Tabedo (Bagian 2)
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

(Bagian 2)

Tanpa disadari, sedari tadi seseorang memerhatikannya. Vitlan berpaling ke samping kanannya dan bertatapan dengan seorang gadis. Ia terpana, hatinya bergetar dan jantungnya berdetak kencang. Sesaat kemudian mereka saling tertunduk.
Waktu terus berjalan, beberapa kali mereka saling melirik dan beradu pandang. Vitlan mulai gelisah, namun ia mencoba menyikapi keadaan tersebut dengan tenang. Vitlan mencoba mengalihkan perhatiannya kepada anak anak yang bermain-main tak jauh dari tempatnya berdiri dan mendekatinya. Beberapa saat kemudian ia kembali ke tempat semula. Ia melirik dan gadis itu pun melakukan hal yang sama. Si gadis tersenyum, Vitlan salah tingkah. Hingga suatu ketika,
“Wau,” terdengar suara jeritan. Vitlan refleks mendekat,
“Kenapa, kenapa,” tanya Vitlan, yang dijawab oleh teman si gadis,
“Ini bang, si Icha diganggu anak itu,” katanya sembari menunjuk seorang anak laki-laki usia kira-kira sebelas tahun bergerak menjauh.
Vitlan segera mengejar dan menangkap tangan anak tersebut dan menamparnya,
“Kurang ajar kau, kecil-kecil sudah berani mengganggu perempuan,”
Anak itu menjerit kesakitan.
“Ampun bang, ampun bang,” pintanya.
Vitlan melepaskannya,
“Awas kau,” ancam anak itu kepada si gadis, sembari menunjuk-nunjuk wajah si gadis dan kemudian cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Kelompok gadis itu menjadi takut dan memohon Vitlan bersedia menemani mereka.
“Bang, temani kami ya,” pinta salah seorang mereka.
Spontan Vitlan mengangguk dan berdiri di samping mereka.
Saat berikutnya,
“Cicik, Icha, Raudah,” demikian satu demi satu mereka memperkenalkan diri kepada Vitlan.
‘Vitlan Gumanti, biasa dipanggil Alan,’ balas Vitlan.
Vitlan memanggil Maman, Surya dan Jamil dan memperkenalkannya kepada ketiga gadis tersebut.
“Kalian bertiga saja,” sapa Vitlan memulai pembicaraan setelah beberapa lama mereka membisu.
“Iya bang,” jawab mereka serempak.
“Apa tidak ada saudara atau teman laki-laki yang mendampingi kalian,” lanjut Vitlan.
“ Tidak ada Bang. Tapi kami sudah biasa kok, bang, pergi-pergi bertiga,” potong Cicik.
“Iya, tapi ini kan malam,” sambung Vitlan.
“Kami tak sangka kejadian barusan kok, Bang,” jawab Cicik lagi.
“Lain kali kalau kalian nengok acara-acara seperti ini, bawa teman laki-laki ya,” nasihat Vitlan.
Diam sebentar,
“Kalian tinggal di mana?” tanya Vitlan.
“Di Amaliun Bang,” jawab Cicik lagi. Sementara kedua temannya, Raudah dan Icha diam saja.

Melihat Vitlan mulai tampak akrab dengan gadis-gadis tersebut, Maman, Surya, dan Jamil berusaha menjauh, mengambil jarak dengan mereka. Ketiganya saling pandang,
“Heran ya, ternyata batu karang itu bisa lebur juga ya,” celetuk Jamil pada Maman dan Surya, setelah melihat Vitlan mulai berubah dan membuka diri pada perempuan.
“Mungkin dia sudah kena pincuknya,” timpal Surya.
“Yaa sudah, berikanlah kesempatan kepada teman,” sela Maman sembari mengajak kedua rekannya lebih menjauh lagi.
“Hei, ke mana kalian,” teriak Vitlan.
“Ntar nengok-nengok,” jawab Maman sembari berlalu.
Maman adalah teman yang mengerti dan memahami siapa Vitlan. Mereka berdua sama-sama aktif di sanggar Bambu dan Lingkaran Artis Film, Poltabes Medan & Sekitarnya.
Pukul 23.00 WIB acara pentas musik selesai digelar,
“Bang Alan, temani kami sampai ke rumah ya, bolehkan ?” pinta Cicik.
Vitlan menganggukkan kepala tanda setuju, dan selanjutnya diam.
Mereka berjalan beriringan berempat. Sekali-sekali Vitlan melirik ke samping dan beradu pandang dengan Icha, kemudian keduanya sama-sama menunduk.
Ibu Cicik membuka pintu begitu ia mendengar bunyi derit pintu pagar dibuka, dan ia menyambut kedatangan anak-anaknya dengan penuh selidik begitu dilihatnya seorang pemuda gondrong menyertai kepulangan mereka.
“Assalamu’alaikum,” sapa mereka serentak.
“Wa’alaikummussam, mari masuk nak,” sapa ibu Cicik pada Vitlan.
“Terima kasih Buk, sudah larut,” balas Vitlan.
“Bang, masuk dulu Bang,” timpal Cicik sembari menyeret lengan Vitlan masuk.
“Assalamu’alaikum,” sapa Vitlan begitu sampai di depan pintu.
“Wa’alaikum salam,” jawab mereka serentak.
Vitlan menyalami ibu Cicik,
“Vitlan buk dipanggil Alan saja” katanya memperkenalkan diri.
“Silakan duduk,” sapa ibu Cicik.
Vitlan duduk dan sekilas ia memandang ke sekeliling ruangan, kemudian tunduk memandangi bunga-bunga segar yang terletak di atas meja tamu. Ibu, Cicik dan Raudah ikut duduk. Icha langsung ke belakang.
Sesaat kemudian,
Padanan kata:
nengok = lihat

Bersambung …

Bagikan: