Tabedo – Bagian 40
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Bu Tina datang membawa baki berisi 3 gelas Teh Manis panas, sebuah mangkok air cuci tangan dan selembar lap tangan. Ia meletakkan ketiga gelas tersebut di hadapan masing-masing.

”Silakan diminum,” tawarnya, sembari membuka tutup botol makanan yang ada di atas meja tamu.

”Jadi, mengenai konsumsi kita selama berada di Paya Kumbuah, sebagiannya akan ditanggung oleh tuan rumah,” kata bu Tina, membuka pembicaraan.

”Yang mana saja, yang mereka tanggulangi?” tanya bu Lela.

”Berita yang didapat dari mereka, adalah: makan malam hari Jumat dan Sabtu, sarapan pagi Sabtu dan Minggu,” jelas bu Tina.

”Makan siang hari Sabtu, Bu?” tanya Vitlan.

”Sabtu siang, kita kan di lapangan, studi tour. jadi makannya kita beli di tempatlah,” jelasnya

”Sementara makan siang hari Jumat dan Minggu, kita beli,” imbuhnya.

”Bagaimana dengan dana yang sudah kita persiapkan, apa kita gunakan untuk beli oleh-oleh?” tanya Vitlan lagi.

”Itulah makanya ibu panggil kamu ke sini, guna membicarakannya.” kata bu Tina.

”Bagaimana, bu Lela. apa pendapat Ibu?” tanya bu Tina kepada sahabatnya.

”Bagaimana bila sebagiannya kita gunakan untuk biaya pembuatan cinderamata, misalnya hiasan dinding atau jam dinding dan sebagainya,” kata bu Lela.

”Haa saya punya usul, bagaimana bila kita buatkan cinderamata juga. Tapi dari Batubara, yang merupakan ciri khas kota kita, misalnya: papan nama kepala dan wakil kepala sekolah atau asbak rokok atau ukiran dari batubara. Bagaimana?” kata Vitlan.

”Saya setuju tu. sebagian lagi, kita serahkan kepada mereka untuk keperluan konsumsi dan makan ringan acara hiburan nanti,” timpal bu Lela.

”Lan, coba kamu hitung, berapa kira-kira biayanya itu? sela bu Tina.

”Jadi apa saja yang mau kita buat, Bu. papan nama kepala dan wakil kepala sekolah, dan asbak rokok? tanya Vitlan.

”Ya. tapi asbak rokoknya kalau bisa yang berukuran agak besar agar bisa diletakkan di meja tamu,” kata bu Tina.

”Baik Buk. nanti saya tanya ke sana dulu. kalau begitu, saya pamit dulu Buk, Assalamu’alaikum,” kata Vitlan kepada kedua gurunya itu.

”Wa’alaikumussalam, ibu tunggu kabarnya secepatnya, ya Lan, lanjut bi Tina.

”Ya Buk,” jawab Vitlan, segara berlalu.

Setelah sholat Ashar, berdua dengan Siswo, Vitlan berkunjung ke rumah salah seorang pejabat PN TBO, yang juga guru di sekolahnya. Kebetulan sekali beliau sedang santai dengan putrinya di ruang tamu.

”Assalamu’alaikum, Pak,” sapa mereka.

”Wa’alaikumussalam, masuk, Lan, Wo. Imbau om Ical  nak. ado kawannyo datang,” menyuruh anaknya.

”Sabananyo kami paralu jo Bapak, ma,” kata Vitlan.

”Ha, paralu apo tu?” jawab pak Syafwan (begitu gurunya itu dipanggil). 

”Baiko, Pak. Sahubuangan dengan kegiatan Studi Wisata, Pembina OSIS, mamintak supayo awak tu mambuek cendramato babantuak papan namo kapalo, wakil kapalo sikolah jo asbak rokok dari batubaro yang marupokan khas Sawah Lunto, masiang-masiang ciek.” kata Vitlan.

”Rancak bana tu mah, Lah bapasan?” tanya pak Syafwan.

”Alun lai, Pak. Mancari bahan bakunyo nan susah, Pak. Kan harus dipasan ka urang di tambang.” jelas Vitlan.

”Nan kan mangarajoannyo lah ado?” lanjut pak Syafwan.

”Lai, Pak. Ado rang gaek kawan, nan ka mangarajo-annyo.” sela Siswo.

(sambil mengerenyitkan keningnya dan menatap mereka bertiga), sesaat kemudian. ”Sudah, bia Bapak sajo nan mambueknyo. Kalian siapkan sajo nan lain.” tegas pak Syafwan.

(Dengan raut wajah gembira dan sedikit keheranan, Vitlan memalingkan wajahnya menatap Siswo dan Ical, yang duduk di sebelah kanan dan kirinya), ”Makasih, Pak. Makasih, Pak.” kata Vitlan dan Siswo serentak.

Selepas maghrib, Vitlan segera bergegas ke rumah bu Tina.

”Assalamu’alaikum,” sambil mengetuk pintu.

”Wa’alaikumussalam, siapa?” terdengar suara jawaban dari dalam.

”Alan, Buk.” jawab Vitlan.

”Tunggu sebentar ya, Lan.” lanjutnya

”Masuk, Lan.” jawab bu Tina membuka pintu.

”Bu Lela, maa nyo?” tanya Vitlan.

”Ado di balakang. Kami sadang masak.” jawab bu Tina.

”Sabanta sajo Buk, cuma mangabari masalah cinderamata sajo.” kata Vitlan.

”Masuk dulu.” kata bu Tina, sembari menggamit tangan Vitlan ke pangkuannya.

Darah Vitlan berdesir, merasakan hangat dada bu Tina di tangannya. Ia menurut saja, ketika dituntun ke kursi tamu.

”Sabanta yo, Lan.” katanya sembari berlalu ke belakang.

Vitlan duduk dan membentangkan kedua tangannya ke sandaran kursi. Merasa gerah, ia membuka kancing bagian atas bajunya dan mengambil buku tulis yang terselat di atas meja, lalu mengipaskannya ke lehernya. Bu Tina kembali ke depan dan memindahkan peralatan yang ada di atas meja dan meletakannya di atas bufet.

”Makan di sini, ya.” katanya sambil berlalu.

Bu Tina dan bu Lela kembali ke depan, sambil membawa perlengkapan makan dan meletakkannya di atas meja tamu. semua sudah lengkap.

”Ayo kita makan.” kata bu Tina, sembari menyerahkan piring yang sudah berisi nasi kepada Vitlan.

Selesai makan, bu Tina lansung mengintoregasi Vitlan dengan pertanyaan,

”Bana Lan, apo berita nan ingin Alan sampaikan. Bia kami dangakan.” tanyanya

”Baiko caritonyo Bu. Tadi sore tadi, Alan pai ka rumah pak Syafwan, menyampaikan ide tentang cinderamata itu ka beliau. Beliau menyambut baik ide itu, sampai-sampai mengatokan, ”bia beliau sajo nan manyadiokannyo.” jelas Vitlan.

”Jadi, pak Syafwan mambueknyo?” selidik bu Tina.

”Iyo, Buk. dalam duo tigo hariko siap, kata beliau.” jawab Vitlan.

”kalau baitu, uang untuak cinderamato tu, rancaknyo dipangakan yo?” komentar bu Tina.

”Tasarah Ibuk lah.” jawab Vitlan.

”Sudah, balikan untuak makan di pajalanan sajo.” sela bu Lela.

”O iyo yo. Rancak untuak bali makanan, nan ka dikulek-kulek di ateh oto. Kalau baitu, salasai sudah parsiapan awak ma. Tingga pelaksanaan sajo lai.” lanjut bu Tina.

”Kalau baitu, Alan baliak lai, Buk. Assalamu’alaikum.” kata Vitlan bangkit mohon diri.

”Wa’alaikumussalam.” jawab mereka berdua.

Keluar dari rumah bu Tina, Vitlan tidak langsung pulang ke tempat kostnya. Ia meneruskan langkahnya ke tempat biasa ia nongkrong dengan teman-temannya. Tiba di lokasi, ia dapati hampir semua teman nongkrongnya ada di sana.

”Dari maa waang Lan?” sapa mereka.

”Ado paralu stek.” jawab Vitlan sambil mengambil posisi duduk di sebelah Bahrum.

”Ado barang masuak sabanta lai.” kata Atan.

”Cocok kali lah itu, alah kampih saku ma.” komentar Vitlan.

Tak berapa lama, truk-truk yang membawa kayu log, masuk dan berhenti di hadapan mereka. Mereka segera naik, dan truk-truk melaju kembali menuju gudang tambang. Kira-kira satu jam, muatan truk selesai mereka pindahkan ke dalam gudang. Mereka kembali ke tempat nongkrong tadi untuk membagi hasil keringat mereka dan seterusnya membubarkan diri.

Vitlan dan Bahrum jalan beriringan, kemudian berpisah di kelok S. Setiba di rumah ia langsung ke sumur untuk mandi dan bersalin. Ia menyalakan sebatang rokok, sembari menghenyakkan pantatnya   di kepala difan dan bersandar ke dinding kamar. Kelelahan membuatnya cepat mengantuk. Vitlan mematikan rokok dan meletakkan sisanya di asbak. Lalu membaringkan badan dan seketika langsung tertidur.

Vitlan dan bu Tina beriringan berjalan di pematang sawah, hingga sampai di tepian sebuah sungai. Mereka menyeberanginya dan berhenti di sebuah pondok kecil di kaki bukit. Vitlan menurunkan kaki celana dan membersihkannya dari serpihan rerumputan yang lengket padanya. Ia mengambil posisi duduk bersandar pada tiang pondok, merogoh kantong dan mengeluarkan kretek Ji Sam Soe. Mengambilnya sebatang dan menyulutnya.

Bu Tina mendekat dan mengambil rokok yang belum sempat dinyalakannya dan meletakkannya di lantai pelupuh. Ia mengangkat tangan Vitlan dan melingkarkannya di tengkuknya. Mereka berpelukan. Bu Tina mengecup dan melumat bibir Vitlan dengan penuh gairah, membuat Vitlan sulit bernafas. Ia coba membalas, lalu berhimpitan di lantai. Nafas bu Tina memburu, menandakan ia sudah mendekati puncak gairah. Satu demi satu kancing bajunya membuka. Pelukannya semakin erat.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pelepah kelapa yang jatuh di samping pondok. Keduanya bangun dan merapikan pakaian mereka yang acak-acakan. Bersamaan dengan itu, Vitlan pun terbangun dari tidurnya. Ia duduk bersandar di dinding kamar. Nafasnya masih memburu, ia menjangkau cangkir teh dan meneguknya beberapa deguk.

Ia mengambil sisa rokok, yang tadi diletak-kannya di asbak dan menyulutnya. Asapnya mengepul ke udara dan pecah di langit-langit kamar. Vit-lan merebah begian depan celana dalamnya, basah. Jarum jam dinding menunjuk angka tiga lewat seperempat. Ia menghisap rokoknya sambil rebahan, berusaha untuk tidur kembali, namun matanya tak hendak terpejam. Vitlan bangkit mengambil termos air dan menuangkan ke dalam cangkir dan menambahkan sedikit gula, lalu menyerumputnya.

Mendekati subuh, kantuk mulai terasa menyerangnya. beberapa kali, mulutnya menguap. Ia lalu merebahkan kembali tubuhnya di dipan dan tak lama berselang tertidur, hingga matahari mulai meninggi. Sumarno sengaja tidak membangunkannya, karena hari itu memang hari libur akhir pekan sekolah.

Menjelang tengah hari, Vitlan baru terbangun. Seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal. Ia segera bangkit kemudian mandi dan mencuci pakaian. Setelah bersalin, ia mengajak Sumarno ke pasar baru membeli sambal dan lauk. Lagi banyak uang, Vitlan membeli satu potong gulai Tunjang dan satu potong asam padeh ikan. Sementara untuk Sumarno, ia belikan dua porsi gulai Cincang. Saking lahapnya, mereka makan, hingga nasi yang dimasak Sumarno untuk dua kali makan, ludes siang itu.

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (36)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

MENJAGA KESEHATAN DIRI

Memakai Alas Kaki

Rasulullah SAW sangat menganjurkan ummatnya memakai alas kaki ke mana saja, teruta-ma dalam melakukan perjalanan dan menghadapi peperangan.

عن جابررضي الله عنه قال: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِى غُزْوَةِ غَزَوْنَا هَااسْتَكْثِرُوا مِنَ النِّعَالِ فَأإِنَّ الرَّجُلَ لاَ يَزَالُ راَكِبًا نَاانْتَعَلَ ( رواه مسلم)

Dari Jabir r.a., katanya: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda pada suatu peperangan yang kami lakukan: Perbanyaklah memakai sandal, karena selagi seseorang itu memakai sandal, senantiasa ia seperti orang yang berkendaraan.

Beberapa alasan orang dianjurkan memakai alas kaki antara lain:

  1. Untuk Kenyamanan Berjalan/Berlari

Memakai alas kaki (sandal dan sepatu) akan memberikan kenyamanan kepada sese-orang ketika ia berada di rumah, bermain, berolahraga, bekerja, dan bepergian terutama ketika ia melakukan perjalanan jauh serta berperang.

  • Mencegah Cidera

Selain untuk kenyamanan, memakai alas kaki diperuntukkan guna menjaga kaki dari cidera ketika melakukan suatu pekerjaan. Beberapa pekerjaan yang ada: di bengkel, pabrik, tambang, bangunan, dam, dan lain-lain yang selalu berhubungan dengan alat berat dan beri-siko seperti: memotong dan menyambung/mengelas, mengangkat dan menurunkan, mendo-rong dan menarik, mendongkrak, mengikat dan membuka ikatan, mengepak dan membong-kar/membuka, mengebor, mencangkul dan membabat, memanjat, dan lain-lain, rentan ter-hadap cidera seperti: tertimpa, terjatuh, terjepit, terbentur, tertusuk, dan lain-lain, dapat mengakibatkan memar, luka, terkilir dan patah, bahkan buntung.

Memakai alas kaki (sandal dan sepatu) untuk pekerjaan seperti di atas sangat berman-faat dan dianjurkan guna mencegah cidera atau paling tidak untuk mengurangi akibat yang ditimbulkan apabila terjadi kecelakaan kerja.

  • Mencegah Penyakit

Banyak pula aktifitas yang bila dikerjakan dapat mengundang datangnya penyakit, terutama aktifitas yang berada di luar ruangan. Tempat-tempat yang rentan mengundang penyakit antara lain:

  • Tempat yang banyak terdapat kotoran hewan seperti kandang ternak, kebun, sawah dan ladang, septic tank (tempat kotoran manusia.
  • Tempat yang banyak terdapat limbah seperti: pabrik, saluran pembuangan limbah, tempat pembuangan sampah, parit, dan tempat lain yang sejenis.
  • Tempat-tempat lain di luar rumah juga rentan mengundang penyakit.

Oleh karena itu memakai atau menggunaka alas kaki menjadi keharusan bagi setiap orang yang berada dan melakukan kegiatan di luar rumah.

Selain itu pada sebahagian orang, memakai alas kaki tidak hanya dijadikan sebatas keper-luan yang telah disebutkan di atas, akan tetapi juga sebagai gaya hidup/mode. Untuk yang satu ini, maka lahirlah berbagai mode dan bentuk alas kaki (sandal dan sepatu).

Memakai Celak Mata

Kemudian perbuatan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW agar selalu dikerjakan oleh ummatnya adalah memakai celak mata. Menurut Rasulullah SAW, memakai celak mata dapat menjaga kesehatan mata dan meningkatkan daya lihat  atau ketajaman penglihatan mata.

عن بن عبّاس قال: قّالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ البَيَاضَ، فَـإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ، وَكَفِّنُوْا فِيْهَامَوْتَاكُمْ، وَإِنْ خَيْرَأَكْحَالِكُمُ الإِثْمِدُ، يَجْلُوالبَصَرَ، وَيُنْبِتُ الضَّعْرَ (رواه ابوداود)

Dari Ibnu Abbas, katanya, Bersabda Rasulullah SAW: “Pakailah pakaian warna putih, karena itu adalah pakaianmu yang terbaik, dan kafanilah orang yang telah meninggal dengan kain putih. Dan sesungguhnya celak yang paling baik adalah  al-Itsmid (nama celak mata) yang dapat membuat penglihatan lebih tajam dan menumbuhkan rambut.

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 39
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Kemesraan badan yang dirasakannya tadi sore sangat membekas pada dirinya, hingga terulang dalam tidurnya. Vitlan dan bu Tina tenggelam dalam gumulan asmara yang membara. Nafas mereka saling memburu, hingga mereka berdua sampai ke puncak kenikmatan badani. Ia terbangun dan merasakan celana dalamnya basah.

Vitlan meraih jam tangan, yang diselipkannya di balik kasur tepi dipan. Waktu menunjukkan pukul setengah enam. Ia segera bangkit untuk mandi ke sumur yang ada di samping rumah. Siraman air yang jatuh membasahi kepalanya, terasa begitu segar di seluruh tubuhnya. Pagi itu, ia mandi lebih lama daripada waktu-waktu sebelumnya.

Selesai berpakaian dan beres-beres, Vitlan langsung pergi praktek. Ia singgah dulu, sarapan Ketupat, di Pasar Baru. Melihat orang di depannya memesan telur setengah masak, ia pun memesan pula, dua buah. Mumpung waktu masih pagi, ia sempatkan nongkrong sebentar di kedai Indra, yang sudah buka. Siswo datang dan mereka jalan bareng menuju tempat praktek.

Dua hari sebelum pelaksanaan Studi Wisata, Vitlan, ketua dan bendahara OSIS dipanggil ke kantor. Kepada mereka, kepala sekolah yang sekaligus ketua pembina OSIS, menanyakan kesiapan mereka dalam melaksanakan kegiatan Studi Wisata tersebut. Kepada Ketua Pembina, Vitlan menjelaskan bahwa semua persiapan telah lengkap, kecuali masalah kumsumsi selama Studi Wisata. Untuk itu Ketua Pembina menyuruh Vitlan berkoordinasi dengan ibu Tina, yang merupakan orang sana. Spontan raut wajah Vitlan berubah. Nampak kegelisahan di sana.

 Ia memalingkan wajah ke arah bu Tina, yang duduk di sebelah bu Lela. Mereka bertatapan, bu Tina senyum sambil mengedipkan mata. Jantung Vitlan berdegup, ia menunduk dan memalingkan wajahnya sambil melangkah menuju pintu.

”Lan, sini dulu,” terdengar namanya dipanggil dan ia pun menghentikan langkahnya, seraya memalingkan wajahnya.

”Sini dulu,” sambil menggamitkan tanggannya.

Vitlan berbalik, mendekat ke meja bu Tina dan berdiri di depannya. Bu Tina bangkit dari tempat duduk, berdiri mendekat.

”Besok siang, ibu tunggu di rumah ya,” katanya sembari menyelipkan sesuatu ke kantong Vitlan.

”Ya, Bu,” jawabnya pelan sambil mengangguk dan berlalu.

Sambil berjalan pulang, Vitlan merogoh kantong bajunya. Rupanya lembaran uang yang diselipkan bu Tina tadi ke kantongnya. Ia memindahkan uang itu ke kantong belakang celananya. Setengah berlari, ia menyusul Sumarno yang berjalan agak jauh di depannya.

”No, samo, No,” teriaknya pada Sumarno.

Sumarno, menghentikan langkahnya, sehingga mereka berpapasan. Kedua teman sekamar itu terlibat percakapan mengenai rencana studi wisata mereka. Meski mereka berbeda jurusan, namun akrab dan kompak. Semua pekerjaan rumah, mereka kerjakan bersama-sama.

 Sedang asyik cerita, sebuah truk melambat dekat mereka. Keneknya mendongakkan kepala mengatakan ada barang masuk.

”Ada barang masuk,” katanya.

Vitlan melambaikan tangan memberi kode berhenti. Truk menepi, yang di belakang ikut menepi. Mereka berdua langsung naik ke atas truk yang paling depan. Truk melaju dan berhenti di depan kedai Indra. 5 orang teman Vitlan yang nongkrong di sana ikut naik. Truk meneruskan perjalanan menuju gudang tambang.

Dalam waktu satu jam muatan, yang berupa kayu bulat penyangga lubang tambang batubara, selesai dipindahkan ke gudang. Dengan upah yang lu-mayan, Vitlan dan kawan-kawan, berjalan ke tempat ngumpul di depan kedai Indra.

Vitlan dan Sumarno, langsung ke kedai nasi untuk makan malam. Selesai makan, mereka kembali ke tempat ngumpul. Udara malam Sawah Lunto yang agak panas, membuat keringat membasahi seluruh tubuh. Di antara mereka, ada yang buka baju, ada yang sekadar buka beberapa buah kancing baju, sambil berkipaskan karton kemasan. Ada pula yang duduk di bok berkipaskan baju.

Setelah menghabiskan sebatang Ji Sam Soe, Vitlan dan Sumarno, pamitan pulang. Tiba di rumah, duduk sebentar, kemudian mandi. Selesai ganti pakaian, Vitlan mengambil sebatang rokok dan mengisapnya sembari berbaring di ranjangnya. Tak habis sebatang, ia sudah tertidur sambil menyandar di dinding kamar. Sementara rokok di jarinya, jatuh ke lantai dalam kondisi sudah tidak menyala lagi.

Tersentak dari tidur, sayup-sayup Vitlan mendengar suara tarahim subuh dari radio tetangga. Ia meraih jam tangannya yang terleta di samping tempat tidurnya. Sudah menjelang subuh. Ia bangkit keluar kamar untuk mandi. Sedang ia berkemas, terdengar suara adzan dari menara masjid. Ia membangunkan Sumarno yang masih tidur lelap, lalu shalat Subuh.

Selesai berdoa, ia menghidupkan kompor dan memasak air untuk membuat Teh Manis. Pagi itu, ia tidak masak nasi seperti biasanya. Dengan uang yang didapat dari membongkar muatan truk tadi malam, mereka berdua, sarapan ketupat gulai di kedai dekat kontrakan saja.

Hari itu, Vitlan pulang praktik agak cepat. Ia langsung saja ke rumah bu Tina. Ia mengetuk pintu depan, tidak ada jawaban. Menunggu sebentar, lantas  mengetuk lagi, tetap tidak ada jawaban. Sementara di balik kain gordiyn ruang tamu, bu Tina asyik memandangi Vitlan, yang berdiri di depan pintu ruang tamu. Ia begitu kagum dengan sosok Vitlan, yang tinggi semampai, dibalut seragam praktik berwarna abu-abu muda.

Melihat orang yang dicintainya, beranjak meninggalkan beranda rumah, ia secepatnya membukakan pintu. Vitlan menghentikan langkah dan berbalik. Dilihatnya bu Tina tersenyum menyambut kedatangannya dan menyilakannya masuk.

Begitu sampai di ruang tamu, bu Tina langsung memeluk dan menghujani Vitlan dengan ciuman. Ia membiarkan dirinya diperlakukan begitu. Ketika bu Tina mendaratkan ciuman di mulutnya, ia segera membalas. Desah napas bu Tina terasa begitu hangat, sehangat pelukannya. Bunyi sepatu menyentuh teras, kontan saja ia menghentikan ciuman dan melepasan pelukannya. Ia segera menyuruh Vitlan cepat-cepat mengambil posisi duduk di kursi dan beranjak ke ruang belakang.

Vitlan segera berdiri memberi hormat, begitu dilihatnya bu Lela muncul di depan pintu.

”Eee, Alan, sudah lama, mana bu Tina? tanyanya.

”baru saja, Bu. Bu Tina di dalam, bu,” jawab Vitlan.

”Ibu tinggal dulu ya,” lanjutnya

”Ya, Bu,” jawab Vitlan.

Bu Lela terus ke ruang belakang menemui bu Tina, yang sedang memasak air.

”Manga si Vitlan kamari, Tina? tanyanya.

”Ambo manyuruahnyo datang siang ko,” jawab bu Tina

”Manga tu?” lanjutnya.

”Itu, urusan studi wisata nanti,” jawabnya lagi.

”Ooo, alun salasai lai?” tanyanya lagi.

”Tingga masalah konsumsi salamo di sinan lai,” jelas bu Tina lagi.

”Ooo,” komentarnya seraya membalikkan badan, masuk ke kamar.

Persamaan kata:   tingga = tinggal     salamo = selama,        sinan = di sana,    lai = lagi

bersambung

Bagikan:
Hidup Sehat ala Rasulullah SAW (35)
Bagikan:

Oleh: AR Piliang

PAKAIAN DAN PERHIASAN

Menyamak Kulit Binatang/Bangkai untuk Berbagai Keperluan

Kulit binatang hasil sembelihan maupun kulit dari binatang yang mati atau bangkai bila dibiarkan akan menjadi masalah bagi kesehatan manusia dan lingkungan, karena lambat laun akan menjadi busuk dan berulat. Namun demikian, kulit binatang tersebut dapat dibuat menjadi bersih dan suci dengan cara menyamaknya.

Kulit binatang yang sudah disamak dapat dijadikan berbagai alat keperluan manusia, seper-ti pakaian (baju, jaket, celana), sandal dan sepatu, sarung (tangan, pisau, pedang, parang dan sen-jata tajam lainnya),tutup kepala, ikat pinggang, tenda/kemah, tikar/sajadah, selimut, dan tabung air yang dapat dibawa-bawa dalam suatu perjalanan/pengembaraan.

عن بن عبّاس رضي الله عنهما قال: تَصَدَقَ عِلِى مَوْلاَةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ، فَمَرَّبِهَا رَسُولُ اللهُُُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلاَّ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا، فَدَبَغْتُمُوْهُ، فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ، فَقَالُوا: إِنَّهاَ مَيْتَةً، فَقَالَ: إِنَّمَا أَكْلُهَا (متّفق عليه)

Ibnu Abbas r.a. berkata; Seekor kambing diberikan kepada Maimunah sehubungan dengan pemerdekaan budak, lalu kambing tersebut mati, kemudian Rasulullah SAW lewat di situ lalu bersabda: “Mengapa kamu tidak mengambil kulitnya untuk disamak, kemudian kamu manfaatkan?” Mereka menjawab; “Kambing itu kan bangkai”. Beliau bersabda: “Yang haram hanyalah memakannya!”

عن يزيد بن حبيب؛ أَنَّ أَبَاالخَيْرِ حَدَّثَهُ قَالَ: رَأَيْتُ عَلَى ابْنِ وَعْلَةَ السَّبَئِيِّ فَرْواَ، فَمَسَسْتُهُ، فَقَالَ: مَالَكَ تَمَسُّهُ؟ قَدْ سَأَلْتُ عَبْدَ اللهِ بْنِ عَبَّاسِ، قُلْتُ: إِنَّا نَكُوْنُ بِالمَغْرِبِ، وَمَعَنَا البَرْبَرُ وَالمَجُوْسُ،تُؤْتَى بِالكَبْشِ قَدْذَبَحُوْهُ، وَنَحْنُ لاَ نَأْكُلُ ذّبَائِحَهُمْ، وَيَأْتُوْنَنَا بِالسِّقَاءِ يَجْعَلُوْنَ فَيْهِ الوَدَكَ؟ فَقَالَ بْنُ عَبَّاسِ: قَدْ سَأَلْنَا رَسُولَ اللهُُُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَالِكَ؟ فَقَالَ: دِبَاغُهُ طَهُوْرُهُ (رواه مسلم)

Dari Yazid bin Abu Habib, bahwasanya Abul Khair pernah memberitahu kepadanya dengan mengatakan; Saya pernah melihat kantong/tas kulit dibawa oleh Ibnu Wa’lah As-Sabai, kemudian saya menyentuhnya, lalu ia berkata; “Mengapa kamu menyentuhnya?” Saya telah bertanya kepada Abdullah bin Abbas, saya katakan; “Kami pernah berada di Maroko bersama orang Bar-Bar dan Majusi, kami diberi seekor kambing yang telah mereka sembelih, namun kami tidak memakan sembelihan mereka, dan mereka membawakan kami wadah minuman yang terbuat dari kulit yang berlemak, kemudian Ibnu Abbas mengatakan, hal itu telah kami tanyakan kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: “Menyamak kulit bangkai berarti membuatnya suci”.

Semoga bermanfaat

Bagikan:
Tabedo – Bagian 38
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

”Lan, Lan, bangun. Sudah jam tujuh ini. Tak praktek waang,” kata Sumarno, memba-ngunkannya. 

”Aaahh,” jawab Vitlan sambil mengusap-usap mata dan bangkit dari tempat tidurnya.

Tanpa mandi, ia langsung berpakaian, minum segelas air hangat dari termos, ia segera berlari ke kantor PN TBO. Di jembatan dekat kelok S, ia bertemu dengan kelompoknya dan langsung bergabung dengan mereka, ke tempat praktek jaringan yang tidak jauh dari tempat kosnya.

Hari itu, mereka memasang jaringan listrik di rumah penduduk yang akan dijadikan tempat pesta perkawinan. Vitlan dan teman-teman prakteknya, sudah barang tentu sangat senang sekali, karena di lokasi praktek kali ini, mereka mendapat layanan istimewa dari tuan rumah berupa minuman, penganan dan makan siang gratis. Mereka mengistilahkan layanan ekstra seperti ini, dengan sebutan ”Perbaikan Gizi” anak sekolah, terutama bagi anak kos.

Sore harinya, waktu istirahat, Ia bersama dengan Sumarno, Bahrum dan Siswo, dipanggil wakil kepala sekolah ke ruangannya. Sebagai Pembina OSIS, kepada mereka ditanyakan persiapan studi wisata. Mendengar laporan mereka, wakil kepala sekolah merasa puas. Sewaktu keluar dari ruangan tersebut, beliau menyuruh Vitlan, berkoordinasi dengan ibu Tina, pembina OSIS yang bertanggungjawab mengenai persiapan logistik Studi Wisata.

Suatu sore, kebetulan hari libur, Vitlan pergi mengunjungi kediaman ibu Tina, yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Dengan perasaaan ragu dan rasa bersalah (karena beberapa waktu yang lalu, ia telah berlaku tidak sopan kepadanya), ia ketuk pintu rumah bu Tina.

”Bu, bu Tina (sapa Vitlan, antara terdengar dengan tidak).

”Ya, siapa?” terdengar jawaban sembari membuka pintu.

”Ouu, kamu Lan. Mari masuk,” kata bu Tina.

”Ya, Buk,” terus masuk, dengan menundukkan kepala.

Melihat Vitlan tegak mematung di hadapannya, bu Tina mendekat.

”Ayo, silakan duduk. Kok kamu bengong begitu,” sapanya lagi.

”Maafkan saya, Buk, atas tindakan saya tempo hari pada Ibuk,” kata Vitlan dengan tetap menunduk.

Bu Tina, menggeser posisi berdirnya ke depan Vitlan, memegang dagunya dan mengangkatnya. Mereka bertatapan. Sebentar, lalu Vitlan kembali menundukkan wajahnya.

”Tatap ibu,” kembali mengangkat dagu Vitlan.

Mereka kembali bertatapan. Dada Vitlan berdegup kencang, begitu melihat senyum mengambang di bibir bu Tina.

”Kamu tampan, Lan. Ibu menyukaimu,” katanya lembut.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba,

”Ibu juga cantik,” kata Vitlan membalas senyumnya.

Ibu Tina merangkul tubuh Vitlan, dan mereka berpelukan dan berciuman. Panasnya hawa dekapan dada bu Tina, membuat darah Vitlan terasa mengalir dengan derasnya. Seluruh tubuhnya terasa terbakar.

”Lan, ibu menyukaimu. Kamu sayang sama ibu kan?” bisiknya ke telinga Vitlan, dalam dekapan.

”Ya Bu, Alan juga sayang sama Ibu,” balas Vitlan.

Denyit bunyi pintu dibuka, menyadarkan mereka dan bu Tina melepaskan pelukannya. Mereka kemudian duduk di kursi tamu dengan posisi berhadap-hadapan. Bu Lela, teman sesama guru dengan bu Tina, yang sekaligus pemilik rumah, datang menghampiri dan duduk di samping bu Tina. Vitlan memberi hormat dan menyalami bu Lela. Ia menceritakan maksud keda-tangannya ke rumah itu.

Selesai membicarakan persiapan Studi Wisata dan ngobrol panjang lebar ke sana ke mari, Vitlan mohon diri pamit pada mereka. Dengan senyum merekah dan tatapan mata penuh arti, bu Tina melepas kepergian Vitlan.

Tiba di tempat kos, didapatinya Sumarno baru saja selesai mandi dan mau berpakaian. Melihat Vitlan senyum-senyum kecil, ia mengerenyutkan keningnya. Sambil mengenakan pakaian,

”Agak aneh waang den caliak sanjoko, senyum-senyum surang,” katanya heran.

”Ndak, ndak apo-apo. Biaso-biaso sajo,” jawab Vitlan.

”Biaso-biaso baa. Bantuak urang senewen waang den caliak,” lanjutnya.

”Cuma lucu sajo, taraso di ambo,” lanjut Vitlan, sembari duduk di dipan dan membuka sepatunya.

”Urang gilonyo, nan senyum-senyum surang,” katanya lagi sambil bersisir di depan kaca.

Vitlan memakai sendal, keluar ke kamar mandi dan kembali untuk sembahyang Maghrib. Ia mengambil tempat di samping dipannya. Sementara Sumarno sembahyang di sisi lain kamar mereka. Setelah itu, mereka makan bersama.

Selesai beres-beres, Sumarno langsung duduk dan mengambil buku pelajaran untuk berlajar. Sementara Vitlan duduk berselonjor di atas dipan, menikmati Ji Sam Soe kegemar-annya. Sejenak kemudian, ia keluar kamar dan duduk di bangku-bangku yang ada di bawah pohon Rambutan. Ia duduk bersandar di sandaran bangku, sementara kakinya naik ke atas meja taman.

Ia isap dalam-dalam rokoknya. Matanya menatap daun rambutan yang hanya nampak berwarna hitam. Kejadian tadi sore, kembali muncul dalam ingatannya, jelas sekali. Bagaimana dagunya dipegang bu Tina dan mereka berpelukan. Saling berkecupan dengan mesra. Hangatnya bibir dan dada gurunya itu, masih terasa.

Ingat kejadian itu, Vitlan senyum sambil geleng kepala. Ia senyum, karena merasa senang mendapat kehangatan baru, ketika hatinya sedang sedih dan kecewa, karena ditinggal tanpa sebab. Geleng-geleng kepala, karena kejadian itu sama sekali tak disangka-sangka dan diluar dugaannya. Itulah untuk pertama kalinya ia merasakan pelukan dan kehangatan tubuh dan bibir seorang perempuan dewasa.

 Dua batang sudah rokok diisapnya, ia bangkit masuk ke dalam kamar. Ia mengambil posisi duduk di sebelah kiri Sumarno dan membuka buku pelajaran. Hanya sebentar, kemudian bangkit dan berbaring di atas dipan. Bantalnya dilipat, sehingga posisi kepalanya menjadi lebih tinggi.

Vitlan menyalakan rokok, asap mengepul ke udara berbentuk bulatan-bulatan. Matanya menatap langit-langit kamar. Habis sebatang, tangannya meraih batang rokok kedua. Ia tenggelam dalam lamunannya. Hingga matanya mulai terasa perih. Kemudian terpejam. Sumarno tidak memedulikan perubahan tingkah temannya itu. Ia asyik dengan tugas sekolahnya.

Persamaan kata:

den = aku        caliak = lihat   sanjo = senja      surang = sendiri             taraso = terasa

senewen = gila

bersambung

Bagikan: