Tabedo – Bagian 29
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Setengah jam kemudian, di kamar mandi,
”Senang kalilah ya, hati yang sedang berbunga-bunga tu,” kata Cicik, menggoda, melihat wajah ceria Icha.
”Ya iyalah. Hai Cik, kek mana caranya kau bisa membawa bang Alan ke sini?” kata Icha, sambil mengganti pakaian dengan kain basahan.
”Pandai akulah itu, siapa dulu si Cicik,” jawab Cicik mendabik dada, sambil senyum.
”Ceritakanlah Cik, sama ku,” rengek Icha sembari menyiramkan air ke tubuhnya.
”Balen dulu, baru ku kasih tahu,” balas Cicik,
”Gitu saja minta balen. Mentang-mentang …,” sungut Icha.
”Tidak mau, tak usah. Tak ada beritanya,” bela Cicik.
”Baik, baik, mau balen apa? Bilang saja,” tantang Icha.
”Eee, banyak uang ni ya,” goda Cicik.
”Sekadar untuk nraktir adalah,” jawab Icha.
”Nanti ya ku ceritakan di kamar,” kata Cicik.
”Baik, setuju,” balas Icha senang.

Di tempat lain, ibu Icha sibuk merapikan kamar yang akan ditempati Vitlan. Seprei, sarung bantal dan guling, ia ganti dengan yang baru. Sehelai kain sarung dan selembar sajadah diletakkannya di kepala ranjang. Setelah itu, ibu kembali ke ruang tengah, menghidupkan televisi, mengganti channel dari TV3 ke TVRI untuk mendengarkan berita, lalu duduk di sofa.

”Adin ke masjid ya, Bu,” kata Saldin menggamit tangan ibunya dan menciumnya.
”Ya, hati-hati ya Adin,” jawab ibu.
”Adin ke masjid ya, Bang,” kata Adin, begitu berpapasan dengan Vitlan, di beranda.
”Ya,” jawab Vitlan.

Selesai mandi, Icha dan Cicik ke kamar, berhias ala kadarnya, kemudian keluar ke beranda
”Bang, sudah sore, mandilah lagi,” sapa Icha.
”Ya ntar, habis dulu rokok ini ya, tinggal sikit lagi, nanggung,” jawab Vitlan.
”Duh cantikny,” gumamnya dalam hati, tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dari Icha yang berdiri tepat di depannya.
”Nengoknya kok gitu kali,” kata Icha manja.
Vitlan hanya senyum, sambil mengacungkan kedua jempolnya di depan dada.

Mendapat pujian seperti itu, Icha menjadi kikuk dan salah tingkah. Dia menatap Vitlan, kemudian memalingkan pandangannya ke halaman.

Vitlan bangkit dari duduknya, melangkah ke arah jendela dan menjentikkan puntung rokoknya ke halaman. Kemudian melangkah ke ruang dalam. Icha menguntit sampai di ruang tengah. Ia mengambil handuk dan kain sarung yang tadi diletakkan di sandaran kursi dan memberikannya pada Vitlan, kemudian berbelok ke kamar, sementara Vitlan melangkah ke kamar mandi.

Selesai mandi Vitlan berpapasan dengan ibu Icha yang duduk nonton TV. Melihat Vitlan melangkah di dekatnya, ibu Icha berdiri mendekat.

”Nak Vitlan, kamarnya di sini,” kata ibu Icha, sambil menggiring Vitlan ke kamar yang berada berhadap-hadapan dengan kamar Icha, yang memang biasa digunakan untuk tamu yang datang berkunjung
”Nak Vitlan istirahat tidurnya di sini, terserah Nak Vitlan saja, mau tidur di ranjang ini atau yang itu. Pakaiannya tarok di lemari ini (sambil membuka daun pintu lemari sebelah kanan,” jelas ibu Icha.
”Ibu tinggal ya!” lanjutnya sembari melangkah keluar kamar.
”Ya Bu, makasih,” jawab Vitlan.

Di kamar itu terdapat dua buah ranjang dengan ukuran satu kasur, sebuah lemari pakaian, dan sebuah meja dengan dua kursi. Di lantai terdapat sebuah permadani dalam posisi tergulung. Nampaknya permadani ini sewaktu-waktu siap untuk dibentangkan. Vitlan membentangkan permadani tersebut. Kemudian ia mengambil tasnya yang terletak di samping lemari pakaian, dan meletakkannya di atas permadani. Vitlan membuka tas lalu mengeluarkan piyama dan beberapa buah buku bacaan yang selalu dibawanya ke mana ia pergi.
Setelah mengganti pakaiannya dengan piyama, ia duduk berselonjorkan kaki di atas permadani sambil bersandar di ranjang. Tangannya meraih sebuah buku untuk dibacanya. Baru dua halaman buku dibacanya, terdengar azan maghrib. Ia bangkit, mengambil sajadah yang terletak di atas ranjang lalu membentangkannya di atas permadani.

Vitlan menjamak dan qashar saja shalat Maghrib dan Isyanya. Selesai shalat dan berdo’a, ia kembali duduk berselonjor di tempat semula, dan melanjutkan membaca. Baru beberapa halaman dibacanya, kantuk mulai menyerangnya. Ia menjangkau guling yang terletak di atas ranjang lalu berbaring sambil memeluk guling tersebut. Ia kembali membaca, matanya terasa makin berat, lalu terpejam, buku di tangannya terlepas dan iapun tertidur pulas.

Selesai shalat maghrib dan berhias sekenanya, Icha dan Cicik keluar kamar dan begabung dengan ibu di ruang tengah.
”Nak Alannya mana? Kok dibiarkan sendiri di kamar. Ajak ke sinilah,” kata ibu
Icha bangkit sembari menarik tangan Cicik, melangkah menuju kamar Vitlan. Pintu kamar diketuk pelan.
”Bang, Bang, Bang Alan,” panggil Icha.
Tidak ada sahutan dari dalam.
”Bang, Bang Alan,” panggil Icha lagi.
Tetap tak ada sahutan.

Pelan, Cicik menarik gagang pintu dan membukanya sedikit. Dia melihat Vitlan sudah tertidur di atas ambal. Dia mengguit Icha dan memberi isyarat untuk tidak bicara, dengan jari telunjuk dibibir. Pelan mereka melangkah ke dalam kamar.

Mereka memperhatikannya dengan seksama. Yakin Vitlan sudah tertidur pulas, perlahan mereka beranjak keluar kamar dan menutup pintu kamar rapat-rapat.
”Bang Alannya sudah tidur Bu,” jelas Icha dan Cicik, sambil duduk kembali di tempat semula.
”Ya sudah kalau begitu,” jawab ibu.
”Ia menggeletak saja di atas ambal,” jelas Icha.
”Kok tidur di situ dia? Perasaannya Ibu tidak membentangkan ambal tadi,” jelas Ibu.
”Mungkin Bang Alan itu, yang membentangkannya kemudian golek-golek, sambil baca buku. Karena kecapaian kali, langsung tertidur,” jelas Cicik.
”Ya sudah,” jawab ibu.
”Tadi kalau mak Tuo tidak salah dengar Cicik bilang nak Alan itu mahasiswa, kuliah di mana dia?” tanya ibu Icha.
”Iya mak Tuo. Cuma Cicik tidak tahu di mana dia kuliah. Kampusnya, kalau tak salah, di daerah Teladan. Nantilah Cicik tanya sama dia,” jawabnya.
”Sejauh mana kalian sudah mengenalnya?” selidik Ibu.
”Yang Cicik ketahui tentang bang Alan itu, ya sejauh yang diceritakan mak angkatnyalah,” jawab Cicik.
”Apa saja rupanya yang sudah diceritakannya?”
”Dibilangnya, bang Alan itu sudah tinggal di situ sejak 4 tahun lalu, sejak dia tamat STM. Mulanya dia kos, karena dia itu rajin membantu nyuci piring, nyapu, ngelap-ngelap, masak, belanja, jaga kedai, lama kelamaan, dia diangkat jadi anak angkat oleh ibuk itu. Bukan itu saja, bang Alan itu juga taat beribadah dan suka menolong orang. Abang-abang becak yang ada di sekitar daerah itu rata-rata kenal sama dia,” jelas Cicik.
”Sering bertemu dia?” tanya Ibu lagi.
”Cicik ketemu dengan bang Vitlan itu, pertama waktu di acara malam tahun baru itu sama-sama dengan Icha dan Iyod. Kedua di rumahnya juga sama Icha dan Iyod, terus waktu ngantar Icha di stasiun kereta api, terus waktu mau ke sini,” papar Cicik.

bersambung

Bagikan: