TABEDO – Bagian 24
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Selesai makan, Vitlan merapikan meja, kursi, menyapu lantai dan mencuci piring, sendok dan gelas yang kotor. Setelah itu membaca koran edisi hari itu yang belum sempat dibacanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu tengah malam. Jalanan sudah mulai sepi, tidak banyak lagi kendaraan yang lewat. Vitlan menutup kedai, dan beranjak ke kamar mandi untuk berwudhuk dan setelah itu naik ke lantai dua.

Sesampai di kamar, Vitlan shalat Isya. Setelah itu berganti pakaian dengan piyama. Mengambil rokok sebatang lalu menghisapnya sembari membaringkan badan di atas tempat tidur. Rokok di tangannya baru habis diisap kira-kira separoh, ia telah tertidur, dengan sisa batang rokok yang sudah tidak menyala lagi masih terselip di sela jari telunjuk dan jari tengahnya.
!!!

Pagi itu Vitlan bangun agak terlambat. Ia baru bangun sekitar pukul setengah enam. Tidak seperti biasanya, pagi ini, ia langsung mandi. Selesai mandi, kembali ke atas, shalat dan bersalin. Memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas, kemudian turun lagi, sarapan ala kadarnya dari sisa makanan yang tidak habis terjual.

Pukul setengah tujuh Vitlan keluar rumah dengan terlebih dahulu meninggalkan pesan untuk Mak di secarik kertas dan diletakkan di atas meja di depan steling. sampai di depan, ia memanggil becak mesin yang biasa parkir di sepanjang jalan dekat simpang, di depan rumahnya.

”Bang, Bang Parman, sini,” katanya memanggil tukang becak mesin yang bernama Parman.
”Ke mana Lan,” tanya bang Parman.
”Amaliun Bang,” jawab Vitlan langsung naik ke becak.
”Mau ke mana kau rupanya, bawa-bawa tas segala,” tanya Parman sambil menghidupkan mesin becaknya.
”Mau ke Tanjung Balai Bang, ada perlu,” jawabnya singkat.
”Ooo…, ada perlu apa kau ke sana Lan?” tanyanya
”Ada keperluan sikit Bang, penting,” jawab Vitlan
”Ooo…, lama Lan?” tanyanya lagi.
”Belum tahu Bang, bisa sehari, bisa seminggu.”
”Naik apa kau ke sana?”
”Naik Kereta Api, Bang,”
”Ke Amaliun ada perlu apa?”
”Mau ke tempat teman dulu, Bang,”
”Bang, pinggir Bang,” kata Vitlan.

Parman menginjak pedal rem dan becak pun berhenti.

”Tunggu ntar ya Bang,” kata Vitlan sambil melompat turun dan setengah berlari membuka pagar dan terus menuju pintu rumah.

”Assalamu’alaikum,” teriak Vitlan.
”Wa’alaikum salam,” kata suara dari dalam rumah dan pintu rumah segera terbuka.
”Masuk dulu Bang,” kata Raudah.
”Ciciknya mana, dah siap?” tanya Vitlan.
”Sudah Bang,” jawab Cicik melongokkan muka dari ruang tengah.
”Nak Vitlan sarapan dulu, Ibuk sudah siapkan nih,” ajak Ibu Cicik begitu melihat Vitlan sudah datang.
”Sudah Buk, Vitlan sudah sarapan tadi di rumah,” bela Vitlan.
”Ndak apa, sarapan saja lagi bersama orang ini,” desak Ibu Cicik.
”Becaknya sudah menunggu Buk,” jawab Vitlan.
”Sudah, Panggil saja sekalian tukang becaknya, sarapan sama-sama,” kata Ibu Cicik sambil melangkah menuju pintu diiringi Vitlan.
”Bang, masuk dulu sini,” kata Ibu Cicik.
”Bang Parman, masuk dulu Bang,” kata Vitlan, sembari mendekat dan menggamit tangannya masuk ke dalam rumah.

Parman menurut saja ke dalam rumah. Mereka sarapan bersama. Selesai sarapan, mereka keluar menuju becak. Vitlan mengangkat koper Cicik.

”Makasih Buk, sarapannya,” kata Parman kepada Ibu Cicik.
”Ya sama-sama,” jawab Ibu Cicik.
”Mari sini kopernya Lan,” pinta Parman sembari memegang koper yang dijinjing Vitlan. Ia melepaskan jinjingannya.
Cicik naik duluan, kemudian Vitlan.

Sementara koper diletakkan di depan kaki mereka.
”Kalau tidak kopernya di belakang saja Lan,” kata Parman lalu berjalan ke sebelah kiri becak.
”Boleh juga Bang, biar kakinya lempang,” jawab Vitlan.

Parman memindahkan koper ke bagian belakang becak. Setelah itu becak mulai berjalan

”Kami pergi ya Buk,” pinta Vitlan dan Cicik berbarengan.
”Ya Nak, hati-hati ya… sampaikan salam Ibu sama Nenek, mak Wo dan, Icha ya…,” balas Ibu Cicik.
”Ya Buk,” jawab Cicik.

Becak mulai melaju menuju stasiun kereta api. Sampai di stasiun, Vitlan langsung menuju loket untuk membeli karcis, tapi Cicik mencegahnya.

”Bang Alan mau ke mana, karcisnya sudah ada Bang, sudah dipesan ibuk tadi malam sama temannya,” kata Cicik.

Vitlan menghentikan langkahnya dan berbalik.

”Oh ya,” katanya.

Sementara itu, Parman menurunkan koper dari becak. Cicik turun dari becak dengan keranjang jinjingnya. Parman membantu mengangkat koper sampai ke peron.

”Makasih Bang,” kata Vitlan kepada Parman sembari menyodorkan uang dua ratus rupiah.
”Ambil saja semua Bang,” kata Vitlan begitu dilihatnya Parman merogoh kantong, mau membe-rikan kembaliannya.
”Makasih Lan,” kata Parman lalu berlalu.

Vitlan dan Cicik naik ke gerbong bisnis dan mencari tempat duduk sesuai nomor karcis yang ada ditangan Cicik. Setelah dapat Vitlan meletakkan koper di sebelah dinding, kemudian meletakkan tas sandangnya di atas koper tersebut. Sementara Cicik memangku keranjang. Tas kecilnya tetap disandangnya.

!!!

Kereta berangkat hampir setengah jam dari jadwal semestinya. Vitlan duduk di sebelah dalam, sementara Cicik duduk di sebelah jendela. Beberapa saat kemudian, Cicik mengeluarkan beberapa buah bon-bon dari tasnya, dan menyodorkannya kepada Vitlan.

”Bang, nih ada bon-bon Bang”, kata Cicik memecah kebisuan.

Vitlan mengambilnya dua dan memakannya.

”Berapa lama kira-kira kita di jalan Cik,” tanya Vitlan membuka obrolan.
”Kira-kira lima sampai enam jam Bang,” jawabnya.
”Lama juga ya?” balas Vitlan
”Ya…, gitulah, Bang. Karena begitu sampai di Tanjung, kita naik erbete lagi ke rumah,” terang Cicik.
”Jadi, rumahnya bukan di Tanjung Balai, Cik?” tanya Vitlan mengerenyitkan keningnya.
”Bukan, Bang. Di Bagan,” jelas Cicik.
”Bagaimana sebenarnya ceritanya, Om Mahidin itu, kok sampai ditahan, Cik?” selidiknya.
”Om Mahidin itu kan menjabat sebagai Kakandep. Jadi kan banyak uang di sana. Waktu diadakan pemeriksaan oleh atasannya dari Kanwil, dari… inspektorat gitulah, dia tidak bisa menjelaskan dana yang telah dikeluarkan. Karenanya dia diperiksa,” jelas Cicik.
”Terus,” desaknya.
”Hasil pemeriksaan itulah yang menyeretnya ke penjara, Bang,” kata cicik.
”Cicik yakin Om itu yang melakukannya,” tanyanya lagi.
”Yaa…, kek mana ya, Bang, dibilang percaya, ya tidak juga. Dibilang tidak percaya, kenyataannya seperti itu. Om itu, sudah ditahan,” jawab Cicik sambil mendesah.
”Kehidupan keluarganya cemmana rupanya,” tanya Vitlan.
”Memang sejak menjabat Kakandep, banyak perubahan dalam kehidupan keluarganya. Om itu sudah punya rumah baru, abang dan kakaknya Icha yang kuliah di USU, masing-masing punya mobil. Cuma Icha saja yang ke mana-mana naik angkutan umum atau diantar oleh supir,” jawabnya.
”Anak Om itu berapa?”
”Anak Om itu ada empat. Yang paling besar bang Syahbuddin, nomor dua, kak Hasnah, dipanggil Butet, terus Icha dan yang paling kecil Saldin,” jelas Cicik.
”Sekarang mereka pada tinggal di mana, Cik?”
”Bang Syahbuddin dan kak Butet, tinggal bersama adik bapaknya di Medan, sementara mak tuo, Icha dan Saldin tinggal bersama nenek.”

bersambung

Bagikan: