Tabedo – Bagian 11
Bagikan:

Oleh: Phillar Marmara

Setelah menghisap sebatang rokok, Mak berangkat naik beca mak Udin menuju pajak jalan Sutomo untuk membeli bahan-bahan keperluan kedai nasi.

Pajak jalan Sutomo ini merupakan sebuah pasar tak resmi dan buka dari tengah malam sampai pagi saja. Pajak ini berada di sepanjang jalan Sutomo di sekitar persimpangan jalan Seram, dan dijadikan sebagai pusat grosir sayur mayur dan hasil bumi lainnya di kota Medan. Pajak ini memulai aktifitasnya sekitar pukul 23.00 WIB, ketika truk-truk dari segala jenis dan ukuran yang mengangkut sayur mayur dan hasil bumi lainnya mulai berdatangan ke tempat ini.

Angkutan ini umumnya datang dari daerah dataran tinggi Tanah Karo, khususnya Brastagi dan sekitarnya. Kebanyakan dari pedagang sayur-mayur ini berasal dari suku Karo. Sebahagian dari pedagang yang ada di sini sekaligus juga merupakan pemilik kebun yang menjual sendiri hasil kebunnya. Menjelang pembeli datang, mereka tidur di emperan toko di sepanjang jalan di mana mereka memarkirkan kendaraan atau di atas tumpukan barang dagangan mereka.
Pada pukul 02.00 dini hari, pembeli dari seluruh penjuru mulai berdatangan ke tempat ini. Pebelanja yang datang ke sini, umumnya adalah pedagang kebutuhan pokok yang berjualan di berbagai pajak pagi atau kedai sampah di seantero kota Medan dan sekitarnya. Begitu pula dengan pengusaha Rumah Makan dan sebahagian kecil ibu-ibu ramah tangga. Kegiatan pasar ini, secara umum biasanya sudah berakhir pada pukul 08.00 pagi. Meski demikian, ada juga beberapa pedagang yang masih berjualan hingga menjelang tengah hari.

Mak sengaja memilih tempat ini sebagai tempat belanja, karena selain semua kebutuhan pokok tersedia di sini, harganya juga murah. Lagi pula pajak di jalan Mahkamah dan pajak jalan Halat yang terletak dekat rumah baru buka pada pukul 07.00 pagi, di mana pada waktu yang sama Mak sudah mulai melakukan aktifitas dapur, mengolah bahan-bahan keperluan untuk kedai nasi.

!!!

Pukul 06.00 pagi, Vitlan bangun. Setelah shalat subuh, ia tidur lagi dan baru bangun pukul 09.00 WIB kurang sedikit. Ia turun langsung turun ke lantai dasar untuk sarapan pagi.
“Hei, bangun-bangun langsung ambil piring, Waang pasti tak subuh tadi,” sela Mak ketika dilihatnya Vitlan mengambil piring.
“Sudah Mak, habis subuh awak tidur lagi,” jawab Vitlan sambil menyendok nasi dari dandang dan mengambil lauk pauk dan berlalu melalui pintu belakang. Ia duduk di pelataran rumah tetangga di lorong di belakang rumah.

Lorong itu bersih dan sejuk karena dibuat dari semen dan terlindung dari sinar matahari pagi. Cahaya matahari baru akan mengenai lorong tersebut bila hari sudah menjelang siang, kira-kira pukul sepuluh. Lorong itu merupakan sebuah gang buntu yang di sana hanya terdapat beberapa buah rumah saja. Di sore atau malam hari, gang itu sering digunakan oleh warga untuk tempat kumpul.

Selesai makan ia nyalakan sebatang rokok dan dengan santainya berselonjor kaki dan menyandarkan punggungnya ke dinding. Baru beberapa isap ia merokok, Vitlan teringat sesuatu.

“Wah, sudah lewat pukul Sembilan,” desisnya tatkala melihat jam yang terpampang di dinding ruang tamu rumah di depannya. Ia segera bangkit dan masuk ke dalam rumah, ganti pakaian, kemudian pamit sama Mak.
“Mak, awak pergi ya,” katanya sambil bergegas ke depan.
“Hei, mau ke mana Waang,” tanya Mak heran, karena tak biasanya ia tergesa-gesa seperti pagi itu, belum mandi lagi.
“Mau ke stasiun kereta api Mak,” jawab Vitlan tanpa berhenti maupun menoleh ke belakang.
“Bang Gabe, stasiun kereta api bang,” kata Vitlan kepada abang beca mesin yang dipanggilnya Gabe tersebut, sembari melompat ke atas becak mesin. Gabe menghidupkan mesin becaknya.
“Agak cepat sikit Bang, sudah mau terlambat nih,” kata Vitlan
“Baik Lan, mau ke mana kau rupanya?” balas Panggabean.
“Ada yang mau kukejar ke sana, penting kali Bang,” kata Vitlan

Panggabean mempercepat laju becak mesinnya. Setelah membayar ongkos beca, Vitlan segera masuk ke peron. Begitu sampai di sana kereta api telah mulai bergerak meninggalkan stasiun. Ia mencari ke sana ke mari ke deretan pengantar, begitu dilihatnya Cicik, Raudah dan ibunya berdiri, setengah berlari ia mendekat. Di atas gerbong kereta api dilihatnya Icha melambaikan tangan dan Vitlan membalas lambaian itu. Ia terus melambaikan tangannya sampai kereta api hilang dari pandangannya.

Sesaat kemudian, berempat mereka ke luar meninggalkan stasiun. Sewaktu berjalan beriringan tersebut, Cicik menyerahkan sesuatu ke tangan Vitlan,
“Ini titipan dari Icha buat abang,” kata Cicik.
“Oh ya?” jawab Vitlan singkat sambil menerima titipan tersebut dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
Sampai di luar stasiun, Vitlan pamit kepada mereka.
“Buk, saya pergi dulu, Cik, Raudah pergi dulu ya,”
“Ya, Nak Alan,” jawab ibu Cicik
“Ya Bang,” balas Cicik dan Raudah.

Vitlan menyetop Sudaco, naik dan hilang dari pandangan mereka.
Beberapa saat setelah duduk di dalam Sudaco, Vitlan merogoh kantongnya dan mengeluarkan titipan yang diberikan Cicik tadi. Sebuah cincin emas. Bergegas ia masukkan kembali cincin emas tersebut ke adalam kantongnya.
Sampai di rumah, Vitlan langsung ke kamar di lantai dua, merebahkan diri di ranjang. Tangannya mengeluarkan cincin mas itu dari kantong dan memandanginya lamat-lamat, sembari memain-mainkannya di tangannya. Ia membatin,
“‘Icha, meski baru sesaat aku mengenalmu, sudah dapat kupastikan bahwa kau gadis yang baik, cantik, polos dan bersahaja. tak seharusnya kau mendapatkan penolakan atas ketulusanmu. Takkan kusia-siakan perhatianmu dik.”

Padanan kata:
Pajak = pasar
Kedai sampah = kedai (biasanya ada di pemukiman), yang menjual 9 bahan pokok dan kainnya.

bersambung

Bagikan: