Tabedo – Bagian 33
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

”Abang belum mandi kan?” tanya Icha kepada Vitlan.

”Belum,” jawab Vitlan.

Icha mengambilkan handuk dan memberikannya kepada Vitlan.

”Masak apa Mak Tuo?, tumis kerang. Uiiihh sedaaap,” kata Cicik sembari jemarinya mencicipi seekor kerang yang terletak dalam mangkok di atas meja dapur.

”E e e … main kudap saja, tuh tangan ntah dari mana tuh,” tegur ibu Icha.

”E … maaf, maaf, lupa,” jawab Cicik manja.

”Dah, angkat makanan itu ke meja makan, gih,” kata ibu menyuruh.

Cicik dan Icha mengangkat piring, mangkok dan kelengkapan makan lainnya ke atas meja makan yang ada di ruang tengah.

Vitlan tertegun mencium aroma masakan begitu melintas di ruang tengah.

”Hmmm sedapnya,” desah Vitlan begitu hidungnya, mencium aroma masakan (sembari melirik ke meja makan), ketika melewati ruang tengah.

Selesai bersalin pakaian, Vitlan kembali ke dapur.

”Saya ke masjid dulu ya Buk,” kata Vitlan.

”Ya nak Alan, hati-hati, agak gelap jalannya. Adin dah duluan ke masjid tadi, kata ibu Icha.

”Ya buk,” jawab Vitlan sambil berlalu ke masjid.

Shalat jamaah telah dimulai, ketika Vitlan sampai di masjid. Ia langsung masuk ke shaf. Selesai shalat, anak-anak berkumpul di salah satu bagian belakang ruang masjid. Mereka mengaji dipandu oleh seorang guru mengaji, yang mereka panggil Ustadz. Tak banyak jamaah yang mengikuti shalat dan tinggal duduk-duduk di masjid. Ada kira-kira 6 sampai 8 orang. Vitlan bangkit mendekati mereka.

”Vitlan, Pak,” katanya mengenalkan diri sambil menyalami satu persatu orang tua yang ada di masjid itu.

”Bang Alan, Bang Alan”, teriak Adin.

Vitlan melambaikan tangan, sembari memberi aba-aba agar Adin tetap di tempatnya.

”Teman-Teman, itu abang saya, Ustadz, itu abang saya baru datang dari Medan,” kata Adin kepada teman-temannya dan Ustadz mereka.

Teman-teman Adin memalingkan mukanya ke arah Vitlan. Ustadz melambaikan tangannya dan Vitlan membalasnya diiringi senyuman.

Selesai shalat Isya, Adin dan teman-temannya tegak berkerumun di depan pintu masjid. Dengan sabar mereka tunggu Vitlan selesai berdoa. Begitu    bangkit dari duduknya, Adin segera mendekat dan menyalaminya. Kemudian secara bergantian satu persatu teman Adin menyalami Vitlan. Mereka pulang beringingan.

”Assalamu’alaikum,” terdengar suara keras Adin sambil membuka pintu depan.

”Alaikum salam,” sahut ibu, Icha dan Cicik seren-tak.

”Ayok makan sekalian,” ajak ibu seraya beranjak diikuti mereka ke meja makan.

Selesai makan Vitlan ke beranda, duduk dan menyalakan rokok. Selesai merapikan meja makan, Icha dan Cicik ikut ke beranda.

”Wah enak sekali masakannya, apalagi tumis kerangnya, pedasnya pas kali,” komentar Vitlan.

”Iya Bang, keluarga ibu kami semuanya pandai masak,” jawab Cicik.

”Kalau yang di sebelah Abang, pandai masak ndak ya” goda Vitlan, sembari melirik Icha yang duduk di sebelahnya.

”Tidak tahu juga ya, soalnya belum pernah lihat masak tuh,” jawab Cicik.

”Enak saja bilang belum pernah lihat. Tuh yang masak di rumah di Medan, siapa?” bela Icha geram, karena merasa disepelekan.

”Itukan Cuma bantu Ibuk,” balas Cicik, sambil memalingkan pandangan ke arah lain.

’Boleh, nanti tengok ya Icha masak sendiri,” jawab Icha (sembari menggeretakkan gigi) tambah geram melihat lagak Cicik.

”Iyalahhhh… buktikan saja,” balas Cicik.

”Lihat saja nanti, macam yang pandai kali masak,” jawab Icha, sambil berusaha mendekat.

Cicik beranjak dan pindah duduk ke sebelah lain Vitlan.

”Hei, anak-anak, sudah tu, ayo pindah ke dalam, dah malam, tak baik masih di luar,” ingat ibu Icha, kemudian berlalu ke kamar.

”Ya Bu,” jawab mereka sembari mengemasi meja beranda dan beranjak ke ruang dalam, dan duduk di depan TV. Suasana diam, semua mata memandang ke layar TV.

Beberapa saat kemudian.

”Abang ke kamar duluan ya,” pinta Vitlan kepada kedua gadis itu, sambil berdiri melangkah menuju kamar.

”Ya, Bang,” jawab mereka.

”Yok, kita kekamar juga yok,” kata Icha sambil mematikan TV dan menarik tangan Cicik. Ia berdiri menurut.

Tiba di kamar, Vitlan langsung merebahkan tubuhnya di atas ambal. Sambil memandangi langit-langit kamar, ingatannya melayang jauh ke kota Medan. Teringat ia akan beberapa kejadian yang menimpa dirinya. Terngiang kembali apa yang diucapkan bang Sihombing sesaat ia sampai kembali di rumah setelah ditahan Koramil.

”Begini saja Lan, untuk sementara waktu kau menjauh sajalah dulu. Abang khawatir kau akan ditahan lagi, karena kau diincar terus sekarang ini.”

”Sudahlah Lan, Kau turuti sajalah kata-kata Abang. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk berjuang seperti yang kau inginkan. Percuma Lan, percuma.”

Ia membatin,

”Apakah ini jalan untuk menjauh dari persoalan dan dari kejaran aparat, seperti yang dibilang bang Hombing ya. Tapi, bagaimana dengan Mak. Andai rumah Mak, dipotong, dan tidak diganti rugi, dengan apa, ia akan membangunnya lagi. Di mana Mak akan jualan lagi. Bila Mak ndak jualan, darimana ia mendapatkan uang untuk biaya hidup, uang sekolah adik-adik. Kalau rumah Mak ndak bisa dibangun lagi, lantas mereka tinggal di mana?”

Lama ia menerawang sampai pelan-pelan matanya mulai meredup, terpejam dan akhirnya tertidur pulas.

bersambung

Bagikan: