan pelukannya, dan menatap Cicik penuh tanda tanya.
”kau bawa apa?” tanya Icha ingin tahu.
”Ayo kita ke depan!” kata Cicik sambil menarik lengan Icha.
Icha menurut, dan sampai di depan pintu beranda.
”Lihat!, siapa yang datang itu,” kata Cicik.
Icha terkesiap, diam dan terpaku di tempat ia berdiri, begitu tahu siapa yang datang dan duduk di kursi beranda. Vitlan berpaling dan matanya bertatapan dengan mata Icha. Icha terpana, dadanya bergetar hebat. Vitlan melangkah mendekat.
”Assalamu’alaikum Icha,” sapa Vitlan.
Tidak ada jawaban. Icha terpukau, tak mampu menahan gejolak perasaannya.
Vitlan, orang yang selama ini dirindukannya, tak disangka-sangka hadir di depan matanya. Vitlan mencoba memegang kedua bahunya, tiba-tiba Icha, terkulai, jatuh ke lantai, pingsan.
”Astaghfirullah,” ucap Vitlan, spontan.
”Astaga, kenapa Cha?” timpal Cicik.
Vitlan bingung, Cicik gelagapan. Ibu Icha yang dipanggil mak Tuo oleh Cicik, datang mendekat.
”Masya Allah Naaak, kenapa ini?” katanya cemas, sembari memeluk kepala Icha di pangkuannya.
”Tiba-tiba pingsan mak Tuo,” kata Cicik.
”Tolong Nak, diangkat ke sofa itu saja,” pinta mak Tuo.
Perlahan Vitlan mengangkat tubuh Icha dan membopongnya ke sofa. Ibu Icha mengambil minyak kayu putih dari lemari yang ada di ruang tengah tersebut, kemudian meneteskannya beberapa tetes ke ujung selendangnya dan selanjutnya mendekatkannya ke hidung Icha. Beberapa saat kemudian Icha mulai tampak siuman. Perlahan ia membuka mata dan di waktu berikutnya,
”Bang, Bang, Bang Alan,” igaunya pelan, memanggil nama Vitlan.
Ragu, Vitlan mendekat, ia jongkok di dekat kepala Icha.
”Bang, bang Alan,” sapa Icha perlahan sambil menatap mata Vitlan.
”Ya, Abang di sini,” jawab Vitlan.
Icha berusaha mengangkat tangan dan mengulurkannya ke hadapan Vitlan, ia menggenggam tangan itu. Icha berusaha untuk bangkit. Vitlan menuntunnya. Perlahan Icha duduk, dengan tetap menggenggam tangan Vitlan. Vitlan duduk di sampingnya.
”Cik, tolong bikinkan teh manis panaslah!” pinta Vitlan pada Cicik.
”Ya Bang,” jawab Cicik, sambil berlalu.
Ibu Icha mengikuti Cicik ke dapur. Sambil menuangkan air dari termos ke cangkir,
”Siapa sebenarnya, Vitlan itu, Cik, apa hubungannya dengan Icha?” tanyanya pada Cicik.
”Bang Vitlan itu pacarnya Icha, mak Tuo. Icha sangat mencintainya,” kata Cicik.
”Sudah lama mereka kenal,” selidik mak Tuo.
”Sudah lama juga, mak Tuo. kira-kira setengah tahunlah,” jelas, Cicik.
”Ooo. Apa karena itu, Icha, sampai pingsan tadi,” selidik ibu Icha.
”Iyalah, mak Tuo. Icha kan tidak sangka sama sekali, kalau bang Vitlan itu, datang ke sini. Jadinya, ia sock sekali, begitu melihat bang Vitlan, ada di depannya,” lanjut Cicik.
Ibu Icha mengguit Cicik, kembali ke ruang tengah dengan secangkir teh manis panas, lalu meletakkannya di atas meja. Vitlan menyentuh bibir cangkir teh dengan punggung jari tangannya.
”Panas kali Cik, minta piring kecillah,” pintanya.
Cicik kembali ke dapur mengambil piring kecil yang diminta Vitlan.
”Ni Bang,” katanya, sembari menyerahkan piring kecil itu, kepada Vitlan.
Vitlan menuangkan teh manis ke piring kecil, menunggu sebentar, kemudian setelah terasa tidak begitu panas, ia menuntunkannya ke mulut Icha. Icha meminumnya beberapa teguk, kemudian memberi isyarat dengan tangannya, sebagai tanda sudah cukup.
”Sudah Bang,” katanya pelan.
Vitlan meletakkan kembali piring tersebut ke atas meja. Wajah Icha terlihat lebih segar. Ia melirik ibunya, kemudian tunduk, diam. Suasana menjadi hening beberapa saat. Vitlan melirik jam tangannya.
”Kamar mandi di mana Buk?, belum shalat,” tanya Vitlan.
bersambung