Tabedo – Bagian 23
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Pukul 11.30 malam pertunjukan film usai. Vitlan dan teman-temannya tetap duduk ditempat menunggu penonton lain keluar gedung bioskop. Mereka baru beranjak dari bangku penonton ketika penonton yang masih berada di dalam gedung bios-kop tinggal sedikit. Mereka pulang dengan jalan kaki, seperti kebanyakan penonton lainnya. Ada juga sebahagian penonton pulang dengan naik be-cak, dan sedikit dari mereka, yang datang dan pulang naik kereta.

”Mil, Njas, Man, Rul, besok aku berangkat ke Tanjung Balai. Aku belum tahu kapan baliknya,” kata Vitlan kepada mereka.
”Ada urusan apa kau ke sana Lan?” tanya Jamil.
”Urusan itu… masak kau tak tau Mil,” goda Maman.
”Iya Lan, urusan cewek yang hari tu, siapa namanya? I … I … Icha, ya Icha. Dah kek mana kau sama dia, rupanya Lan?” tanya Jamil bersemangat.
”Kalian dengarlah dulu aku,” pinta Vitlan.
”Haa, ya ya,” jawab Jamil.
”Begini ceritanya. Ini sama kalian saja, kuceritakan ni ya. Beberapa waktu yang lalu bapak si Icha itu disidangkan untuk terakhir kalinya dan dijatuhi hukuman 18 tahun penjara …”
”Haaa (serempak). Bapaknya kenapa rupanya, merampok, membunuh,” potong Jamil.
”Inilah kau, main potong saja. Dengar dululah penjelasanku. Bapaknya itu, kan kepala Dinas, eh kepala Kantor. Ah ndak tahu aku. Pokoknya, Kepalalah. Ia dituduh menggelapkan dana anggaran yang ada di kantornya,” kata Vitlan.
”Banyak Lan?” tanya Anjas.
”Dengarnya ratusan juta,” kata Vitlan.
”Perampok rupanya,” selentik Jamil spontan.
Anjas menyikut rusuk Jamil sambil mengerlingkan matanya kepada Jamil. Jamil diam.
”Jadi Dia sangat terpukul dengan kenyataan itu, Dia merasa malu sekali, karenanya dia sekarang mengucilkan dirinya ke tempat neneknya di sana. Aku harus ke sana melihat kondisinya. Mudah-mudahan kehadiranku dapat memperbaiki keadaan,” jelas Vitlan.

Mereka telah melewati masjid raya. Sampai di depan sebuah gang.
”Kami balik ya,” kata Jamil dan Anjas berbarengan sambil melambaikan tangan dan berlalu masuk gang.
Bertiga mereka berjalan menyusuri trotoar jalan hingga sampai di depan kedai nasi Mak.

”Yok balik, aku dah ngantuk kali,” kata Maman langsung menyeberang jalan, sambil melambaikan tangan. Vitlan dan Basrul balas melambaikan ta-ngan.
”Rul, kau dah mau balik pulak?” tanya Vitlan.
”Ya, besok aku ada kerjaan,” jawab Basrul.
”Ntar Rul, aku mau ngomong samamu sebentar,” ajak Vitlan lalu menggamit lengan Basrul ke dalam kedai, dan mengambil tempat duduk di pojok sebelah belakang.
”Begini Rul, kira-kira sepuluh hari yang lalu, Pak A Kiat datang kemari menjumpaiku, dan…
”Ntar Lan, Pak A Kiat itu siapa, dan apa hubungannya dengan pembicaraan kita ini?” potong Basrul.
”Lan, jaga kedai ya, Mak dah ngantuk,” kata mak.
”Ya Mak,” jawab Vitlan.
”Hai Rul, kau dengar aku dulu, jangan asal potong saja. Kau, sama pula kek si Jamil, kutengok. Pak A Kiat itu adalah orang tua dari orang yang tabrakan tempo hari, yang kita datang memberitahu ke rumahnya malam itu, ingat kau ndak,” jelas Vitlan.
”Haa ya, ya, ya ha’a, aku ingat,” jawab Basrul.
”Dia datang ke sini untuk mengambil kereta anaknya, yang kusimpan di samping belakang, terus sebelum beliau pamit, ia memberiku amplop ini (sembari mengeluarkan amplop berisi uang dari kantong celananya), katanya sebagai tanda terima kasih telah susah-susah mencari rumahnya malam-malam lagi,” jelasnya, menirukan pak A Kiat.
”Dikasih berapa Lan?” tanya Basrul.
”Ndak tahu, belum kubuka, bukalah!” kata Vitlan menyodorkan amplop tersebut kepada Basrul.
Basrul membuka amplop dan menghitungnya.
”Lima puluh ribu Lan,” kata Basrul.
”Ah masak, banyak kali,” sambung Vitlan heran dan setengah tidak percaya.
”Benar, cobalah kau hitung sendiri,” kata Basrul sambil menyodorkan uang tersebut.
Vitlan menghitung uang tersebut dan
”Betul ya, lima puluh ribu,” decak Vitlan.
”Kita kan berlima waktu itu, jadi uang ini kita bagi limalah ya,” lanjut Vitlan.
”Begini saja Lan. Tadi kau bilang kau mau ke Tanjung Balai besok, dan baliknya belum tahu kapan. Coba kau bilang dulu samaku, apa maksudnya belum tahu itu,” tanya Basrul.
”Ya … aku kan ndak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana Rul, makanya ku bilang belum tahu baliknya kapan. bisa saja aku di sana hanya satu dua hari saja, bisa juga sepekan, dua pekan, sebulan, atau malah ndak balik sama sekali ke sini,” jelas Vitlan serius.
”Ya ya, aku paham. Kalau begitu kau bawa saja uang itu semua, untuk keperluanmu, karena bagaimanapun kau mesti punya cadangan uang yang cukup untuk menghadapi semua ini Lan,” kata Basrul.
”Iya Rul, tapi…
”Sudahlah Lan. aku tahu maksudmu. Untuk teman-teman yang lain itu, biar aku nanti yang menjelaskannya. Sekarang kau kantongi saja uang itu.” potong Basrul sambil merangkul dan menepuk-nepuk bahu Vitlan.


Vitlan terharu, matanya berkaca-kaca menatap Basrul. Ia bangkit memeluk temannya itu.

”Sudahlah Lan, rejekimulah itu,” lanjut Basrul (sambil menepuk-nepuk bahu Vitlan).

Ia duduk kembali. Basrul mengambil rokok yang tadi diletakkan Vitlan di atas meja sebatang dan menghisapnya. Vitlan ikut mengambil sebatang dan menyulutnya. Asap rokok bergulung-gulung ke udara.

”Aku pulang ya Lan, sudah larut dan selamat jalan untukmu,” kata Basrul sembari berdiri dan berjalan ke depan.

Vitlan ikut berdiri dan mengiring di samping Basrul, sampai di depan kedai.

”Yok Lan,” kata Basrul sambil menepuk bahu Vitlan kemudian berlalu.
”Yok Rul,” balas Vitlan sambil melambaikan tangan.

Vitlan kembali ke dalam kedai. Dia menuju steling nasi memperhatikan lauk-lauk yang ada di sana. Dia tak tertarik, lalu menutupkan kembali kain penutup steling. Ia kemudian beranjak ke steling yang satunya lagi, lalu menghidupkan kompor dan memasak mie tiaw, makanan kesukaannya.

bersambung

Bagikan: