Tabedo – Bagian 3
Oleh: Phillar Mamara
Cicik menceritakan semua peristiwa yang mereka alami ketika menonton pentas musik tadi kepada ibunya. Sedang mereka ngobrol tersebut, Icha muncul membawa baki minuman. Cangkir minuman dihidangkan, dan Icha duduk di samping Raudah. Dengan sudut matanya ia berusaha melirik Vitlan, namun Vitlan menunduk saja.
“Silakan diminum nak,” sapa ibu Cicik.
“Terima kasih Buk,” jawab Vitlan sembari mengangkat gelas minuman itu ke mulutnya.
“Terima kasih nak, telah menolong anak-anak ibu dan bersusah-susah mengantarkan mereka pulang,” kata ibu Cicik kepada Vitlan, setelah mendengar penjelasan anaknya.
“Ndak apa-apa Buk, cuma kebetulan,” timpal Vitlan merendah.
Tak lama berselang,
“Permisi pulang Buk, sudah larut,” pinta Vitlan.
“Ya nak Alan, sekali lagi terima kasih ibu ya,” balas ibu Cicik.
“Assalamu’alaikum,” kata Vitlan sembari menyalami ibu Cicik.
“Wa’alaikum salam,” jawab ibu Cicik dan ketiga gadis itu.
Vitlan kemudian berjalan keluar rumah, diantar ketiga gadis tersebut hingga ke pintu pagar.
“Main-main ke sini ya Bang,” tawar Cicik.
”Insya Allah,” jawab Vitlan sembari menyalami mereka satu persatu.
Sekali lagi jantung Vitlan berdetak kencang, ketika bertatapan dengan Icha. Hawa panas mengalir melalui genggaman tangannya. Hati Vitlan bagai terbakar, dan darahnya terasa mengalir deras.
“Hati-hati ya Bang!” kata Icha setengah berbisik begitu Vitlan melangkah meninggalkan mereka.
Sementara Ibu Cicik memperhatikan Vitlan dengan seksama sampai Vitlan naik ke becak dan ketiga anak gadisnya kembali masuk kedalam rumah.
Vitlan pulang sendirian naik beca dayung. Ia disambut olok-olokan teman-temannya sesampai di rumah.
“Hei, paten anak Mamak ya,” canda Mak menyambut kemunculan Vitlan.
Vitlan hanya senyum kecut menyikapi candaan tersebut. Ia mengacungkan tinju kepada ketiga temannya, ia langsung ke belakang.
“Hei, hei, hei, tunggu dulu,” kata Mak sambil menggamit lengan Vitlan duduk di kursi terdekat.
“Cerita dulu sama Mamak, kek mana kisah pertemuan dua sejoli di pesta musik tadi,” goda Mak.
“Sebentar awak ganti pakaian dulu ke atas,” kilah Vitlan sembari melepaskan diri dari pegangan Mak.
Jamil, Maman, dan Surya tersenyum geli melihat Vitlan yang salah tingkah. Mak melepaskan pegangan tangannya, dan Vitlan pun berlalu. Sebentar kemudian Vitlan telah muncul kembali dengan piyama hijau lumut berbis putih dan bergambar sekuntum mawar merah jambu di dada kanannya.
Ia memang tampan sekali dan penuh pesona. Tinggi semampai, 174 cm. Rambut ikal disisir rapi, terjulai mencapai kedua bahunya. Tidak heran kalau banyak gadis-gadis yang tergila-gila padanya. Namun ia tidak pernah tertarik untuk meladeni mereka. Maka menjadi wajar saja bila Mak dan teman-temannya heran dan masygul ketika melihat Vitlan akrab dengan tiga orang gadis yang baru dikenalnya pada malam itu. Bahkan ia sampai rela menyediakan dirinya untuk mengantar ketiganya ke rumah mereka.
Vitlan duduk di depan Mak dan teman-temannya. Ia sulut dalam-dalam dji sam soenya. Ia hanya senyum simpul saja menyikapi rasa ingin tahu Mak
“Jadi bagaimana ceritanya Lan,” desak Mak.
Lagi-lagi hanya senyuman tersungging dari bibir Vitlan
“Jadi, ndak boleh Mak tahu cerita yang sebenarnya Lan,” desak Mak.
“Aah, ndak ada apa-apa kok Mak,” jawab Vitlan singkat, sambil menekankan punggungnya ke sandaran kursi, sehingga wajahnya tengadah ke langit-langit.
Ia menyulut dan menghembuskan asap rokoknya ke atas. Melihat sikap Vitlan demikian, Mak menghentikan interogasinya.
Pukul 01.00 WIB tengah malam, Jamil, Maman dan Surya mohon diri.
“Buk, kami pulang ya, yok Lan, sampai jumpa besok”, kata mereka serentak, dan berlalu.
“Ya”, jawab Mak, “Yok”’, jawab Vitlan sembari mengangkat tangannya.
Vitlan membantu mak menutup kedai, dan selanjutnya naik ke atas dan tidur.
bersambung
