Tabedo – Bagian 32
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

”Kok bisa ceritanya sampai di situ, tadi?” tanya Ci-cik.

”Gara melihat tingkah si Adin tadi,” lanjut Icha.

”Ooo paham, paham. Dah, lanjutkanlah ceritanya Bang,” pinta Cicik.

”Jadi, di dekat rumah Abang itu kan ada tebing, tingginya kira-kira sepuluh meter. Di bagian atas tebing itu banyak rumpun bambu. Di sana banyak menumpuk sampah daun-daunan dari pokok Embacang, Rambutan, Nangka dan Jeruk Bali. Di atas tumpukan sampah itu banyak berjatuhan buah Embacang muda yang bijinya masih putih. Abang mau mengambil buahnya yang letaknya agak jauh sedikit dari jangkauan. Pelan-pelan Abang geser kaki Abang lebih dekat. Tiba-tiba ”Byarrr” (Vitlan mengeraskan suaranya sembari kedua tangannya bergerak secara tiba-tiba ke atas).

”Auuu …”, teriak  Cicik dan Icha terperanjat, sembari kedua tangan mereka memegang dada mereka.

”Abang jatuh melorot ke dalam sungai,” kata Vitlan.

”Abang ini pun,” sergah Cicik masih dalam suasana keterkejutan oleh ulah Vitlan. Sementara Icha, yang masih melipat tangan di dadanya, hanya terdiam  menatap Vitlan.

Merasa bersalah, Vitlan cepat-cepat minta maaf dan menenangkan kembali suasana.

”Maaf, maaf, Abang tak sengaja,” pinta Vitlan.

”Tak apa-apa, tak apa-apa,” jawab Cicik dan Icha, kembali tersenyum.

”Terus …,” tanya Cicik.

”Dilanjutkan ini?” tanya Vitlan.

”Ya, iyalah,” jawab keduanya.

”Woi, woi, ada orang jatuh ke banda!” teriak seorang bapak yang sedang lewat di jalan di seberang sungai, sambil berlari mendekat.”

”Sementara itu, Abang berusaha keluar dari sungai dengan pakaian basah kuyup, sambil nangis-nangis. Abang dituntun oleh bapak tersebut ke tepi jalan. Ibu Abang berlari menuruni anak tangga ke bawah tebing, Abang nangis di pelukan ibu. Abang dimandikan di kolam di halaman surau yang terdapat di sisi lain di bawah tebing itu,” lanjut Vitlan.

”Trus,” desak mereka.

”Terus, Abang dituntun pulang, telanjang bulat. terang Vitlan, yang disambut kedua gadis itu de-ngan cekikikan, yang ditahan sambil menutup mulut dengan telapak tangan mereka.

”Kalian kok ketawa?” tanya Vitlan.

”Lucu,” jawab Icha.

”Geli,” kata Cicik.

”Apanya yang lucu, apanya yang geli?” tanya Vitlan.

”Geli…lah, membayangkan Abang telanjang bulat,” kata Cicik. 

”Kan masih anak-anak, kek si Adin itu,” kata Vitlan.

Ibu Icha muncul di depan pintu, dengan keranjang di tangan kirinya.

”Ibu ke Tanjung ya,” katanya, sambil menuruni anak tangga.

”Ya, Buk,” jawab mereka serentak.

Tak berapa lama kemudian tukang ojek datang dan membawa ibu Icha berlalu.

”Terus, yang jatuh dari sepeda kek mana pula ceritanya, Bang?” tanya Icha.

”Sampai di sini saja dulu ya, ceritanya nanti kita sambung,” jawab Vitlan. 

”Aaach, Abang, tak eenak,” desah mereka berdua.

Sejenak kemudian, 

”Eeh, janjinya, kapan?” tanya Cicik pada Icha.

”Boleh, kapan?, sekarang?, nanti siang?’, atau nanti sore?, kapan saja boleh,” tantang Icha.

”Enaknya kapan ya?, …. aah tunggu mak Tuo pulang dululah ya,” kata Cicik.

”Eh, janji apa itu?” timpal Vitlan.

”Adalah, Abang Alan, tenang saja di boncengan,” jawab Cicik.

”Ayok,” jawab Icha.

Cicik menggamit tangan Icha.

”Kami mandi dulu ya, Bang,” kata Cicik kepada Vitlan, sambil berlalu ke ruang dalam.

Vitlan bangkit dari kursi, terus masuk ke dalam kamar. Sampai di kamar, direbahkannya tubuhnya di atas ambal. Matanya menerawang ke langit-langit kamar. Tak lama kemudian ia pun tertidur.

”Bang, bang, bang Alan,” panggil Icha mengetuk pintu kamar.

Tidak ada jawaban.

”Bang, bang Alan”, panggil Cicik dengan suara dan ketukan yang sedikit lebih keras.

Vitlan membuka mata, bangun melangkah ke pintu dan membukanya.

”Ayok Bang, kita jalan-jalan ke Tanjung,” kata Cicik.

”Sebentar ya, Abang ke kamar mandi dulu,” jawab Vitlan segera berlalu.

Vitlan kembali ke kamar untuk berganti baju. Ia mengambil dan mengenakan kemeja tangan panjang berwarna biru dongker berliris-liris kecil putih. Sedikit wewangian menambah sempurnanya penampilannya. Ia melangkah ke beranda. di mana Icha dan Cicik menunggu, duduk bersama ibu.

”Kami pergi ya Buk, pergi ya Mak Tuo, pergi ya Buk,” kata mereka beriringan.

”Yok,” kata Icha, menggamit tangan Cicik. menuruni anak tangga. Vitlan mengiring di belakang.

Dengan 3 buah ojek, mereka menelusuri jalanan menuju Tanjung Balai. Kondisi jalan yang berlubang-lubang, membuat tubuh mereka terguncang-guncang di atas ojek. Sampai di Tanjung, mereka langsung menuju tempat yang diceritakan Icha.

”Silakan duduk, mau pesan apa Bang, Kak?” sapa pelayan kedai makanan ramah.

”Aku mie Pangsit. Kau pesan apa Cik. Abang apa Bang?” tanya Icha kepada mereka, sembari mengambil kursi untuk duduk.”

”Aku mie Pangsit juga,” jawab Cicik, sembari duduk di kursi di depan Icha.

”Abang ini pesan apa,” tanya pelayan kepada Vitlan.

”Mie pangsit … boleh juga,” jawab Vitlan mengambil posisi duduk di sebelah kanan Icha.

”Minumnya apa?” tanya pelayan.

”Pokat kocok” jawab Vitlan.

”Es buah, ya es buah,” jawab Cicik dan Icha.

Tak lama antaranya, pesanan mereka datang.

Mereka segera menyantap hidangan yang sudah tersedia di atas meja. Sebentar-sebentar Icha melirik Vitlan dan ia membalasnya. Vitlan senyum dan Icha balas tesenyum.

Betapa bahagianya hati Icha berada di samping Vitlan, lelaki pujaan yang telah merebut seluruh jiwanya. Tak ingin ia berpisah walau sejenak. Selera makannya telah pulih. Dengan besemangat ia lahap makanannya. Sate kerang dan sate udang yang tersedia di atas meja satu persatu berpindah tempat ke lambungnya. Mulut Icha komat kamit menahan rasa pedas.

”Bang, minta es buah satu lagi,” pinta Icha kepada pelayan.

Cicik terbelalak. Vitlan memperhatikan ulah tingkah Icha, dengan sudut matanya. Dalam hati, ia  bersyukur telah bisa membuat Icha tersenyum lagi, bergairah dan punya semangat hidup lagi, setelah ditimpa cobaan hidup yang cukup berat.

Selesai makan bertiga mereka menuju tepian sungai Asahan. Di sana mereka menghabiskan waktu hingga senja hari sembari menyaksikan kapal dan perahu nelayan lalu lalang di permukaan sungai. Puas menikmati panorama sungai Asahan dengan segala aktifitasnya, mereka pun pulang. Menjelang maghrib mereka sampai di rumah.

”Assalamu’alaikum,” sapa mereka, begitu sampai di tangga beranda.

”Alaikum salam,” jawab suara dari dalam rumah.

”Dah pulang kalian,” sapa ibu Icha, membukakan pintu.

”Sudah, Buk,” jawab mereka.

”Jalan-jalan ke mana saja Kalian?” tanya ibu Icha.

”Tidak ada Mak Tuo, Cuma makan-makan dan duduk-duduk di tepi sungai,” jawab Cicik.

”Sudah mau Maghrib, mandilah kalian,” kata ibu Icha.

”Sudah mandi tadi mau berangkat, Buk,” jawab Icha.

Padanan kata:

Banda = kali (sungai kecil)

bersambung

Bagikan: