Tabedo – Bagian 25
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Beberapa stasiun telah dilewati, dan disetiap stasiun tersebut kereta api berhenti menaikan dan menurunkan penumpang. Kereta berhenti lagi. Kali ini banyak sekali pedagang yang naik ke atas gerbong menjajakan berbagai penganan.

Ada kacang rebus, jagung rebus, kacang tojin, kripik udang, kripik singkong/ubi rambat, kripik jengkol, sate kerang, sate kentang, sate jengkol, lemang-tapai, pecal, roti basah dan roti kering, buah-buahan, seperti; rambutan, jambu air, jambu bol, jambu perawas, nangka, semangka, nanas, pepaya dan banyak lagi yang lainnya. Ada juga yang menjajakan nasi bungkus.

Suasana dalam gerbong menjadi riuh oleh suara mereka. Mereka berjalan bolak balik dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Hal ini mereka lakukan berulang-ulang. Pluit petugas berbunyi, tanda kereta api akan melanjutkan perjalanannya.

Sebahagian dari pedagang asongan tersebut bersegera turun. Tetapi sebahagian lainnya tetap berada di atas gerbong mengikuti lajunya kereta api.

Mereka berjalan lagi dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain untuk menjajakan barang dagangan mereka, hingga Kereta Api, berhenti di stasiun berikutnya.


Waktu telah menunjukkan tengah hari. Cicik mengeluarkan rantang, dua buah piring kaleng dan beberapa buah sendok dari keranjang. Sebuah piring dia berikan kepada Vitlan dan yang satunya lagi diletakkan di pangkuannya. Rantang dikeluarkan dari jinjingannya satu persatu. Ada kalio hati, ada gulai ikan asam pedas dan tumis buncis dicampur wortel.

”Ayo Bang, kita makan,” ajak Cicik.

Tanpa menjawab, Vitlan langsung mengambil nasi, kemudian mengambil gulai ikan asam pedas dan tumisan.

”Wah, enak kali masakannya,” komentarnya sambil terus mengunyah.
”Tolong, Cik,” kata Vitlan kepada Cicik sambil menunjuk rantang yang berisi nasi.

Cicik menyerahkan rantang yang diminta Vitlan. Ia mengisi piringnya dengan nasi tambuh (hampir sama banyaknya dengan dengan piring pertama) dan mengambil kalio hati dua potong.

Vitlan menikmati betul makan siangnya hari itu. Keringat bercucuran dari kening sampai ke tengkuknya. Mulutnya komat-kamit karena kepedasan. Cicik mengeluarkan termos air, menuangkan isinya ke cangkir yang sekaligus berfungsi sebagai tutup termos tersebut, kemudian memberikannya kepada Vitlan.

”Pedas ya, Bang?” tanya Cicik, melihat Vitlan terengah-engah kepedasan.
”Ssss haa, pedas sekali,” jawab Vitlan sembari melap keringat di wajah dan tengkuknya.
”Tapi orang Padang, kok tidak tahan pedas,” goda Cicik.
”Abang makan tak bisa kalau tak pakai cabe, Cik. Tapi kalau cabenya pedas kali, juga ndak tahan,” bela Vitlan.
”Eeehk,” bunyi sendawa yang keluar dari mulut Vitlan.

Selesai makan, Vitlan mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celananya, mengambil sebatang lalu menghisapnya. Sementara Cicik telah pula selesai makan. Dia lalu mengemasi perlengkapan makan ke dalam keranjang.

”Ntar ya Cik, Abang jalan-jalan ke luar sebentar, cari angin,” pinta Vitlan kepada Cicik.
”Ya, Bang,” jawab Cicik.

Vitlan berjalan keluar gerbong. Di sana, ia duduk di lantai dan menjulurkan kakinya ke tangga kereta, menghadap ke alam lepas. Tangan kanannya memegang rokok, sementara tangan kirinya memegang besi pegangan Kereta. Udara berhembus sedikit kencang mengibas-ngibaskan rambut gondrongnya.

Setelah puas berada di sana, ia kembali ke tempat duduknya. Tak lama berselang kantuk pun mulai menyerangnya. Beberapa kali ia menguap dan akhirnya iapun tertidur pulas.

”Bang, bangun Bang, kita sudah sampai,” kata Cicik sambil menggoyang-goyang bahu Vitlan.

Vitlan terbangun.

”Sudah sampai kita ya, Cik,” tanya Vitlan sambil mengusap-usap matanya.
”Sudah, Bang,” jawab Cicik.

Keluar dari peron, Cicik mendongakkan wajahnya ke sana ke mari, mencari-cari sesuatu. Cicik berjalan pelan di depan stasiun. Beberapa abang becak dan tukang ojek, menawarkan jasa mereka. Cicik memberi isyarat dengan tangannya, sebagai penolakan. Kemudian,

”Bang, Bang Aswan, Bang Aswan,” teriaknya sembari menggamit-gamitkan tangan ke arah seseorang.
”Hai, Cik,” jawab yang dipanggil Aswan tersebut sembari mendekat ke tempat Cicik berdiri.
”Bang, antar kami pulang, Bang,” kata Cicik.
”Ya, ntar Abang ambil becaknya ya,” jawab Aswan, seraya berlari untuk mengambil becaknya. Kemudian mendekat.
”Ada barangnya Cik,” tanya Aswan.
”Ada tuh , koper satu. nih kenalkan, Bang Vitlan,” kata Cicik kepada Aswan sambil memegang lengan Vitlan.
”Vitlan, biasa dipanggil, Alan,” kata Vitlan mengenalkan diri kepada Aswan.
”Aswan,” balas Aswan menyambut uluran tangan Vitlan. Mereka bersalaman.

Becak mesin melaju ke arah Bagan Asahan. Rambut Vitlan dan Cicik melambai-lambai ditiup angin. Tubuh mereka berguncang-guncang akibat kondisi jalan yang tidak rata. Beberapa waktu kemudian becak berhenti di depan sebuah rumah panggung bergaya melayu.

Vitlan turun dan berdiri sambil mengamati keadaan sekeliling. Cicik turun dan langsung menuju tangga beranda depan rumah, lalu naik,

”Assalamu’alaikum,” katanya sembari mengetuk pintu.
”Alaikum salam,” terdengar suara mendekat dari dalam rumah. Pintu terbuka.
”Assalamu’alaikum Mak Tuo,” sapa Cicik, mengulangi salam, sembari memeluk mak tuonya.
”Eee Cicik, ’alaikum salam, sendiri saja nak?” tanya mak tuo.
”Sama teman, Bang Vitlan Mak tuo. Bang, sini!” kata Cicik sambil menggamit Vitlan yang berdiri di halaman.
Vitlan melangkah menuju beranda.
Sementara itu,
”Vitlan itu siapa Cik?” tanya mak tuo berbisik penuh selidik, sembari memperhatikan Vitlan dari kepala, hingga kaki.
”Temannya Icha mak Tuo,” jawab Cicik, balas berbisik.
”Ooo,” kata mak Tuo dengan pandangan tidak lepas dari Vitlan.
Sampai di depan tangga ia tanggalkan sepatunya.
”Tidak usah dibuka Bang,” kata Cicik.
Vitlan tidak jadi membuka sepatu, lalu naik ke beranda. Dengan sedikit membungkuk,

bersambung

Bagikan: