Tabedo – Bagian 12
Oleh: Phillar Mamara
Panggilan Jiwa
keluarga yang tinggal di sekitar jalan Si Singamangaraja kelurahan Kampung Masjid, Hari ini Vitlan tidak pergi kuliah.
Hasil pertemuan dengan beberapa orang kepala memutuskan untuk menjadikan Vitlan sebagai juru bicara mereka dalam pertemuan yang akan diadakan di balai desa siang ini. Pertemuan ini akan membicarakan masalah rencana pemerintah yang akan melakukan pelebaran jalan Si Singamangaraja untuk keperluan pembangunan.
Pukul 15.00 WIB siang, warga telah berkumpul di balai desa. Vitlan dan Mak masuk dan mengambil tempat duduk di barisan nomor dua dari depan. Tidak lama kemudian rombongan pemerintah Daerah Tingkat II Kota Madya Medan yang terdiri dari 3 orang pejabat disertai 2 orang anggota Koramil, memasuki ruangan dan disambut oleh Camat dan Lurah yang sedari tadi telah menunggu.
“Assalamu’alaikum, Selamat Sore dan Salam Sejahtera untuk kita semua. Bapak-Bapak, Ibu-Ibu warga jalan Si Singamangaraja yang berada di kampung Masjid ini, selamat datang dan terima kasih telah berkenan memenuhi undangan kami pada petang hari ini, di Balai Desa ini dalam rangka pertemuan antara warga dengan pemerintah. Pertemuan kita ini akan membicarakan masalah pembangunan yang sedang gencar-gencarnya dilaksanakan oleh pemerintah kita. Untuk itu saya persilakan kepada Bapak yang mewakili pemerintah Daerah Tingkat II Kota Madya Medan untuk menyampaikan segala sesuatu yang berkenaan dengan pembangunan tersebut”, kata Lurah membuka pertemuan.
‘Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang saya hormati, langsung saja ke pokok permasalahan yang ingin kita bicarakan saat ini, yakni rencana pemerintah untuk memperlebar beberapa jalan di kota Medan, terutama jalan utama kota yang merupakan pintu masuk dan keluar kota Medan. Pembangunan nasional yang telah direncanakan oleh pemerintah harus berjalan terus. Sementara itu di lain pihak, pemerintah memiliki sumber dana pembangunan yang terbatas. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut, kami undang Bapak-Bapak, Ibu-Ibu untuk berembuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Inti persoalan yang ingin kami sampaikan kepada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu adalah pemerintah meminta pengertian Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu atas lahan dan bangunan yang akan kena pemotongan untuk pelebaran jalan tersebut. Adapun lebar jalan yang akan diperlebar adalah masing-masing 2 meter di sisi kiri dan 2 meter di sisi kanan. Kami harapkan agar Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu berkenan dengan rela hati memberikan lahan yang diminta pemerintah tersebut. Ini semua demi kelancaran pembangunan nasional yang telah dicanangkan, …
“Ada yang ingin dipertanyakan?” kata pejabat Pemda Tk. II Medan.
“Silakan,” katanya begitu melihat salah seorang peserta rapat mengangkat tangannya.
Orang tersebut berdiri,
“Perkenalkan nama saya Kasim. Pada prinsipnya kami mendukung rencana pembangunan tersebut. Hanya saja ada yang ingin kami pertanyakan, yaitu berapa besarnya ganti rugi yang akan kami terima dan bagaimana cara perhitungan ganti rugi tersebut?”
“Begini Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, tadi sudah saya jelaskan bahwa negara kita sekarang sedang membangun. Oleh karena banyaknya yang harus dibangun, maka biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut juga sangat besar. Dana yang kita miliki sangat terbatas. Meskipun kita telah melakukan peminjaman ke luar negeri, kita tetap masih kekurangan dana untuk membangun. Oleh karena itu kami undang Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu untuk berunding membicarakannya,” kata pejabat tersebut.
“Begini Pak, kenapa Bapak berputar-putar ke sana ke mari seperti yang Bapak tuturkan barusan. Kami rakyat kecil ini tidak mengerti soal begini begitu. Yang kami inginkan dari Bapak-Bapak adalah jawaban pasti tentang tanah kami yang akan diambil dan bangunan rumah kami yang akan dipotong untuk pelebaran jalan tersebut,’ sambung Vitlan.
“Iya, intinya kami hanya butuh kepastian soal ganti rugi yang akan kami terima,” timpal Anjas.
‘Begini saudara, tadi sudah kami jelaskan bahwa pemerintah tidak memiliki dana cukup untuk membangun. Sementara pembangunan harus tetap berja lan. Oleh karena itu kami harapkan pengertian dan partisipasi Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu untuk merelakan tanah dan bangunan kalian demi pembangunan nasional kita,” jelas pejabat itu.
“Jadi, tanah dan rumah kita tak dibayar,” kata salah seorang warga.
“Enak kali,” kata yang lain.
“Kalau tak diganti, kita membangun kembali rumah kita pakai apa, pakai daun,” celetuk yang lain lagi.
Suasana ruangan pertemuan jadi gaduh dan riuh. Raut kegusaran tampak jelas di wajah warga. Mereka sangat tidak nyaman dengan penjelasan dari pejabat tersebut. Suara-suara warga berseliweran, satu dengan lainnya, di dalam Balai Desa tersebut.
Vitlan melayangkan pendangannya ke segenap penjuru ruang Balai Desa. Vitlan menangkap kegusaran mereka dan angkat tangan minta bicara.
”Silakan,” kata pejabat Pemda
“Kalau menyimak penuturan Bapak barusan, saya menangkap kesan bahwa tidak akan ada ganti rugi yang akan diberikan pemerintah kepada warga yang terkena pelebaraan jalan. Betul begitu kan Pak,” ujar Vitlan.
“Yaa… kira-kira begitulah. Lagi pula tanah yang diambil untuk pelebaran jalan tersebutkan Cuma sedikit kok. Karenanya kami minta Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu tidak keberatan untuk melepaskannya secara sukarela,” sambung Pejabat itu.
“Sungguh sangat tidak adil, masak demi membangun, pemerintah tega mengorbankan rakyatnya sendiri. Coba Bapak bayangkan, dari mana kami mencari uang untuk memperbaiki dan membangun kembali rumah kami yang kena potong. Di mana hati nurani Bapak,” sambung Vitlan.
“Saudara jangan berkata begitu. Pemerintah tetap memikirkan nasib rakyat. Wujud perhatian tersebut memang tidak dalam bentuk ganti rugi, akan tetapi dalam bentuk lain yakni pembebasan surat izin membangun bagi warga yang terkena proyek pelebaran jalan. Sebagai kompensasi dari pemotongan tersebut Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu tidak perlu lagi mengurus izin membangun. Pemerintah akan memberikan dengan cuma-cuma surat izin mendirikan bangunan (SIMB). Jadi, dengan demikian Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu bebas mendirikan bangunan rumah, toko seberapa besar dan berapa tingkat yang Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu mau, satu tingkat, dua tingkat atau beberapa tingkat,” sambung pejabat pemerintah.
“Enak dan sejuk benar kedengarannya apa yang Bapak sampaikan. Tapi, tahukah Bapak, apalah arti nya selembar SIMB kalau uang untuk membangunnya tidak ada. Apa kami bisa membangun dengan air liur atau dengan daun itu (sambil menunjuk pot tanaman yang terletak di bagian depan ruangan). Lagi pula, masa begitu luasnya tanah dan rumah kami yang harus dipotong hanya dihargai selember SIMB. Saya yakin seyakin-yakinnya, semua warga yang berkumpul di tempat ini tidak akan pernah dapat menerima cara yang Bapak tawarkan ini. Mere-ka rela tanah dan bangunan mereka diambil untuk membangun. Tapi mereka pasti tidak akan pernah dapat menerima perlakuan semena-mena seperti ini,” kata Vitlan sengit.
“Betul itu, betul itu, kami tak rela tanah dan rumah kami dipotong begitu saja tanpa ganti rugi. Enak saja bicara,” kata warga serentak, yang membuat suasana ruangan menjadi semakin riuh.
”Bapak-Bapak dengar itu kan,” sambung Vitlan.
”Begini Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, kalau dana untuk pembangunan itu harus diambil lagi untuk mengganti seluruh bangunan dan tanah yang dipotong, mana lagi dana yang akan digunakan untuk membangun,” kilah pejabat.
”Lagi pula di mana partisipasi Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu dalam membangun negeri ini dan di mana pula rasa memiliki dari Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu atas negara kita ini?” sambungnya.
bersambung
