TABEDO – Bagian 26
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

”Assalamu’alaikum, Buk,” sapa Vitlan pada mak Tuo, sembari mengulurkan tangan untuk bersalam-an.
”Alaikum salam, silakan duduk, Nak,” kata mak Tuo, menyambut uluran tangan Vitlan.

Vitlan duduk di kursi yang terdapat di beranda rumah tersebut. Aswan naik membawa koper dan keranjang, dan meletakkannya di dekat pintu ke ruang dalam.

”Minta ijin Buk,” kata Aswan sambil melangkah menuruni tangga, kembali ke becaknya, kemudian berlalu.

Cicik masuk ke dalam.

”Cha, Cha, Icha!” katanya, melongokan muka, ke sana sini, mencari-cari Icha.
”Icha di dapur Cik,” kata mak Tuo, sembari memindahkan keranjang yang dibawa Cicik tadi ke ruang dalam.
”Chaaa,” teriak Cicik begitu melihat Icha.
”Ciciiik,” balas Icha bangkit mengejar Cicik. Keduanya berpelukan.
”Senangnya kau datang, Cik,” sapa Icha, meluapkan kegembiraannya.
”Aku, juga. Dah lama kita tidak bertemu, ya?” sambil tetap berpelukan.
”Cha, aku bawakan sesuatu untukmu,” kata Cicik pelan di telinga Icha.

Icha melepaskan pelukannya, dan menatap Cicik penuh tanda tanya.

”kau bawa apa?” tanya Icha ingin tahu.
”Ayo kita ke depan!” kata Cicik sambil menarik lengan Icha.

Icha menurut, dan sampai di depan pintu beranda.

”Lihat!, siapa yang datang itu,” kata Cicik.

Icha terkesiap, diam dan terpaku di tempat ia berdiri, begitu tahu siapa yang datang dan duduk di kursi beranda. Vitlan berpaling dan matanya bertatapan dengan mata Icha. Icha terpana, dadanya bergetar hebat. Vitlan melangkah mendekat.

”Assalamu’alaikum Icha,” sapa Vitlan.
Tidak ada jawaban. Icha terpukau, tak mampu menahan gejolak perasaannya.

Vitlan, orang yang selama ini dirindukannya, tak disangka-sangka hadir di depan matanya. Vitlan mencoba memegang kedua bahunya, tiba-tiba Icha, terkulai, jatuh ke lantai, pingsan.


”Astaghfirullah,” ucap Vitlan, spontan.
”Astaga, kenapa Cha?” timpal Cicik.
Vitlan bingung, Cicik gelagapan. Ibu Icha yang dipanggil mak Tuo oleh Cicik, datang mendekat.
”Masya Allah Naaak, kenapa ini?” katanya cemas, sembari memeluk kepala Icha di pangkuannya.
”Tiba-tiba pingsan mak Tuo,” kata Cicik.
”Tolong Nak, diangkat ke sofa itu saja,” pinta mak Tuo.

Perlahan Vitlan mengangkat tubuh Icha dan membopongnya ke sofa. Ibu Icha mengambil minyak kayu putih dari lemari yang ada di ruang tengah tersebut, kemudian meneteskannya beberapa tetes ke ujung selendangnya dan selanjutnya mendekatkannya ke hidung Icha. Beberapa saat kemudian Icha mulai tampak siuman. Perlahan ia membuka mata dan di waktu berikutnya,

”Bang, Bang, Bang Alan,” igaunya pelan, memanggil nama Vitlan.
Ragu, Vitlan mendekat, ia jongkok di dekat kepala Icha.
”Bang, bang Alan,” sapa Icha perlahan sambil menatap mata Vitlan.
”Ya, Abang di sini,” jawab Vitlan.

Icha berusaha mengangkat tangan dan mengulurkannya ke hadapan Vitlan, ia menggenggam tangan itu. Icha berusaha untuk bangkit. Vitlan menuntunnya. Perlahan Icha duduk, dengan tetap menggenggam tangan Vitlan. Vitlan duduk di sampingnya.

”Cik, tolong bikinkan teh manis panaslah!” pinta Vitlan pada Cicik.
”Ya Bang,” jawab Cicik, sambil berlalu.

Ibu Icha mengikuti Cicik ke dapur. Sambil menuangkan air dari termos ke cangkir,
”Siapa sebenarnya, Vitlan itu, Cik, apa hubungannya dengan Icha?” tanyanya pada Cicik.
”Bang Vitlan itu pacarnya Icha, mak Tuo. Icha sangat mencintainya,” kata Cicik.
”Sudah lama mereka kenal,” selidik mak Tuo.
”Sudah lama juga, mak Tuo. kira-kira setengah tahunlah,” jelas, Cicik.
”Ooo. Apa karena itu, Icha, sampai pingsan tadi,” selidik ibu Icha.
”Iyalah, mak Tuo. Icha kan tidak sangka sama sekali, kalau bang Vitlan itu, datang ke sini. Jadinya, ia sock sekali, begitu melihat bang Vitlan, ada di depannya,” lanjut Cicik.

Ibu Icha mengguit Cicik, kembali ke ruang tengah dengan secangkir teh manis panas, lalu meletakkannya di atas meja. Vitlan menyentuh bibir cangkir teh dengan punggung jari tangannya.

”Panas kali Cik, minta piring kecillah,” pintanya.

Cicik kembali ke dapur mengambil piring kecil yang diminta Vitlan.
”Ni Bang,” katanya, sembari menyerahkan piring kecil itu, kepada Vitlan.
Vitlan menuangkan teh manis ke piring kecil, menunggu sebentar, kemudian setelah terasa tidak begitu panas, ia menuntunkannya ke mulut Icha. Icha meminumnya beberapa teguk, kemudian memberi isyarat dengan tangannya, sebagai tanda sudah cukup.
”Sudah Bang,” katanya pelan.

Vitlan meletakkan kembali piring tersebut ke atas meja. Wajah Icha terlihat lebih segar. Ia melirik ibunya, kemudian tunduk, diam. Suasana menjadi hening beberapa saat. Vitlan melirik jam tangannya.
”Kamar mandi di mana Buk?, belum shalat,” tanya Vitlan.

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (23)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

TERTIB MAKAN DAN MINUM

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ (المائدة:٨٨)
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS.5: 88).

فَكُلُواْ مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ (الأنعام: ۱۱۸)
Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya (QS. 6: 118)

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (المائدة:٩٦)
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan (QS.5: 96)


الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (الأعراف: ١٥٧)
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka, Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. 7: 157)


Makan dan Minum Secukupnya

Hidup sederhana merupakan perilaku hidup yang dicontohkan dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Sederhana di seluruh sisi kehidupan, seperti dalam berpakaian, makan dan minum, peralatan rumah tangga, perhiasan, asesori atau hiasan rumah, tempat tinggal, dan kelengkapan hidup lainnya.

Sederhana dalam hal makan dan minum adalah makan dan minum secukupnya, tidak melampaui batas kebutuhan tubuh. Makan dan minum agar tubuh memiliki enerji guna melaksanakan kegiatan sehari-hari dan beribadah dengan baik, tidak berlebih-lebihan.

عن أبي أمامة إياس بن ثعلبة الأنصاري ألحارثيّ رضي الله عنه قال: ذَكَرَأَصْحَابُ رَسُولُ اللهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا عِنْدَهُ الدُّنْيَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ فَسْمَعُوْنَ أَلاَ فَسْمَعُوْنَ؟ إِنَّ البَنَاذَةَ مِنَ الإِيْمَانِ يَعْنِي التَّقَحُّلَ (رواه أبوداود)
Abu Umamah Iyas bin Tsa’labah Al-Anshari r.a. berkata: Pada suatu hari para sahabat menceritakan kemewahan dunia dalam majelis Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW bersabda: Tidakkah kamu mendengar, tidakkah kamu mendengar, sesungguhnya kesederhanaan itu bagian dari iman, kesederhanaan itu tanda iman.

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (الأعراف: ٣١)
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS. 7: 31).

Makan dan minum yang baik untuk kebutuhan tubuh adalah makan dan minum yang memenuhi antara lain:

Memenuhi Kecukupan Gizi

Yang dimaksud dengan kecukupan gizi adalah bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi tubuh itu haruslah memenuhi unsur karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral. Artinya setiap kali makan dan minum semua unsur gizi tersebut ada di dalamnya.

Gizi Berimbang

Gizi berimbang adalah bahwa adanya perimbangan antara satu unsur gizi dengan unsur gizi lainnya yang masuk ke dalam tubuh setiap kali makan dan minum. Artinya terdapat keseimbangan antara unsur karbohidrat dengan lemak, protein, vitamin dan mineral yang masuk ke dalam tubuh di setiap makan dan minum.

Beraneka Ragam

Yang dimaksud dengan beraneka ragam itu adalah gizi yang masuk ke dalam tubuh itu hendaknya berasal dari berbagai jenis bahan pangan. Artinya seseorang dianjurkan untuk makan dan minum dari bahan pangan yang berbeda antara saat makan yang satu dengan makan yang lainnya, misalnya: siang makan nasi malamnya makan kentang, atau ubi, jagung dan lainnya. Jadi tidak melulu dari nasi saja. Begitu juga guna mendapatkan protein tidak melulu berasal dari hewan, seperti: daging, ikan, ayam, akan tetapi dapat juga diperoleh dari bahan yang bersifat nabati, misalnya: kedelai dan produk kedele seperti; tempe, tahu, telur dan kacang-kacangan.

Bila diukur dengan jumlah, makan dan minum secukupnya itu, Rasulullah SAW telah memberikan ukuran maksimal makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut manusia adalah sepertiga untuk makanan dan sepertiga untuk minuman. Jumlah ini adalah jumlah maksimal yang boleh masuk ke dalam perut setiap kali seseorang makan.


عن أبي كريمة المقداد بن معديكرب رضي الله عنه قال: سَمِعْتُ رَسُولُ اللهُُُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَامَلأََ اۤدَمِيٌّ وِعَادِ شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسْبِ أَبْنِ اۤدَمَ أُكُلاَتٌ يُقْمِنُ صُلْبَهُ، فَـإِنْ كَانَ لاَمَحَالَةَ، فَثُلُثٌ لِطَعَمِهِ، وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفْسِهِ (رواه التّرمذيّ)
Abu Kuraimah Almiqdad bin Ma’di Karib r.a., berkata; Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Tiadalah mengisi penuh, seorang anak Adam pada suatu wadah yang lebih berbahaya daripada mengisi penuh perutnya sendiri.

Cukup bagi anak Adam beberapa suap makanan yang dapat menegakkan punggungnya. Dan jika harus lebih dari itu, maka hendaknya di bagi tiga; sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiganya untuk nafas.

Adalah sebuah kekeliruan bila ada orang yang beranggapan bahwa sederhana dalam makan dan minum itu diartikan sebagai makan dan minum ala kadarnya, tanpa memperhatikan kecukupan dan keseimbangan nilai gizi. Karena tanpa kecukupan dan keseimbangan gizi tersebut, seseorang tidak akan dapat melaksanakan kegiatan sehari-harinya dengan baik. Kekurangan gizi akan membuat seseorang lemah dan mudah terserang berbagai penyakit.

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 25
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Beberapa stasiun telah dilewati, dan disetiap stasiun tersebut kereta api berhenti menaikan dan menurunkan penumpang. Kereta berhenti lagi. Kali ini banyak sekali pedagang yang naik ke atas gerbong menjajakan berbagai penganan.

Ada kacang rebus, jagung rebus, kacang tojin, kripik udang, kripik singkong/ubi rambat, kripik jengkol, sate kerang, sate kentang, sate jengkol, lemang-tapai, pecal, roti basah dan roti kering, buah-buahan, seperti; rambutan, jambu air, jambu bol, jambu perawas, nangka, semangka, nanas, pepaya dan banyak lagi yang lainnya. Ada juga yang menjajakan nasi bungkus.

Suasana dalam gerbong menjadi riuh oleh suara mereka. Mereka berjalan bolak balik dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Hal ini mereka lakukan berulang-ulang. Pluit petugas berbunyi, tanda kereta api akan melanjutkan perjalanannya.

Sebahagian dari pedagang asongan tersebut bersegera turun. Tetapi sebahagian lainnya tetap berada di atas gerbong mengikuti lajunya kereta api.

Mereka berjalan lagi dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain untuk menjajakan barang dagangan mereka, hingga Kereta Api, berhenti di stasiun berikutnya.


Waktu telah menunjukkan tengah hari. Cicik mengeluarkan rantang, dua buah piring kaleng dan beberapa buah sendok dari keranjang. Sebuah piring dia berikan kepada Vitlan dan yang satunya lagi diletakkan di pangkuannya. Rantang dikeluarkan dari jinjingannya satu persatu. Ada kalio hati, ada gulai ikan asam pedas dan tumis buncis dicampur wortel.

”Ayo Bang, kita makan,” ajak Cicik.

Tanpa menjawab, Vitlan langsung mengambil nasi, kemudian mengambil gulai ikan asam pedas dan tumisan.

”Wah, enak kali masakannya,” komentarnya sambil terus mengunyah.
”Tolong, Cik,” kata Vitlan kepada Cicik sambil menunjuk rantang yang berisi nasi.

Cicik menyerahkan rantang yang diminta Vitlan. Ia mengisi piringnya dengan nasi tambuh (hampir sama banyaknya dengan dengan piring pertama) dan mengambil kalio hati dua potong.

Vitlan menikmati betul makan siangnya hari itu. Keringat bercucuran dari kening sampai ke tengkuknya. Mulutnya komat-kamit karena kepedasan. Cicik mengeluarkan termos air, menuangkan isinya ke cangkir yang sekaligus berfungsi sebagai tutup termos tersebut, kemudian memberikannya kepada Vitlan.

”Pedas ya, Bang?” tanya Cicik, melihat Vitlan terengah-engah kepedasan.
”Ssss haa, pedas sekali,” jawab Vitlan sembari melap keringat di wajah dan tengkuknya.
”Tapi orang Padang, kok tidak tahan pedas,” goda Cicik.
”Abang makan tak bisa kalau tak pakai cabe, Cik. Tapi kalau cabenya pedas kali, juga ndak tahan,” bela Vitlan.
”Eeehk,” bunyi sendawa yang keluar dari mulut Vitlan.

Selesai makan, Vitlan mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celananya, mengambil sebatang lalu menghisapnya. Sementara Cicik telah pula selesai makan. Dia lalu mengemasi perlengkapan makan ke dalam keranjang.

”Ntar ya Cik, Abang jalan-jalan ke luar sebentar, cari angin,” pinta Vitlan kepada Cicik.
”Ya, Bang,” jawab Cicik.

Vitlan berjalan keluar gerbong. Di sana, ia duduk di lantai dan menjulurkan kakinya ke tangga kereta, menghadap ke alam lepas. Tangan kanannya memegang rokok, sementara tangan kirinya memegang besi pegangan Kereta. Udara berhembus sedikit kencang mengibas-ngibaskan rambut gondrongnya.

Setelah puas berada di sana, ia kembali ke tempat duduknya. Tak lama berselang kantuk pun mulai menyerangnya. Beberapa kali ia menguap dan akhirnya iapun tertidur pulas.

”Bang, bangun Bang, kita sudah sampai,” kata Cicik sambil menggoyang-goyang bahu Vitlan.

Vitlan terbangun.

”Sudah sampai kita ya, Cik,” tanya Vitlan sambil mengusap-usap matanya.
”Sudah, Bang,” jawab Cicik.

Keluar dari peron, Cicik mendongakkan wajahnya ke sana ke mari, mencari-cari sesuatu. Cicik berjalan pelan di depan stasiun. Beberapa abang becak dan tukang ojek, menawarkan jasa mereka. Cicik memberi isyarat dengan tangannya, sebagai penolakan. Kemudian,

”Bang, Bang Aswan, Bang Aswan,” teriaknya sembari menggamit-gamitkan tangan ke arah seseorang.
”Hai, Cik,” jawab yang dipanggil Aswan tersebut sembari mendekat ke tempat Cicik berdiri.
”Bang, antar kami pulang, Bang,” kata Cicik.
”Ya, ntar Abang ambil becaknya ya,” jawab Aswan, seraya berlari untuk mengambil becaknya. Kemudian mendekat.
”Ada barangnya Cik,” tanya Aswan.
”Ada tuh , koper satu. nih kenalkan, Bang Vitlan,” kata Cicik kepada Aswan sambil memegang lengan Vitlan.
”Vitlan, biasa dipanggil, Alan,” kata Vitlan mengenalkan diri kepada Aswan.
”Aswan,” balas Aswan menyambut uluran tangan Vitlan. Mereka bersalaman.

Becak mesin melaju ke arah Bagan Asahan. Rambut Vitlan dan Cicik melambai-lambai ditiup angin. Tubuh mereka berguncang-guncang akibat kondisi jalan yang tidak rata. Beberapa waktu kemudian becak berhenti di depan sebuah rumah panggung bergaya melayu.

Vitlan turun dan berdiri sambil mengamati keadaan sekeliling. Cicik turun dan langsung menuju tangga beranda depan rumah, lalu naik,

”Assalamu’alaikum,” katanya sembari mengetuk pintu.
”Alaikum salam,” terdengar suara mendekat dari dalam rumah. Pintu terbuka.
”Assalamu’alaikum Mak Tuo,” sapa Cicik, mengulangi salam, sembari memeluk mak tuonya.
”Eee Cicik, ’alaikum salam, sendiri saja nak?” tanya mak tuo.
”Sama teman, Bang Vitlan Mak tuo. Bang, sini!” kata Cicik sambil menggamit Vitlan yang berdiri di halaman.
Vitlan melangkah menuju beranda.
Sementara itu,
”Vitlan itu siapa Cik?” tanya mak tuo berbisik penuh selidik, sembari memperhatikan Vitlan dari kepala, hingga kaki.
”Temannya Icha mak Tuo,” jawab Cicik, balas berbisik.
”Ooo,” kata mak Tuo dengan pandangan tidak lepas dari Vitlan.
Sampai di depan tangga ia tanggalkan sepatunya.
”Tidak usah dibuka Bang,” kata Cicik.
Vitlan tidak jadi membuka sepatu, lalu naik ke beranda. Dengan sedikit membungkuk,

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (22)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

TERTIB MAKAN DAN MINUM

Makan dan Minum Sebagai Kebutuhan Pokok

Sebagai makhluk hidup, manusia pasti membutuhkan makan dan minum. Makanan dan minuman dibutuhkan sebagai sumber energi (tenaga), sumber bahan pembangun sel dan jaringan tubuh serta untuk menggantikan sel-sel tubuh yang rusak atau tua, dan pengatur proses yang terjadi di dalam tubuh serta sebagai pelindung tubuh terhadap berbagai penyakit.

Pada dasarnya, alam telah menyediakan berbagai bahan makan dan minuman yang dapat dijadikan sebagai bahan pangan bagi manusia, baik yang terdapat di daratan dan di lautan maupun yang terbang di udara. Untuk kamashlahatan bagi manusia, Islam telah menga-tur sedemikian rupa, bagaimana cara mengkomsumsi bahan makanan dan minuman tersebut, mulai dari cara mendapatkan, mengolah hingga cara (etika) memakan dan meminumnya, dalam serangkaian aturan (tata laksana), sebagai berikut:

  1. Makan Makanan Halal Dan Bergizi

Guna menjamin terpeliharanya kondisi tubuh agar tetap sehat dan bugar, maka tubuh itu membutuhkan asupan makanan dan minuman yang berkualitas, di mana terpenuhinya semua syarat ketercukupan gizi yang dibutuhkan tubuh untuk dapat hidup dan beraktifitas.


فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَى طَعَامِهِ (عبس: ٢٤)
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya (QS. 80: 24)
Dalam pandangan Islam, makanan dan minuman yang berkualitas itu harus memenuhi syarat:

Halal
Halal merupakan persyaratan mutlak yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya atas setiap jenis makanan dan minuman yang akan dikonsumsi oleh manusia.

Persyaratan/kriteria pokok dalam penetapan halal itu meliputi, antara lain:

° Halal benda atau barangnya.

Pada hakikatnya semua jenis benda atau barang yang menjadi bahan makanan dan minuman itu boleh dikonsumsi, kecuali yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, antara lain: Babi, anjing, keledai peliharaan, binatang yang makan kotoran, binatang yang menjijikkan, binatang buas, binatang yang memiliki kuku tajam/cakar, darah dan bangkai.

° Halal cara mendapatkannya

Di samping bahan/barang bahan pangannya halal, kehalalan bahan/barang ter-sebut juga harus didapatkan dengan cara yang halal, seperti; dengan cara membeli, membudidayakannya dan lain-lain. Bukan barang curian, rampokan dan lain-lain.

° Halal cara mengolahnya

Hewan yang digunakan sebagai bahan pangan haruslah disembelih atas nama Allah dengan membaca Basmalah. Matinya tidak dengan cara dipukul, dilempar dengan benda tumpul, atau ditusuk.

Untuk bahan yang berasal dari biji-bijian, umbi-umbian dan buah-buahan dapat diolah sedemikian rupa, dan tidak boleh diolah menjadi minuman yang memabukkan, seperti: anggur yang diolah menjadi arak.

° Menggunakan bejana bebas najis

Bejana/wadah yang digunakan untuk memasak bahan pangan haruslah terbebas atau bersih dari najis. Bila bejana/wadah tersebut terkena najis, maka harus terlebih dahulu dicuci dengan tanah dan air.

Thayyib (Baik dan Bergizi)
Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia, kata Thayyib diberikan arti; baik, bagus, lezat, enak, dan manis. Dari terjemahan kata ini secara sederhana dapat dikatakan bahwa kata thayyib ini lebih berkonotasi kepada sesuatu yang berkaitan dengan ma-kanan dan minuman.

Kata ‘baik’ dan ‘bagus’ bisa menunjukkan keadaan atau kondisi bahan makanan yang layak konsumsi, baik dilihat dari pisik maupun dari kualitasnya. Mengundang selera tatkala melihatnya, sedap aromanya, indah warna dan menawan bentuknya. Sementara kata lezat dan manis, menunjukkan cita rasanya.

Jadi, kata ‘thayyib’ pada persyaratan bahan makanan dan minuman dapat diartikan bahwa; bahan pangan yang mesti dikonsumsi oleh manusia itu haruslah bahan yang bagus rupanya, indah warnanya, sedap baunya, bergizi, serta lezat dan manis citarasanya.

يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ (البقرة : ١٦٨)
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. 2: !68)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (البقرة : ۱۷۲)
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu mengabdi (QS.2: 172)

Semoga bermanfaat

Bagikan:
TABEDO – Bagian 24
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Selesai makan, Vitlan merapikan meja, kursi, menyapu lantai dan mencuci piring, sendok dan gelas yang kotor. Setelah itu membaca koran edisi hari itu yang belum sempat dibacanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu tengah malam. Jalanan sudah mulai sepi, tidak banyak lagi kendaraan yang lewat. Vitlan menutup kedai, dan beranjak ke kamar mandi untuk berwudhuk dan setelah itu naik ke lantai dua.

Sesampai di kamar, Vitlan shalat Isya. Setelah itu berganti pakaian dengan piyama. Mengambil rokok sebatang lalu menghisapnya sembari membaringkan badan di atas tempat tidur. Rokok di tangannya baru habis diisap kira-kira separoh, ia telah tertidur, dengan sisa batang rokok yang sudah tidak menyala lagi masih terselip di sela jari telunjuk dan jari tengahnya.
!!!

Pagi itu Vitlan bangun agak terlambat. Ia baru bangun sekitar pukul setengah enam. Tidak seperti biasanya, pagi ini, ia langsung mandi. Selesai mandi, kembali ke atas, shalat dan bersalin. Memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas, kemudian turun lagi, sarapan ala kadarnya dari sisa makanan yang tidak habis terjual.

Pukul setengah tujuh Vitlan keluar rumah dengan terlebih dahulu meninggalkan pesan untuk Mak di secarik kertas dan diletakkan di atas meja di depan steling. sampai di depan, ia memanggil becak mesin yang biasa parkir di sepanjang jalan dekat simpang, di depan rumahnya.

”Bang, Bang Parman, sini,” katanya memanggil tukang becak mesin yang bernama Parman.
”Ke mana Lan,” tanya bang Parman.
”Amaliun Bang,” jawab Vitlan langsung naik ke becak.
”Mau ke mana kau rupanya, bawa-bawa tas segala,” tanya Parman sambil menghidupkan mesin becaknya.
”Mau ke Tanjung Balai Bang, ada perlu,” jawabnya singkat.
”Ooo…, ada perlu apa kau ke sana Lan?” tanyanya
”Ada keperluan sikit Bang, penting,” jawab Vitlan
”Ooo…, lama Lan?” tanyanya lagi.
”Belum tahu Bang, bisa sehari, bisa seminggu.”
”Naik apa kau ke sana?”
”Naik Kereta Api, Bang,”
”Ke Amaliun ada perlu apa?”
”Mau ke tempat teman dulu, Bang,”
”Bang, pinggir Bang,” kata Vitlan.

Parman menginjak pedal rem dan becak pun berhenti.

”Tunggu ntar ya Bang,” kata Vitlan sambil melompat turun dan setengah berlari membuka pagar dan terus menuju pintu rumah.

”Assalamu’alaikum,” teriak Vitlan.
”Wa’alaikum salam,” kata suara dari dalam rumah dan pintu rumah segera terbuka.
”Masuk dulu Bang,” kata Raudah.
”Ciciknya mana, dah siap?” tanya Vitlan.
”Sudah Bang,” jawab Cicik melongokkan muka dari ruang tengah.
”Nak Vitlan sarapan dulu, Ibuk sudah siapkan nih,” ajak Ibu Cicik begitu melihat Vitlan sudah datang.
”Sudah Buk, Vitlan sudah sarapan tadi di rumah,” bela Vitlan.
”Ndak apa, sarapan saja lagi bersama orang ini,” desak Ibu Cicik.
”Becaknya sudah menunggu Buk,” jawab Vitlan.
”Sudah, Panggil saja sekalian tukang becaknya, sarapan sama-sama,” kata Ibu Cicik sambil melangkah menuju pintu diiringi Vitlan.
”Bang, masuk dulu sini,” kata Ibu Cicik.
”Bang Parman, masuk dulu Bang,” kata Vitlan, sembari mendekat dan menggamit tangannya masuk ke dalam rumah.

Parman menurut saja ke dalam rumah. Mereka sarapan bersama. Selesai sarapan, mereka keluar menuju becak. Vitlan mengangkat koper Cicik.

”Makasih Buk, sarapannya,” kata Parman kepada Ibu Cicik.
”Ya sama-sama,” jawab Ibu Cicik.
”Mari sini kopernya Lan,” pinta Parman sembari memegang koper yang dijinjing Vitlan. Ia melepaskan jinjingannya.
Cicik naik duluan, kemudian Vitlan.

Sementara koper diletakkan di depan kaki mereka.
”Kalau tidak kopernya di belakang saja Lan,” kata Parman lalu berjalan ke sebelah kiri becak.
”Boleh juga Bang, biar kakinya lempang,” jawab Vitlan.

Parman memindahkan koper ke bagian belakang becak. Setelah itu becak mulai berjalan

”Kami pergi ya Buk,” pinta Vitlan dan Cicik berbarengan.
”Ya Nak, hati-hati ya… sampaikan salam Ibu sama Nenek, mak Wo dan, Icha ya…,” balas Ibu Cicik.
”Ya Buk,” jawab Cicik.

Becak mulai melaju menuju stasiun kereta api. Sampai di stasiun, Vitlan langsung menuju loket untuk membeli karcis, tapi Cicik mencegahnya.

”Bang Alan mau ke mana, karcisnya sudah ada Bang, sudah dipesan ibuk tadi malam sama temannya,” kata Cicik.

Vitlan menghentikan langkahnya dan berbalik.

”Oh ya,” katanya.

Sementara itu, Parman menurunkan koper dari becak. Cicik turun dari becak dengan keranjang jinjingnya. Parman membantu mengangkat koper sampai ke peron.

”Makasih Bang,” kata Vitlan kepada Parman sembari menyodorkan uang dua ratus rupiah.
”Ambil saja semua Bang,” kata Vitlan begitu dilihatnya Parman merogoh kantong, mau membe-rikan kembaliannya.
”Makasih Lan,” kata Parman lalu berlalu.

Vitlan dan Cicik naik ke gerbong bisnis dan mencari tempat duduk sesuai nomor karcis yang ada ditangan Cicik. Setelah dapat Vitlan meletakkan koper di sebelah dinding, kemudian meletakkan tas sandangnya di atas koper tersebut. Sementara Cicik memangku keranjang. Tas kecilnya tetap disandangnya.

!!!

Kereta berangkat hampir setengah jam dari jadwal semestinya. Vitlan duduk di sebelah dalam, sementara Cicik duduk di sebelah jendela. Beberapa saat kemudian, Cicik mengeluarkan beberapa buah bon-bon dari tasnya, dan menyodorkannya kepada Vitlan.

”Bang, nih ada bon-bon Bang”, kata Cicik memecah kebisuan.

Vitlan mengambilnya dua dan memakannya.

”Berapa lama kira-kira kita di jalan Cik,” tanya Vitlan membuka obrolan.
”Kira-kira lima sampai enam jam Bang,” jawabnya.
”Lama juga ya?” balas Vitlan
”Ya…, gitulah, Bang. Karena begitu sampai di Tanjung, kita naik erbete lagi ke rumah,” terang Cicik.
”Jadi, rumahnya bukan di Tanjung Balai, Cik?” tanya Vitlan mengerenyitkan keningnya.
”Bukan, Bang. Di Bagan,” jelas Cicik.
”Bagaimana sebenarnya ceritanya, Om Mahidin itu, kok sampai ditahan, Cik?” selidiknya.
”Om Mahidin itu kan menjabat sebagai Kakandep. Jadi kan banyak uang di sana. Waktu diadakan pemeriksaan oleh atasannya dari Kanwil, dari… inspektorat gitulah, dia tidak bisa menjelaskan dana yang telah dikeluarkan. Karenanya dia diperiksa,” jelas Cicik.
”Terus,” desaknya.
”Hasil pemeriksaan itulah yang menyeretnya ke penjara, Bang,” kata cicik.
”Cicik yakin Om itu yang melakukannya,” tanyanya lagi.
”Yaa…, kek mana ya, Bang, dibilang percaya, ya tidak juga. Dibilang tidak percaya, kenyataannya seperti itu. Om itu, sudah ditahan,” jawab Cicik sambil mendesah.
”Kehidupan keluarganya cemmana rupanya,” tanya Vitlan.
”Memang sejak menjabat Kakandep, banyak perubahan dalam kehidupan keluarganya. Om itu sudah punya rumah baru, abang dan kakaknya Icha yang kuliah di USU, masing-masing punya mobil. Cuma Icha saja yang ke mana-mana naik angkutan umum atau diantar oleh supir,” jawabnya.
”Anak Om itu berapa?”
”Anak Om itu ada empat. Yang paling besar bang Syahbuddin, nomor dua, kak Hasnah, dipanggil Butet, terus Icha dan yang paling kecil Saldin,” jelas Cicik.
”Sekarang mereka pada tinggal di mana, Cik?”
”Bang Syahbuddin dan kak Butet, tinggal bersama adik bapaknya di Medan, sementara mak tuo, Icha dan Saldin tinggal bersama nenek.”

bersambung

Bagikan: