Tabedo – Bagian 22
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

”Yok Bang,” katanya.


Bang Giman mulai mengayuh, becak bergerak perlahan, meninggalkan kediaman Ibu Cicik. Vitlan melambaikan tangan pada mereka bertiga kemudian hilang dikeremangan malam.

!!!

Di tengah pejalanan dekat masjid raya, di seberang jalan, Vitlan melihat Jamil, Anjas, Maman dan Basrul bejalan beriringan, berlawanan arah dengan becak yang ditumpangi Vitlan.

”Bang, Bang, ntar Bang,” kata Vitlan sembari menepuk-nepuk tangan kiri abang becak.

Seketika becak berhenti, Ia menyerahkan uang Rp.50,- kepada tukang becak, kemudian turun dan setengah berlari menyeberang jalan.

”Hei, hei, ke mana kalian?” tanya Vitlan kepada mereka.
”Hei Lan,” jawab mereka serentak.
”Ada film bagus di Paradiso,” jawab Basrul.
”Film silat, bintangnya Fu Shen sama Lo Lieh,” sambung Jamil yang memang sangat hobbi film silat.
”Kau ke mana saja Lan?” tanya Jamil.
”Aku dicari-cari aparat, jadi untuk sementara aku harus menghindar dulu,” jawab Vitlan yang berjalan di tengah-tengah teman-temannya.
”Katanya kau sempat ditahan ya Lan?” tanya Anjas.
”Darimana kau tahu?” Vitlan balik bertanya sambil tertawa.
”Ndak, aku dengar selentingan begitu,” jawab Anjas juga tertawa.
”Aku memang sempat dicegat aparat waktu pulang kuliah, tu di depan Makam Pahlawan, dan dibawa ke Koramil …”
”Hah … jadi kau sempat ditahan Lan?” potong Jamil dengan suara sedikit meninggi, sembari memegang bahu Vitlan yang membuat langkah Vitlan tertahan.
”Hampir,” jawab Vitlan.
”Hampir kek mana?” lanjut Jamil.
”Ya, hampir ditahan,” jelas Vitlan.
”Trus, trus,” tanya Jamil lagi.
”Setelah sampai di kantor Koramil, aku diinterogasi. Tengah aku diinterogai tersebut datang Bang Hombing. Interogasi dihentikan, kemudian aku dilepaskan,” jelas Vitlan.
”Trus, kau disiksa ndak Lan?” selidik Jamil.
”Ndak, aku baru ditanya tiga empat pertanyaan, Bang Hombing datang. Terus aku dikeluarkan. … Untung Bang Hombing datang tepat pada waktunya. Kalau tidak mungkin ceritanya sudah lain,” jelas Vitlan.
”Hidupmu memang penuh keberuntungan Lan. Punya mak angkat yang sangat sayang dan penuh perhatian, disegani orang-orang tua, anak kuliahan, dan digila-gilai banyak cewek cantik lagi,” puji Anjas sambil menepuk-nepuk bahu Vitlan.
”Alaaah, kau bisa saja Njas,” jawab Vitlan.
”Betul kok Lan, barangkali cuma nasibmu saja yang belum menjadi orang hebat, Lan,” bela Anjas.
”Aku ndak pernah bermimpi jadi orang hebat, yang penting bagiku adalah bagaimana kehadiranku bisa memberi manfaat bagi orang lain, Njas. Hanya itu saja,” kata Vitlan.
”Aku doakan agar kau bisa mencapai apa yang kau inginkan, Lan,” balas Anjas.
”Makasih Njas,” sahutnya.

Mereka telah sampai di depan kolam renang Paradiso, tempat di mana mereka akan menonton film.

Di area bagian dalam Paradiso tersebut terdapat kolam renang, yang pada siang hari biasa digunakan oleh anak sekolah dan masyarakat untuk belajar berenang, pembinaan atlit, maupun untuk kebugaran dan kesenangan belaka. Sementara pada bagian lain terdapat gedung bioskop dengan bangunan setengah terbuka, yang digunakan untuk pemutaran film hanya pada malam hari saja.

Halaman Paradiso telah ramai oleh orang-orang yang akan menonton film. Penonton film di sini umumnya anak-anak muda penggemar film silat. Ada yang tegak-tegak dekat pagar, ada yang melihat-lihat papan iklan film yang sedang dan akan diputar. Ada juga yang duduk-duduk di bok, ada yang bersandar di dinding bangunan.

Banyak juga pedagang asongan yang menjajakan aneka barang dagangan mereka seperti: kacang rebus dan jagung rebus, yang menggunakan gerobak dayung; pedagang kacang goreng, dengan ciri khasnya, sumpit dan suluh kecil dari kaleng yang diberi sumbu kain; kacang tojin, kuaci, bon-bon, rokok dan lain-lain.

”Hei, hei, mana duitnya,” kata Jamil pada Vitlan dan teman lainnya.
”Malam ini biar aku yang traktir, berapa harga tiketnya Mil?” kata Vitlan.
”Rp.75,-” jawabnya.

Vitlan mengeluarkan dompet dan mengambil uang lembaran lima ratus rupiah dan menyerahkannya kepada Jamil. Jamil menerima uang tersebut dan berlalu. Tak lama kemudian ia telah kembali dengan lima lembar tiket.

Pintu gerbang bagian dalam Paradiso telah dibuka. Para penonton pertunjukan sebelumnya keluar. Lima belas menit kemudian, penonton pertunjukan berikutnya dipersilakan masuk. Mereka masuk berdesak-desakkan, agar dapat tempat duduk yang mereka inginkan, karena di Paradiso tidak dikenal sistim penomoran dan kelas tempat duduk, seperti pada bioskop umumnya. Harga tiketnya pun tidak ada perbedaan, semua sama.

Vitlan dan teman-temannya ikut berdesak-desakan masuk ke dalam. Sampai di dalam, mereka mencari tempat duduk di sebelah belakang. Vitlan duduk diapit oleh Basrul dan Maman.

Potongan-potongan film yang akan segera diputar (ekxtra film) dan berbagai iklan produk barang, telah ditayangkan. Penonton berteriak, karena film yang ditunggu-tunggu belum juga diputar.

”Wuuuhhh,” setiap kali iklan berganti.
Sampai tiba waktunya film yang dinanti mulai ditayangkan. Penonton mulai fokus ke layar bios-kop. Pada saat adegan laga yang seru, penonton ikut berteriak,
”Ciaatt, ciaatt, ciaatt,” gema suara di ruang bioskop.

Suasana gedung bioskop pun menjadi tambah riuh oleh suara penonton. Suasana riuh seperti ini berlangsung sampai pertunjukan film berakhir.

bersambung

Bagikan: