Tabedo – Bagian 35
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Layaknya anak lelaki Minangkabau, ketika Vitlan berusia sekitar 10 tahunan, Datuak Palimo menyerahkannya berguru silat kepada, mak Ompang, temannya. Beliau menyerahkan sebuah pisau cap garpu dan selembar kain putih, sebagai persyaratan berguru silat. Di tempat itu Vitlan bergabung dengan anak lelaki lainnya. Vitlan belajar silat dua kali dalam sepekan, yakni setiap malam Rabu dan Sabtu setelah selesai shalat Isya hingga berakhir pukul setengah sepuluh malam.  

Pulang ke rumah dari surau sekitar pukul enam pagi, Vitlan bersama saudaranya yang lain pergi mandi ke luak yang terletak tidak jauh di belakang rumah. Selesai mandi, masing-masing mereka membawa air bersih untuk keperluan memasak dalam perian bambu. Perian-perian tersebut disandarkan berjejer di dinding sebelah dalam dapur. Setiap batang bambu, dapat memuat kira-kira sepuluh hingga dua belas liter air. Dengan sepuluh batang bambu, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama satu hari.

Vitlan dan saudara-saudaranya yang sudah sekolah, mencuci sendiri pakaian dan sepatu sekolah mereka. Hari Sabtu setelah makan siang, mereka berjejer di tepi tebat (kolam) yang ada di bawah tebing dekat rumah menyucinya. Khusus sepatu sekolah yang terbuat dari kain, agar nampak putih bersih, setelah dibilas bersih lalu dibaluri dengan kapur tulis. 

Selesai makan siang, anak-anak biasanya membantu orang tua mereka di sawah dan di parak (kebun). Vitlan senangnya membantu Uwo berkebun sayur-sayuran di belakang dan samping rumah. Kebun itu cukup luas, ditanami aneka sayuran, seperti: Terung, Cabe, Bayam Petik, Pario, Petula, kacang-kacangan (kacang Panjang, kacang Pagar, kacang Belimbing, kacang Buncis), yang ditanam di sepanjang pagar. Ada juga Tomat, Jipang dan Labu dan lain-lain. Sementara ada Kangkung yang dipelihara di kolam kecil dekat kolam ikan.

Satu petak parak dengan ukuran kira-kira 20 kali 30 meter, ditanami Ubi Kayu. Satu petak sawah yang ada di samping kolam, ditanami secara bergantian antara: Pagi, Ubi Rambat/Jagung, Kacang Tanah/Kedelai).

Selepas shalat Ashar, Vitlan dan teman-temannya, menghabiskan waktunya dengan bermain Kejar-Kejaran, bola Kaki, Layang-Layang, Kelereng, Karet, Petak Umpat dan lain-lain. Sementara di bulan puasa permainan mereka berganti dengan main Motor-Motoran dan Meriam Bambu.

Motor-Motoran itu, rodanya terbuat dari bekas gulungan benang jahit, dan ada pula yang terbuat dari karet tapak sensal bekas. Motor-motoran itu diberi hiasan lampu warna-warni, dengan menggunakan bola lampu senter yang dibalut kertas warna merah, hijau, kuning dan biru, yang dihubungkan ke batu Batere yang diikatkan di batang motor-motoran tersebut, sehingga terlihat cantik di kala mereka konvoi di jalanan desa pada malam hari.

Di lain waktu, Vitlan sering dibawa oleh tuk Salih, adik Uwo pergi ke parak di bukit mengambil hasil hutan atau mengumpulkan buah kelapa yang baru dipetik dari beberapa pohon yang ada di sekitar rumah dan pematang sawah di tepi batang Selo. Sering juga disuruh untuk memijat dan membeli rokok untuknya.

Bila membeli rokok, Vitlan diminta untuk menyalakan rokok tersebut di kedai ketika membelinya. Agar tetap menyala, rokok tersebut diisap-isap oleh Vitlan sepanjang jalan dari kedai ke surau di mana tuk Salih berada. Melihat cucunya terbatuk-batuk sambil mengeluarkan air mata terkena asap rokok, tuk Salih tertawa lebar dan mengatakan ”yo baitu, Cu. Anak laki-laki tu harus pandai marokok, nak capek pandai mancari piti.”

Di samping memberi uang, tuk Salih juga sering mengajari Vitlan, merokok dengan menggunakan daun Nipah (rokok daun namanya), tanpa diberi tembakau. Dikondisikan seperti itu, lama kelamaan Vitlan mulai kecanduan merokok, meski usianya masih kanak-kanak. 

Setiap Ahad, mereka sekeluarga, dibantu oleh beberapa anggota pesukuan mereka, pergi ke ladang di sebuah bukit yang berjarak kira-kira 12 KM dari rumah mereka. Pukul 6 pagi mereka sudah berangkat dengan berjalan kaki, melewati jalan desa, sungai kecil, pematang sawah, ladang orang hingga guguk kecil. Setelah berjalan selama kurang lebih 2 jam, mereka sampai di ladang. Mereka baru pulang setelah waktu ashar.

Ketika harga sedang berpihak, mereka segera memanen kayu manis mereka. Sekali penen dapat menghasilkan 1,2 hingga 1,5 ton kulit kayu manis kering. Uang hasil panen ini, biasanya digunakan untuk keperluan sekolah, penambah modal usaha dan sisanya disimpan menjadi tabungan, dengan membeli perhiasan mas, seperti: kalung, cincin, gelang, anting-anting, yang sewaktu-waktu dapat diuangkan segera.

Tamat SD (setelah berganti nama dari SR), Vitlan menyambung pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah (MTs). Berbarengan dengan itu, ia telah pula mengkhatamkan pelajaran ngajinya di surau. Ia bersama 4 teman sekolah menempati sebuah kamar di sebuah surau dekat masjid raya kampungnya.

Di tempat ini, mereka tidak saja belajar bersama. Akan tetapi juga mengerjakan kesenangan remaja, seperti: main kartu, ngeluyur, menyuluh (mencari ikan di kali atau sungai dengan menggunakan senter atau lampu stromking), mencuri buah-buahan penduduk (perangai remaja seperti ini, sudah dimaklumi oleh masyarakat, karena mereka hanya mengambilnya sekadar untuk dimakan. Lagi pula mereka juga yang menjaga keamanan kampung), dan lain-lain.

Di saat musim panen tiba, mereka bersama warga desa lainnya, ikut memanen (menyabit dan mengirik) padi warga desa. Ketika panenan padi sudah selesai, masyarakat beramai-ramai mengadakan pertandingan layang-layang, yang diadakan di sawah yang sudah dipanen. Kegiatan ini diadakan beberapa hari, mulai dari babak penyisihan hingga babak final.

Peserta pertandingan layang-layang ini, diikuti puluhan hingga seratusan orang. Layang-layangnya pun beraneka ragam dan masing-masing mereka beri nama, seperti: Kinantan, Mujahir, Gagak hitam, Bondow, Baliang-Baliang, dan lain sebagainya. Hadiah yang disediakan oleh panitia, sangat menarik, seperti: kambing, sepeda dan uang tunai.

Di lain waktu, mereka aktif terlibat kegiatan gotongroyong, membersihkan jalan desa, mengangkat batu dan pasir dari sungai, untuk kepentingan pembangunan gedung, menimbun jalan yang rusak, dan kegiatan sosial masyarakat lainnya.   

bersambung

Bagikan: