Tabedo – Bagian 18
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Setelah sampai di alamat.

”Halo, halo, halo Pak, halo,” teriak Vitlan berulang kali, sambil mengedor-gedor pintu pagar.
Tak ada sahutan.

Lima belas menit berlalu.
”Bagaimana ini,” tanya Vitlan kepada kedua temannya.
”Kita coba sekali lagi,” jawab Basrul, sembari mengguncang-guncang pagar rumah lebih keras.

Jendela lantai atas rumah terbuka seseorang melongokkan wajahnya, tapi kemudian menutup kembali daun jendelanya.

”Halo Halo,” teriak Basrul lebih keras.
”Ada apa Bang,” sapa petugas ronda yang datang ke tempat tersebut.
”Oh, ini mau memberi tahu ada yang kecelakaan,” jawab Vitlan sambil memperlihatkan KTP kedua korban.
Petugas ronda memperhatikan kedua KTP dengan menggunakan senter.
”Sebentar ya Bang,” pinta petugas ronda semberi berlalu.

Selang beberapa lama, petugas ronda sudah berada kembali bersama Kepala Lingkungan.
”Selamat malam, ada perlu apa ya?” tanya Kepling.
”Ini Pak, kami mau memberi tahu ada kecelakaan kepada orang di rumah ini,” jawab Vitlan, sembari menyerahkan KTP korban.

Dengan diterangi senter petugas ronda, Kepling memperhatikan KTP yang disodorkan kepadanya.
”Oh ya, memang ini rumahnya,” jelas Kepling lalu mengetok pagar beberapa kali.
”Pak A Kiat, Pak A Kiat, ini saya Kepling, tolong keluar sebentar, penting Pak,” pinta Kepling setengah berteriak.

Jendela tadi kembali terbuka.
”Siapa itu,” tanya suara dari jendela.
”Saya Kepling Pak A Kiat,” jelas Kepling lagi.
”Sebental Pak Kep,” balas A Kiat.

Tak berapa lama kemudian, pintu rumah terbuka dan A Kiat keluar membuka pintu pagar.
”Masuk Pak Kep, masuk Bapak-Bapak,” kata A Kiat.
”Begini Pak A Kiat,” kata Vitlan setelah duduk, memulai pembicaraan.
”Nama saya Vitlan, dan ini, teman saya (sembari menepuk paha Basrul) Basrul, dan ini (sambil menepuk paha Yono yang duduk di sebelah Basrul). Kami bertiga datang ke sini memberi tahu Pak A Kiat dan keluarga bahwa anggota keluarga Bapak si A Huat berdua dengan temannya si A Hong tadi belanggar, dan sekarang berada di Rumah Sakit Umum, ini KTP dan dompet mereka (sembari menyerahkan dua dompet dan dua KTP kepada Pak A Kiat). kereta anak Bapak ada di rumah saya di SM Raja simpang Halat,” jelas Vitlan, sembari mengeluarkan notes dari saku bajunya dan menuliskan alamatnya. Kemudian menyobek dan menyerahkannya kepada A Kiat.

”Bagaimana kondisinya sekalang,” tanya Pak A Kiat cemas.
”Sebaiknya pak A Kiat, segera saja ke Rumah Sakit Umum. Jadi, kami permisi dulu,” jawab Vitlan, sambil pamit.
”Ya ya, telima kasih, telima kasih,” jawab A Kiat dengan logat Cinanya.

Waktu menunjukkan hampir pukul empat pagi, ketika Vitlan dan ketiga temannya tiba kembali dirumahnya. Vitlan ke dalam dan menghidupkan lampu. Bagian dada dan tangan baju kaosnya dipenuhi bercak darah dan kotoran dari debu aspal. Bercak yang sama juga mengotori bagian depan celananya.

Vitlan segera ke kamar mandi dan mencuci pakaiannya, kemudian menjemurnya di halaman samping. Dengan hanya berhanduk, Vitlan naik ke kamarnya, berpakaian dan berkain sarung. Tidak berapa lama kemudian terdengar azan subuh. Vitlan segera shalat dan kemudian langsung rebahan di ranjang segera saja tertidur.

Pukul setengah dua belas tengah hari Vitlan bangun. Menggeliat-geliatkan badan sebentar, kemudian ke kamar mandi di lantai dasar. Setelah itu ke depan, ke steling mengambil piring, melongok-longok mengamati lauk-lauk yang ada di steling sembari mengisi piringnya dengan nasi. Mengambil sayur, sepotong ikan gembung dan cabe secukupnya. Dengan memegang gelas di tangan kiri, Vitlan melangkah ke lorong belakang, makan di sana sambil duduk berselonjor.

”Aneh, keretanya ndak apa-apa, tapi orangnya padam,” gumam Vitlan sendirian sembari terus memperhatikan kereta yang belanggar tadi malam tercagak di depannya. Tangan kirinya meraba seluruh badan kereta tersebut, sementara tangan kanannya memegang piring nasi.

”Cuma lecet sedikit-sedikit. Kok bisa ya?” lanjutnya terus bergumam sendirian.

Vitlan kembali duduk ke tempat semula melanjutkan makannya sampai selesai. Setelah itu ia masuk ke dalam rumah, sebentar kemudian kembali lagi. Duduk berselenjor kaki, mengeluarkan rokok dari saku celana dan mengisapnya sebatang.

Vitlan masih larut dalam kesendiriannya. Sebatang ji sam soe telah habis diisapnya. Dia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan rokok sebatang lagi lalu diisapnya. Fahri datang dan duduk di sampingnya.

”Bang Alan, ajari Fahri berhitunglah Bang,” rengek Fahri.
”Sini, mana yang mau diajari,” jawab Vitlan.
”Bentar ya Bang,” sahut Fahri sembari berlari ke dalam rumahnya, kemudian kembali lagi dengan menenteng tas sekolahnya. Langsung duduk dan mengeluarkan buku pelajaran berhitungnya. Dia membuka halaman dan membaliknya satu persatu sambil memperhatikan isinya.

”Ini Bang,” katanya sambil menunjukkan halaman yang dimaksudnya.
”Yang mana?” goda Vitlan.
”Abang ini pun, yang ini,” rungut Fahri sambil menunjuk pelajaran yang dimaksudnya.

”Oh yang ini,” balas Vitlan.
”Pergi mintak lidi gi, sama kak Asni di depan sana,” perintahnya pada Fahri.

Fahri segera berlari ke tempat Asni yang sedang membuat sarang ketupat di tempatnya berjualan di tepi jalan di sebelah kedai mak Etek. Kemudian kembali lagi dengan sebatang lidi.

”Ni Bang lidinya,”
”Kok sebiji, mana cukup, yang banyak dikit,” kata Vitlan kepada Fahri sembari menyuruhnya kembali.

”Eee banyak,” jawab Fahri sambil garuk-garuk kening yang menjadi hobinya lalu balik berlari ke depan, dan tidak lama berselang dia telah kembali lagi, dengan segenggam lidi.
”Nii Bang,” katanya, sembari menyodorkan segenggam lidi.

”Aa itu baru paten,” puji Vitlan.
”Lina, pinjam pisaulah,” pinta Vitlan kepada gadis tetangga yang sedang duduk di ruang tamu rumah di sebelah belakang tempat Vitlan duduk.

bersambung

Bagikan: