Tabedo – Bagian 30
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

”Kalau kau Cha,” tanya ibu kepada Icha.

”Sudah tiga kali dengan hari ini,” Jawab Icha.

”Sudah seberapa jauh kalian mengenal nak Alan itu?” selidik ibu Icha.

”Walau baru beberapa kali bertemu dengan dia, Cicik menangkap kesan yang baik tentang bang Alan. Ibuk di Medan juga berpikiran seperti itu. Cicik percaya sepenuhnya apa yang disampaikan mak Angkatnya tentang bang Alan. Oleh karena itu ketika Icha mengalami keguncangan akibat musibah yang Mak Tuo hadapi, ibuk menyarankan untuk membi-carakannya dengan dia,” sambung Cicik.   

”Jadi nak Alan tahu apa yang kami alami,” tanya ibu Icha.

”Ya Mak Tuo. Maafkan kami kalau Mak Tuo tidak berkenan dengan apa yang kami lakukan,” jawab Cicik.

”Mak Tuo Cuma khawatir…”,

”Mak Tuo tidak usah khawatir, Cicik yakin bang Alan orangnya tulus dan tidak akan melakukan  hal yang menjadi kekhawatiran Mak Tuo,” sela Cicik.

”Jadi, apa saja yang sudah diketahui oleh nak Alan itu?” tanya ibu Icha lagi.

”Kami ceritakan semua yang terjadi apa adanya, pada bang Alan, terus kami diskusikan apa yang bisa dilakukan untuk membantu keluarga di sini. Lantas bang Alan bilang dia ingin ke sini dan minta ditemani karena dia belum pernah ke sini. Dia juga bilang ingin melakukan apapun yang terbaik bagi Icha dan keluarga ini,” lanjut Cicik.

”Apa mungkin tu Cik?” tanya ibu Icha.

”Cicik lihat bang Alan itu tidak main-main mak Tuo. Buktinya, ia sampai di sini,” jawab Cicik.

”Assalamu’alaikum,” terdengar suara Saldin membuka pintu.

”Alaikum salam,” jawab mereka serentak.

Ia langsung ke dapur dan mengambil piring, kemudian ke lemari mengambil nasi dan lauk.

”Hai, sedang apa kamu Adin,” tanya ibu Icha.

”Lapar Buk,” jawab Saldin lalu ikut duduk di sofa.

Pembicaraan tentang Vitlan terputus. Mata mereka sama tertuju ke layar TV menyaksikan acara titian muhibah kerjasama TVRI dengan RTM Malaysia.

Selesai menyaksikan acara Dunia dalam Berita, Cicik dan Icha beranjak ke kamar mandi untuk gosok gigi dan berwudhuk, kemudian ke kamar. Selesai shalat Isya, mereka langsung berbaring di ranjang.

”Nah sekarang ceritakan, bagaimana bang Alan bisa sampai kau bawa ke sini?” kata Icha lepada Cicik.

”Ih, sabar sikit kenapa,” goda Cicik.

”Ish, senang kalilah mempermainkan awak, tak nengok-nengok waktu,” kata Icha cemberut.

”Iya iya, dengar ya anak manis,” jawab Cicik sambil merangkul Icha.

”Beberapa hari setelah putusan hakim di pengadilan, kami semua kan melihat tuh, kondisi mentalmu yang semakin hari semakin menurun. Mak Tuo sangat khawatir, ia sampaikan kekhawatirannya sama ibuk. lantas ibuk memberitahuku, bagaimana kalau hal ini disampaikan dengan bang Alan. Setelah kami diskusikan baik buruknya. Aku setuju. Lantas aku disuruh ibuk memanggilnya. Sampai di rumahnya, bang Alan lagi tidak di rumah. Kata mak Angkatnya sudah seminggu lebih ia tak pulang. Ketika kutanyakan ke mana?, ibuk itu bilang, kalau bang Alan sengaja pergi dari rumah untuk menghindari incaran aparat”, …

”Bang Alan diincar aparat kenapa?” potong Icha.

”Sebenarnya ia sempat diperiksa oleh aparat Koramil, tapi berhasil dibebaskan oleh seorang perwira, temannya,” jelas Cicik.

”Kok bisa sampai begitu?” tanya Icha, penasaran.

”Mak Angkatnya bilang, ia dituduh menghasut warga menentang program pemerintah, ia dibilang sebagai provokator dan anti pemerintah,” jelas Cicik.

”Trusss,” tanya Icha.

”Ya begitulah berita yang ku dapat,” jawab Cicik.

”Bang Alan sampai dituduh macam-macam kenapa?” desak Icha.

”Cha, informasi yang ku dapat seperti itu. Kalau kau mau cerita yang lebih jelas, lebih lengkap, nanti kau tanyakan langsung sama bang Alan,” jawab Cicik.

”Ish, jawabnya kok kek gitu ya…,” rungut Icha.

”Iya sayaaang, cerita yang ku terima cuma segitu,” jawab Cicik sambil mempererat pelukannya pada Icha.

”Truss, kek mana sampai bang Alan bisa ke sini?” tanya Icha lagi.

”Terus, waktu kutanya kapan pulangnya, ia jawab ndak tahu. Lantas aku tinggalkan saja pesan di situ, agar bila bang Alan pulang ia segera datang ke rumah. Kami khawatir juga, kalau-kalau bang Alan tak pulang-pulang. Eee… tahu-tahu kemarin malam dia muncul di rumah. Kami jadi lega,” jelas Cicik.

”Trusss,” desak Icha.

”Terus aku ceritakan sama bang Alan, semua yang terjadi sama om dan kondisimu. Setelah mendapat penjelasan secara lengkap, ia menyatakan niatnya untuk segera ke sini dan minta ditemani. Hai Cha, bang Alan itu cinta kalilah samamu,” jelas Cicik.

Icha tersenyum dan memeluk tangan Cicik yang melingkar di pinggangnya, kemudian membalikkan badannya hingga posisinya jadi berhadapan, sehingga ia dapat menatap mata Cicik seperti mencari sesuatu di sana.

”Tahu kau Cha, bang Alan itu siap tinggal di sini untuk mendampingimu,” kata Cicik.

”Yang benar Cik?” tanya Icha.

”Dia siap mendampingimu selamanya, dengar ya, se … la … ma … nya,” kata Cicik lagi, sambil merapatkan keningnya ke kening Icha.

”Ooohh bahagianya. Terima kasih, Ya Allah. Engkau bawa dia, untukku,” gumam Icha dalam hati, sambil tetap memeluk saudaranya itu.

Tiada kata yang terdengar lagi antara kedua gadis belia tersebut. Malam semakin sunyi, mereka pun tertidur pulas dalam mimpi masing-masing.

bersambung

Bagikan: