Tabedo – Bagian 17
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Sesaat kemudian.

”Ni Bang,” kata Lina menyerahkan pisau.

Vitlan lalu mulai meraut lidi satu persatu dengan pisau tersebut. Lidi itu kemudian dipotong-potong sepanjang jari telunjuknya. Setelah itu setiap 10 batang potongan lidi diikatnya dengan benang menjadi satu. Dari hasil ikatan tersebut didapat 10 ikat lidi dan di sisinya ada pula potongan lidi yang tidak diikat sebanyak 20 batang.

”Nah, sekarang kita belajar,” kata Vitlan kepada Fahri.
”Sini bukunya,” kata Vitlan sembari meraih buku pelajaran Fahri dan meletakkannya di lantai semen.

”Yang nomor 1, berapa?, 14 + 8,” kata Vitlan menuntun Fahri berhitung.
”Ambil lidinya 14,” kata Vitlan.
’1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, …14,’ hitung Fahri.

”Nah, sekarang ambil 10,” suruh Vitlan pada Fahri, dan Fahri mengambil 10 batang lidi dari 14 batang yang diletakkan di lantai.
”Yang 1 ikat ini jumlahnya berapa,” tanya Vitlan, sambil mengangkat ikatan lidi.
”10,” jawab Fahri.

”Berarti jumlahnya sama dengan yang di tangan Fahri kan?” tanya Vitlan.
”Iya Bang,” jawab Fahri
”Nah sekarang, yang 10 itu, kita tukar dengan yang 1 ikat ini,” lanjut Vitlan, sembari menunjukkan lidi yang diikat.

”Jadi yang 14 tadi, sekarang jadi 1 ikat ditambah 4 lidi,” jelas Vitlan, dengan meletakkan lidi yang diikat di sebelah 4 lidi sisa, diikuti Fahri.
”Jadi setiap ada 10 lidi kita ganti dengan… 1 ikat lidi,” sambung Fahri.
”Pateeen,” puji Vitlan sambil mengacungkan jempol kepada Fahri, dan Fahri tersipuh bangga.

”Terus ditambah berapa,” tanya Vitlan.
”8,” jawab Fahri sembari mengambil 8 batang lidi.
”Nah sekarang letakkan lidi yang 8 batang itu di samping lidi yang 4 ini,” perintah Vitlan, yang dii-kuti Fahri meletakkan lidi yang ditangannya secara berjejer.

”Coba hitung,” kata Vitlan, dan Fahri pun mulai menghitung jumlah lidi yang berjejer.
”Berapa,” tanya Vitlan.
”12 Bang,” jawab Fahri.
”Sekarang ambil lagi 10, ganti dengan 1 ikat,” perintah Vitlan, yang diikuti Fahri dengan mengambil 10 lidi dan menggantinya dengan lidi yang diikat.
”Jadi berapa jumlahnya”, tanya Vitlan, sembari meletakkan jari telunjuknya di lidi-lidi tersebut.

”Sepu…luh… dua… pu…luh… dua,” jawab Fahri mengeja.
”Betuuulll,” puji Vitlan sambil mengusap-usap kepala Fahri.
”Yang berikutnya, 17 + 9,” eja Vitlan dan Fahri.

”Ayo kerjakan,” kata Vitlan, sembari menepuk punggung Fahri.
Fahri mengambil 1 ikat lidi dan 7 lidi, kemudian dijejerkan di lantai.
”Ditambah,” kata Vitlan.
”9,” jawab Fahri sambil, menjejerkan 9 lidi di samping lidi sebelumnya.

”Jadi berapa semuanya?” tanya Vitlan.
Dengan cekatan Fahri menghitung sampai 10, dan menggantinya dengan 1 ikat lidi, kemudian menghitungnya lagi. Mulutnya komat kamit tanpa suara, sepuluh … dua pu…luh satu, dua, tiga, empat, lima, enam,
”26,” jawab Fahri sambil menatap mata Vitlan.

”Betuull, paten,” balas Vitlan.
”Sekarang yang ini,” suruh Vitlan menunjuk soal yang di sebelah kanan.
”18 – 9, ayo kerjakan,” perintah Vitlan.

Fahri mengambil 1 ikat lidi dan memandang Vitlan.
Vitlan mengangguk memberi persetujuan, dan Fahri meletakkan ikatan lidi dan mengambil 8 batang lidi lagi dan menempatkannya berjejer. Kemudian dia diam dan memandang mata Vitlan.

”Tadi ditambah, sekarang dikurangi. Berarti … kita ambil 9 dari 18 batang lidi yang ada, coba ambil,” perintah Vitlan.

Fahri menghitung dalam hati sambil memungut satu persatu lidi. Dia berhenti setelah hitungan ke delapan dan kembali menatap Vitlan.

”Kek mana, ndak bisa, kurang lidinya?” tanya Vit-lan.
”He’e,” jawab Fahri, sambil menganggukkan kepalanya.
”Coba yang 1 ikat itu diganti… berapa?” tanya Vitlan.
”10 lidi,” jawab Fahri ragu.
”Betul, gantilah,” balas Vitlan.

Fahri mengganti lidi yang diikat dengan 10 lidi dan menjejerkannya di samping lidi yang sudah ada.

”Sekarang ambil 9,” perintah Vitlan.
Fahri mengambil satu demi satu lidi, sambil menghitungnya sampai 9.
”Berapa sisanya,” tanya Vitlan,
Fahri menghitung dalam hati, sambil jari telunjuknya bergerak-gerak di depan mulutnya.
”9,” jawabnya.
”Betul, bagus,” puji Vitlan.
”Jadi…, kalau lidinya ndak cukup untuk mengurangkan, tukar dulu lidi yang diikat dengan 10 lidi, oke? Sekarang kerjakan soal berikut ya!” kata Vitlan.

Fahri menganggukkan kepala dan tangannya mulai menjejerkan lidi dan menambah atau mengurangi sesuai soal.
Vitlan masuk ke dalam rumah, mandi kemudian shalat zhuhur. Usai shalat Vitlan berpakaian dan kembali ke tempat tadi sambil menenteng sepatu.

”Coba abang lihat, mana yang sudah siap,” kata Vitlan kepada Fahri sambil terus memasang kaus kaki.
”Ini betul, ini betul, ini betul, ini salaahh, ayo perbaiki,” kata Vitlan.

Fahri mengulangi menghitung yang salah tadi, sementara Vitlan menyiapkan memakai sepatunya.

”Siapkan PRnya ya, kalau betul semua, nanti abang kasih hadiah,” ransang Vitlan pada Fahri.
”Betul ya Bang?” balas Fahri girang.
”Betuuul, abang janji,” kata Vitlan, sambil mengusap-usap kepala Fahri, kemudian berlalu ke depan.

Sampai di pinggir jalan depan rumah, Vitlan berdiri menunggu angkutan umum. Sebuah Sudaco di stop, supirnya melambaikan tangan tanda penuh.

Vitlan melirik jam tangannya, sudah hampir pukul 3 sore. Sudaco berikutnya lewat dan distop. Lagi-lagi supirnya melambaikan tangan tanda penuh. 2 buah Bemo lewat beriringan, dan Vitlan menyetop salah satunya. Vitlan berjalan menuju bemo yang berhenti beberapa meter di depan. Belum sampai ke bemo yang berhenti, terdengar suara Mak memanggil.

”Lan, Lan, sini dulu!” teriak Mak.
Vitlan berbalik sembari memberi isyarat berjalan kepada supir bemo.
”Apa Mak?”, tanya Vitlan.
”Ni ada orang mencarimu”, jelas mak , sembari menunjuk seorang keturunan Tionghoa separoh baya. Vitlan mencoba mengingat, dan…
”Pak A Kiat ya, ayok kita ke samping belakang”, ajak Vitlan.
Berdua mereka berjalan ke samping belakang rumah.
”Ini kereta anak Bapak,” kata Vitlan, sembari masuk ke dalam rumah mengambil kuncinya. Kemudian menyerahkannya kepadanya.

bersambung

Bagikan: