Tabedo – Bagian 10
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Ia memencet. kemudian membasuh mukanya dengan air yang dibawanya. Akan tetapi mukanya terasa semakin gatal dan perih. Icha menjerit memanggil begitu dilihatnya Vitlan muncul di kejauhan.

“Bang Alan, tolong Icha Bang,”teriaknya.

Mendengar suara yang tak asing lagi baginya, Vitlan berlari mendekat, dan
“Mukamu kenapa ?” sapa Vitlan melihat wajah Icha yang dipenuhi bintik-bintik seperti bisul mau pecah.
“Tidak tahu bang,” jawab Icha sambil menangis menatap Vitlan dalam-dalam.
Vitlan mencoba memegang pipi Icha, tapi Icha menepis tangannya sambil menjauh.

“Lho, kamu kenapa ?” sapa Vitlan heran.
Icha lari, lari dan lari menjauh.
“Cha, Icha, hei Icha, bangun,” kata Cicik mengguncang-guncang tubuh Icha.
“Jangan dekati Icha, jangan, jangan,” igau Icha.
“Hei Icha, kau kenapa?” kata Cicik lagi sambil memukul-mukul pipinya.
Icha terbangun, kebingungan. Dadanya sesak seperti orang dikejar-kejar.

Keringat membasahi wajah dan tubuhnya. Cicik memeluk erat sauda-ranya itu dan mengusap keringatnya dengan penuh kasih sayang. Perlahan kesadarannya pulih.
“Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah”, ucapnya sambil mengusap-usap wajahnya.
“Kau kenapa?”, sapa Cicik lagi.
“Ambilkan air minum segelaslah”, kata Cicik kepada Raudah yang ikut terbangun.

Raudah berlalu ke luar kamar dan sebentar kemudian kembali dengan segelas air hangat yang diambilnya dari thermos air. Cicik menuntun Icha minum. Setelah Icha terlihat tenang, Cicik kembali menanyainya.

“Kau kenapa?” dengan tetap memeluknya.
“Aku mimpi buruk Cik,” jawab Icha.
“Mimpi apa kau rupanya?” selidik Cicik.
“Aku rasanya pergi ke bukit yang banyak bunganya. Waktu aku mau naik ke dangau yang ada di taman itu, aku tertusuk duri,”
“Terus, trus,” desak Cicik.
“Kak Cicik ini bagaimana, sabarlah,” sela Raudah sembari memukul pelan bahu Cicik.
“Terus setelah duri itu kucabut, mukaku terasa gatal-gatal dan keluar bintik-bintik merah keku-ningan berisi cairan bening. Aku menjerit dan bang Vitlan datang, begitu ia mau memegang pipiku, aku menolak dan menjauh,” jelas Icha.
“Aneh juga mimpimu ya,” komentar Raudah.
“Apa ya artinya,” tanya Icha heran.
“Manalah kutahu. Aku kan bukan tukang ramal,” jawab Raudah.
“Apa ya, tapi sudahlah, itu kan cuma mimpi,” balas Cicik yang cara berpikirnya lebih rasional.

Jarum jam dinding menunjukan pukul 2.15 dini hari. Icha beranjak ke belakang ke kamar mandi. Ia berwudhuk dan ke ruang shalat untuk mengerjakan shalat tahajjuj, kemudian berdoa.

“Ya Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Kasihilah hamba, sayangilah hamba. Ya Allah yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa dan kesalahan hamba. Ya Allah Yang Maha Memberi Petunjuk, tunjukilah hamba ke jalan lurus, jalan yang Engkau ridhoi. Ya Allah Yang Maha Pelindung, lindungilah hamba dari segala mara bahaya.
Ya Allah, hanya kepada Engkau kami mengabdi dan hanya kepada Engkau kami minta tolong. Kabulkanlah doa hamba. Robbana atina fiddun ya hasanah wafil akhirati hasanah waqina azabannar. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Kembali ke kamar, didapatinya kedua sepupunya itu telah kembali tidur dengan pulas. Icha pun merebahkan badannya di ranjang, berdo’a dan sejenak kemudian tertidur pulas.

!!!

Sesampai di rumah, Vitlan mendapati Mak sudah terangguk-angguk di kursi di depan steling karena menahan kantuk, padahal waktu baru lewat pukul setengah sebelas malam.

“Mak, tidurlah ke dalam, biar Alan yang jaga kedai,” kata Vitlan menepuk-nepuk bahu Mak.

“Eeh sudah pulang waang Lan. ialah, Mak ngantuk kali memang,” jawab mak setelah tahu bahwa Vitlan telah pulang. Kemudian masuk ke kamarnya.

Vitlan merapikan letak kursi-kursi yang sudah tidak berada ditempat semestinya. Kemudian ia duduk dan menyulut sebatang ji sam soe. Belum berapa lama ia duduk datang pebelanja memesan 4 bungkus nasi goreng, 3 bungkus mie tiau dan 3 bungkus mie kuning goreng. Dengan cekatan Vitlan mulai mengolah bahan-bahan yang akan digunakan untuk memasak pesanan tersebut. Satu demi satu masuk ke dalam kuali. Gerakan tanggannya sangat lincah mengaduk-aduk adonan di dalam kuali, persis bagaikan penari yang berlenggak-lenggok di atas pentas. Keringat mengalir dari dahi dan tengkuknya. Sebentar-sebentar ia melap muka dan tengkuknya yang kuyup karena keringat.

Belum selesai ia menyiapkan pesanan tersebut datang lagi dua orang gadis di seberang jalan memesan 5 bungkus nasi goreng.

“Lama tak nampak, ke mana, Bang,” sapa mereka.
“Ada kesibukan sedikit, di luar,” jawab Vitlan, sambil tetap mengaduk-aduk masakan.
“Tadi, ada kelihatan tu 3 gadis sama Abang, pacarnya ya, Bang,” selidiknya.
“Biasaaa, penggemar,” seloroh Vitlan.
“Ah, Abang ini, macam betul saja,” sela seorang dari mereka.
“Yaaa, masak pacar tiga orang,” kilah Vitlan.
“Yang satu, pacar. Yang duanya, temannya. Bisa kan?” selidik si gadis.
“Anak mana, Bang?” tanya si gadis lagi.
“Mau tahu saja,” jawab Vitlan sambil senyum, seraya menyerahkan pesanan kedua gadis itu.

Pukul setengah satu malam Vitlan menutup kedai nasinya. Ia beruntung sekali, malam itu jualannya habis terjual. Selesai menutup kedai dan merapikan semua peralatan Vitlan beranjak ke luar ke kedai sebelah.

“Mak Etek, ji sam soe sabungkuihlah,” kata Vitlan kepada penjual rokok.
“Lah batutuik kadai Lan?” kata penjual rokok yang dipanggil mak Etek tersebut.
“Alah, Alhamdulillah, habih mak Etek,” jawab Vit-lan sambil menghidupkan rokoknya.
“Lah ka lalok lai waang,” lanjut mak Etek.
“Alun lai mak, sabanta lailah. Mak Etek alun tutuik lai,” balas Vitlan.
“Kok baitu ambo tutuik pulo lah,” jawab mak Etek.

Vitlan membantu mak Etek menutup kedainya, dan setelah mak Etek selesai mengunci pintu dan beranjak ke rumahnya yang terdapat di belakang kedainya, Vitlan pun masuk ke rumah dan langsung ke kamar mandi mengambil wudhuk, kemudian naik ke lantai dua shalat Isya lalu tidur.

Pukul 5 subuh Mak bangun. Selesai shalat subuh ia beranjak naik ke lantai dua bermaksud membangunkan Vitlan. Begitu dilihatnya Vitlan tidur begitu pulas ia urungkan niatnya dan mengambil kunci laci steling di atas meja belajar terus turun kembali ke lantai dasar.

Ia membuka laci dan melihat setumpuk uang. Mata Mak berbinar dan ia bergerak ke steling jajanan, membuka pintu bagian bawahnya dan melihat bahan jualannya kosong dan berarti dagangannya laku habis terjual tadi malam. Reflek didekapkannya uang dalam genggamannya ke dadanya.
“Alhamdulillah ya Allah, daganganku habis terjual tadi malam,” gumam Mak sebagai tanda syukur.

Padanan kata:
Sabungkuih = sebungkus
Lah/alah = sudah
Batutuik/tutuik = tutup
Kadai = kedai
Habih = habis
Lalok = tidur
Waang = kamu
Alun = belum
Sabanta = sebentar
Lai = lagi
Baitu = begitu
Ambo = saya/aku
Pulo = pula

bersambung

Bagikan: