Tabedo – Bagian 21
Oleh: Phillar Mamara
”Silakan dicicipi Bang,” kata Raudah.
”Ya, makasih,” jawab Vitlan sembari mengambil tapai goreng yang menjadi kesukaannya.
”Begini Bang, pada awalnya, kami sengaja menutupi kejadian ini. Kami tak ingin aib yang menimpa keluarga kami sampai tersiar ke mana-mana, termasuk kepada Abang. Tapi melihat kondisi mental dan kejiwaan Icha, kami memutuskan untuk memberitahu Abang. Icha itu sangat mencintai Abang. Hatinya sepenuhnya pada Abang. Waktu terakhir berjumpa dengannya, dia sempat menanyakan sama Cicik tentang Abang, apakah dia masih mungkin dapat memiliki Abang dengan kondisi keluarganya seperti sekarang ini. Dia saat ini merasa malu sekali sama Abang,” kata Cicik.
Vitlan menghela nafas dan memejamkan mata, mulutnya berhenti mengunyah, Ia meletakkan potongan sisa tapai goreng di tepi alas cangkir tehnya dan mengangkat cangkir lalu meneguk isinya, kemudian meletakkannya kembali ke tempat semula.
”Tidak Cik, Abang akan ada selamanya untuk Icha. Abang akan lakukan apa saja yang bisa Abang lakukan untuknya,” timpal Vitlan.
”Tolonglah bantu Icha ya … Nak Vitlan. Jemputlah semangatnya, biar dia kembali ceria seperti dulu lagi. Ibu cemas Nak, melihat kondisi Icha sekarang ini,” harap Ibu Cicik.
”Ya Buk, Alan akan menemui Icha sesegera mungkin. Siapa yang akan menemani Vitlan ke sana Buk?” kata Vitlan.
”Kapan Nak Vitlan, kapan Abang mau ke sana,” tanya Ibu Cicik dan Cicik bersamaan.
”Bagaimana kalau besok saja,” jawabnya.
”Kalau begitu biar Cicik saja yang menemani Bang Vitlan,” kata Cicik.
”Ya sudah, Ibu setuju saja. Naik apa kalian besok, Kereta Api apa Taksi,” tanya Ibu Cicik.
”Terserah, mana baiknya saja,” balas Vitlan.
”Baiknya naik Kereta Api saja. Lebih aman dan nyaman. Toh tidak ada yang mesti diburu,” sam-bung Ibu Cicik.
”Itupun jadi,” jawab Vitlan.
Vitlan mengambil potongan sisa tapai goreng dan memakannya, habis. Kemudian mengambil sukun goreng, lalu memakannya.
”Nak Vitlan ndak kuliah besok,” sapa Ibu Cicik, mengalihkan pembicaraan.
”Ndak, Buk. Kebetulan baru selesai mid Buk,” jawab Vitlan menghentikan kunyahnya.
”Orang-orang ini bilang Nak Vitlan pintar masak ya?” tanya Ibu Cicik bercanda, sambil menunjuk Cicik dan Raudah.
”Bisa sikit-sikit Buk,” jawabnya merendah.
”Kapan Ibuk dibikinkan nasi goreng?” goda Ibu Cicik.
”Kapan ya?, … nantilah Buk pulang dari Tanjung,” jawabnya.
”Janji ya?” lanjut Ibu Cicik.
”Ya … Alan Janji Buk, nanti pulang dari Tanjung, Alan akan bikinkan nasi goreng yang paling enak untuk Ibuk,” goda Vitlan.
”Kami tidak dibikinkan, Cuma Ibuk aja,’ rengek Raudah.
”Kalian kan sudah,” kata Vitlan sambil mengerling.
”Mana aci begitu,” protes mereka berdua.
”Ya ya, kalian juga. Semua kebagian. Pokoknya nanti akan Abang bikinkan,” tegas Vitlan.
”Begitu baru adil” kata Raudah sambil mengacungkan jempolnya.
Mereka tertawa kecil, sehingga suasana menjadi hangat. Selanjutnya Vitlan bercerita tentang aktivitas organisasinya yang mengadakan acara Dies.
Waktu telah menunjukkan sembilan lewat seperempat malam. Di luar terdengar bunyi lonceng becak dayung. Pasti bang Giman telah datang untuk menjemputku, gumam Vitlan dalam hati.
”Buk, Alan permisi pulang dulu ya,” pinta Vitlan pada Ibu Cicik.
”Kok buru-buru Nak Alan, gorengnya saja belum habis?” gurau Ibu Cicik.
”Sudah lewat pukul sembilan Buk,” jawab Vitlan sembari berdiri dan beranjak dari kursinya.
”Besok pagi Alan ke sini,” lanjutnya, sembari menyalami Ibu Cicik dan kedua gadis itu.
”Ya Nak, hati-hati ya,” pesan Ibu Cicik.
”Ya Buk, Assalamu’alaikum,” kata Vitlan sambil melangkah ke pintu.
Cicik dan Raudah mengantar Vitlan sampai ke pintu pagar. Ia langsung naik ke becak Bang Giman.
”Yok Bang,” katanya.
bersambung