Tabedo – Bagian 34
Oleh: Phillar Mamara
Sementara di kamar lain.
”Kau kok meleceh kali samaku tadi hah,” tuding Icha pada Cicik sembari menggoyang-goyang tubuh Cicik di dalam pelukannya.
”Eee, perasaan …, siapa yang meleceh,” jawab Cicik dengan nada mengejek.
”Kaaulah,” kata Icha, kesal.
”Ah, perasaan kau saja nya itu,” tangkis Cicik, tanpa berusaha melepaskan rangkulan Icha.
”Iiiihh, geramnya akuuu. Purak-purak tidak tahu pulak lagi tuh,” geram Icha.
”Jadi kenapa rupanya, kau kok sewot kali Cha,” kata Cicik.
”Iyalah, siapa yang tidak sewot dibilang tak pandai masak di depan Bang Alan,” kata Icha.
”O ooo, itu rupanya. Jadi ecek-eceknya malulah ya, ketahuan tak pandai masak di depan sang kekasihnya yaaa?” ajuk Cicik sambil mengguncang-guncang tubuh Icha.
”Kaaan …, mulai lagi kan?” serang Icha.
”Oup iya, iya. maaf yaaa, tadi cuma becanda,” jelas Cicik.
”Becanda kok kek gitu,” balas Icha sembari melepaskan rangkulannya dari tubuh Cicik dan membalikkan tubuhnya membelakangi Cicik.
”Jangan merajuklah sayang,” bisik Cicik sembari membalikkan tubuh dan memeluk Icha. Icha diam, tidak berusaha menghindar. Suasana menjadi hening dan beberapa saat kemudian kedua gadis itu tertidur dalam keadaan berpelukan.
!!!
Mati Suri
Jam dinding di rumah besar itu, menunjukkan angka lima kurang sedikit. Beberapa saat lagi waktu shalat subuh tiba. Suasana makin mencekam. Nafas Datuak Palimo, terdengar pelan dan satu-satu, makin pelan, kemudian lenyap sama sekali. Tangis Bundo yang sedang hamil tua beserta seisi rumah pecah. Gema adzan subuh melepas kepergian beliau ke hadirat Yang Maha Kuasa.
Berita tentang kematian beliau, segera menyebar. Satu demi satu anggota keluarga dan kerabatnya, berdatangan. Selesai subuh, keluarga inti Datuak Palimo sudah datang, menyusul Bako beliau. Semua persiapan pelaksanaan fardhu kifayah, mulai dipersiapkan.
Sebelum mayat dimandikan, para pihak melakukan perundingan sejenak membahas peran dan partisipasi mereka dalam pelaksanaan fardhu kifayah tersebut.
Ditengah perundingan yang berlangsung, Da-tuak Palimo, perlahan membuka mata dan menyingkapkan selendang tipis yang menutup kepalanya. Ia memalingkan pandangannya ke sebelah kanan, di mana Bundo duduk bersimpuh. Tangannya bergerak perlahan meraih tangan Bundo. Bundo menangis,
”Da, Datuak, … ”, memanggil sembari menempelkan wajahnya ke wajah Suaminya, sesungguk-kan.
Percakapan berhenti. Semua mata tertuju ke Bundo yang sedang memeluk kepala Datuak Palimo. Umi mendekat ke sebelah Bundo, dan mengusap kepalanya.
”Sabar, Nak,” katanya menghibur menantunya.
”Datuak, lai hiduik juo, nyo Mi,” katanya kepada mertuanya yang dipanggilnya, Umi, sembari mengangkat kepalanya.
”Lai hiduik juonyo, Pangulu. Nak,” gantian memeluk kepala, Datuak, anaknya, yang dipanggilnya, Pangulu.
”Umi, apo nan tajadi, Mi,” tanyanya kepada uminya keheranan.
”Syukurlah. Nak. Lai hiduik juo kironyo, Pangulu,” jawab, Umi.
Mendengar itu, semua yang hadir di rumah itu, serentak berdiri mendekat. Mereka mengucap syukur, karena kematian tidak jadi menjemput Datuak. Beberapa saat kemudian, satu persatu dari mereka menyalami Datuak, mohon diri untuk berlalu dari rumah itu.
Perlahan Datuak bangkit menyibakkan kain yang menutupi dirinya, beliau duduk memandangi dirinya yang berada di atas kasur di ruang tengah rumah. Beliau menanyakan apa yang terjadi pada dirinya, kepada Bundo. Bundo mengatakan bahwa beliau sempat dinyatakan meninggal, sejak menjelang waktu shalat subuh. Karena itu, sanak famili, jiran tetangga dan orang-orang berdatangan.
Datuak bercerita bahwa beliau bermimpi diajak oleh seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Waktu itu beliau menurut saja ajakan tersebut, hingga sampai di suatu tempat yang sangat luas, seperti padang rumput tidak bertepi. Ia menjadi was-was, ke mana sebenarnya mau dibawa. Lantas beliau menolak untuk meneruskan perjalanan dan berbalik. Orang tersebut mencengkram tangannya. Beliau berontak dan lari meninggalkannya. Anehnya ia tidak berusaha untuk mengejar dan membiarkan beliau kembali.
Beberapa hari kemudian, Datuak Palimo sudah kembali beraktifitas seperti sediakala, menekuni usaha panglong yang digelutinya. Beliau sudah kembali masuk keluar hutan mencari kayu untuk dijadikan papan dan balok.
Selagi beliau berada di lokasi penggergajian, seorang kerabat memberitahukan kepadanya, bahwa Bundo telah melahirkan anaknya yang keempat, seorang putra. Tanpa menunggu, beliau berkemas dan bergegas pulang.
begitu tiba di rumah, Datuak Palimo langsung meminta bayi dalam pelukan Bundo dan memangkunya. Beliau melantunkan beberapa kalimat Allah di kedua telinga bayi tersebut. Mengiringi aqiqahnya, beliau memberikan nama Vitlan Gumanti kepadanya.
!!!
Vitlan tumbuh menjadi bocah laki-laki yang kelihatannya normal. Berbadan tegap dengan tinggi seimbang. Berwajah tampan dengan rambut hitam tebal dan kulit sawo matang, membuat ibu-ibu dan para gadis di kampung itu, suka menggendongnya dan membawanya bermain.
Begitupun, Vitlan kecil mudah terserang demam dan mimisan, bila cuaca terlalu panas atau terlalu dingin. Melihat kondisi ini, Ibu (panggilan kepada adik mama) membawanya tinggal bersamanya di kota Padang.
Ketelatenan ibu merawatnya, membuat ketahanan pisik Vitlan menjadi semakin membaik. Ia berangsur mulai tahan berpanas-panasan dan main hujan. Provokasi ibu dan etek (saudara jauh mama) menjadikan Vitlan penggemar sayuran dan buah. Ia akan merajuk untuk makan, bila tidak ada sayur. Sayur kegemarannya adalah Bayam dan bunga Pepaya. Apalagi bila dibuat pecal dan anyang.
Vitlan memiliki teman sebaya, Andi, anak etek Ani. Ia tidur berdua dengan Andi di sebelah atas ranjang bertingkat. Ranjang itu terbuat dari dari besi pipa. Sementara di sebelah bawah, ditempati oleh uda Tino dan dua adiknya. Andi tumbuh jadi anak pemberani, suka berkelahi, sehingga anak-anak sebaya yang tinggal dan bermain di lingkungan sekitar, semua takut dan tidak ada yang berani melawannya.
Suatu ketika, Vitlan dan Andi, tidak nampak di rumah maupun di sekitarnya. Hari sudah menjelang senja dan di langit bergayut mendung tebal. Ibu dan etek mulai nampak khawatir. Mereka meminta uda Tino mencari ke lapangan dekan stadion. Pak Etek yang baru saja pulang dari pekerjaannya, ikut sibuk mencarinya.
Hujan mulai turun disertai badai. Uda Tino dan pak Etek, pulang dengan tangan hampa. mereka tambah gusar. Di tengah hujan lebat dan badai tersebut, Vitlan dan Andi muncul di depan pintu. Tubuh mereka basah kuyup. Di tangan Andi ada sejinjingan ikan laut segar. Ibu dan Etek berhamburan memeluk mereka. Ditanya ke mana, mereka mengatakan pergi main ke tepi laut dan ikut membantu nelayan, mengutip ikan tangkapan mereka dari pukat.
Pak Etek tidak dapat menyembunyikan kemarahannya. Beberapa lecutan lidi mendarat di kaki mereka. Kemudian disuruh mandi dan berganti pakaian. Sebagai hukuman tambahan, Vitlan dan Andi tidak boleh keluar pekarangan selama beberapa hari. Beban pekerjaan yang biasanya dikerjakan bersama, dibebankan kepada mereka berdua.
Atas permintaan Uwo (mama dari ibu), ibu pindah mengajar ke kampung. Beliau membawa serta Vitlan, yang waktu itu mau naik ke kelas dua SR (sekolah rakyat), kemudian memasukkannya ke salah satu SR yang tidak berapa jauh dari rumah.
Lain di kota, lain pula di kampung. Seperti anak lelaki lainnya, selain belajar di sekolah, pada malam hari, Vitlan belajar mengaji di surau. Pukul enam sore, ia sudah harus makan, kemudian berangkat ke surau dan tidur di sana. Baru kembali ke rumah setelah aktifitas subuh sekitar pukul enam pagi.
Di surau itu, mereka belajar membaca dan seni baca al-Qur`an, Fiqih, Akhlaq, Sejarah Islam, Pidato dan khutbah, adat dan tradisi budaya sehari-hari Minangkabau, seperti: pasam-bahan kato dan pantun adat. Tidak kurang juga keterampilan berpuisi dan musik.
bersambung