Tabedo – Bagian 14
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

!!!
Vitlan duduk, ia mencoba menduga-duga apa yang akan terjadi dan yang akan dilakukan aparat Koramil tersebut kepada dirinya. Dua orang aparat masuk dan mengambil posisi duduk di depan dan sebelah kanan Vitlan. Aparat yang duduk di depan Vitlan memulai percakapan, tepatnya interogasi.

”Nama lengkap?” tanyanya kepada Vitlan.

”Vitlan Gumanti,” jawab Vitlan.

”Tempat dan Tanggal Lahir?”
”Tanah Datar, 26 Mei 1957” jawab Vitlan.

”Di mana itu Tanah Datar?” tanyanya
”Sumatera Barat,” jawab Vitlan
”Ooo” senyumnya sinis.
”Pekerjaan?”
”Mahasiswa ITS, Institut Teknologi Sumatera,”
”Hubungan dengan ibu Sukma?”
”Ibu angkat,”
”Jadi ibu Sukma itu bukan ibu kandung saudara,” sela aparat yang satu lagi.
”Bukan, itu ibu angkat saya,”
”Sudah berapa lama tinggal bersama ibu Sukma,”
”Kira-kira sudah 4 tahun,”
”Kenapa saudara begitu getol ikut mengurusi hal yang bukan urusan saudara?”
”Maksudnya apa Pak,” tanya Vitlan, mengerinyit.

”Di pertemuan beberapa hari lalu, saudara begitu lantang menentang rencana pembangunan yang akan dilaksanakan pemerintah,”
”Ooo …, saya tidak menentang rencana pemerintah Pak, saya cuma menyampaikan aspirasi masyarakat,” bela Vitlan.

”Kalau bukan menentang, apa namanya, sehingga warga serentak menolak rencana pembangunan yang disampaikan pemerintah,” sergahnya.

”Tidak, saya tidak menentang pemerintah, saya tidak menentang pembangunan, saya hanya ingin tanah dan bangunan milik masyarakat diberi ganti rugi, itu saja,” elak Vitlan.

”Sikap dan cara bicara saudara mengesankan saudara anti pemerintah. Kata-kata saudara sangat provokatif dan menghasut. Gara-gara bicara saudara di pertemuan kemarin, rencana pembangunan yang sudah dicanangkan pemerintah jadi berantakan,” katanya dengan nada tinggi.

”Saya tak bermaksud merintangi …”
”Ketepraaak, praak,” suara Vitlan terhenti, terdengar suara benturan keras dari ruang sebelah. Jantung Vitlan berdebar keras, rona wajahnya berubah. Ada perasaan kecut merayap dalam dadanya. Vitlan mencoba menenangkan diri.

”Astaghfirullahal ’azhim,” bisiknya dalam hati berulang kali.
”Apa yang mau saudara sampaikan tadi,” tanya aparat.
Vitlan berusaha menenangkan diri sebelum memberi penjelasan.
”Saya dan juga masyarakat sama sekali tak bermaksud menghalang-halangi pembangunan …” jelas Vitlan.
”Kalau bukan menghalangi pembangunan, jadi apa namanya itu,” potong aparat yang duduk di depan Vitlan.

”Bukan, mereka bukan menghalangi pembangunan. Yang mereka minta rumah mereka diberikan ganti ruginya, itu saja,” bela Vitlan.

”Saudara kok begitu anti sekali sama pemerintah,” sergah aparat yang di samping Vitlan.

”Saya tidak anti …” suara Vitlan terhenti. Terdengar suara ketukan pintu, dan aparat yang duduk di depan memberi isyarat dengan matanya kepada yang di samping Vitlan untuk membukakan pintu. Seorang perwira menengah masuk.

”Selamat sore,” sapa yang baru masuk.
”Selamat sore Pak,” balas kedua aparat tersebut serentak sambari memberi hormat ala militer.

Vitlan memalingkan wajah ke samping dan ia berusaha menyapa ketika ia tahu siapa yang datang, namun tidak jadi dilakukannya, karena mendapat isyarat dari sang perwira. Sang perwira menggamit aparat yang duduk tadi ke luar ruangan, dan tak berapa lama kemudian aparat yang memeriksa Vitlan tadi masuk lagi.

”Untuk sementara pemeriksaan hari ini selesai dan akan dilanjutkan lagi nanti. Sekarang saudara boleh pulang,” jelas aparat.

”Terima kasih Pak, permisi,” kata Vitlan sembari keluar dari ruangan tersebut.
Vitlan berusaha menolak tawaran aparat untuk mengantarnya pulang dengan mobil jip yang membawanya tadi, dan memilih naik becak dayung saja.

”Cak!, becak!” teriak Vitlan memanggil sebuah becak dayung yang berjalan di seberang jalan.

Becakpun datang menghampirinya.
”Simpang Halat Bang,” kata Vitlan sembari langsung melompat ke atas besak tersebut.

Vitlan mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya, mengambilnya sebatang dan menyulutnya.

”Merokok bang,” sapa Vitlan pada tukang becak, sembari menyodorkan bungkus rokoknya.

Tukang becak mengambil sebatang.
”Apinya bang,” pintanya pada Vitlan. Ia menyodorkan rokoknya.

”Makasih bang”, kata tukang becak sembari mengembalikan rokok kepada Vitlan.

Vitlan menghisap dalam-dalam asap rokoknya untuk menutupi kegundahan dan kegalauan pikirannya setelah diperiksa oleh aparat Koramil tadi.

”Sudah sampai Bang,” sapa tukang becak.

”Oohh ya …, berapa Bang,” tanyanya kepada tukang becak begitu turun dari becak.

”Terserah Abang sajalah, biasanya berapa,” jawab tukang becak.

Vitlan mengambil uang pecahan Rp.100,- dan menyerahkannya kepada tukang becak, sembari berkata,
”Ambil saja semua,” kata Vitlan.
”Makasih Bang,” balas tukang becak.

Vitlan bergegas ke rumah, dan sesampainya di depan rumah, dilihatnya Mak sedang bercakap-cakap dengan Mayor Sihombing. Begitu melihat Vitlan, Mak langsung berdiri menyongsong dan memeluk Vitlan.

”Syukurlah Waang sudah pulang Lan,” kata Mak, sambil mengusap-usap kepala Vitlan.
”Awak maghrib dululah ya Mak, Bang,” pinta Vitlan kepada Mak dan Mayor Sihombing, sambil berlalu ke dalam.

bersambung

Bagikan: