Tabedo – Bagian 37
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Di suatu siang, sepulang dari praktek, Vitlan mendapati Udanya yang paling tua, sudah sejak tadi duduk di bangku-bangku halaman rumah kosnya. Ia segera menyapa memberi hormat. Adang, begitu ia memanggilnya, memerhatikannya dari ujung rambut hingga berhenti di ujung kaki.

Wajahnya yang semula tegang, berangsur tenang, kemudian,

”Dari maa waang?” tanya Adang

”Dari lapangan, Adang, praktek,” jawab Vitlan.

”Indak di bengke prakteknyo?” tanyanya.

”Tadi kelompok kami, praktek mameloki Lori nan macet di relnyo,  Adang,” jelas Vitlan.

”Tu ala elok Lorinyo?” tanyanya lagi.

”Ala, Adang. Lah bisa maelo gerobak baro, baliak.”

sambung Vitlan.

”Baraa urang kalian satu kelompok? tanyanya lagi.

”Ampek urang, limo jo pemandunyo,” jawab Vitlan.

”Samo ndak Lorinyo, jo Lori nan di Indaruang?” tanya Adang lagi.

”Lain, Adang. Lori di siko, sarupo jo Lokomotif. Jalannyo di ateh rel. Bedanyo, Lori ko dijalankan jo tanago listrik arus searah, nan mambantang di udaro. sapanjang relnyo. Mirip Trem,” sambung Vitlan.

”Aman tu?” tanyanya.

”Aman, karano siswa yang praktek di Lori jo di jaringan, wajib pakai pengaman. Satidak-tidaknyo pakai sepatu,” jelas Vitlan lagi.

Adang, manggut-manggut. Kemudian membuka sepatu kainnya dan memberikannya kepada Vitlan, sembari berkata,

”Ko sepatu untuak waang. Mari sepatu Adang tu, Waang main bao sajo. Bataratik saketek. Indak ta nantian dek waang, urang gaek mambalikannyo. Mama manyuruah Adang, manapuak waang ma, supayo tau diuntuang saketek,” katanya.

”Tapuaklah, tapuaklah (sambil menyodorkan mukanya pada Adang), kok baitu parintah Mama. Ambo lai tahu diuntuangnyo. Sabulan nan lalu, ambolah mangirim surek ka Mama, mintak dibalikan sepatu, karano sepatu ambo nan lamo, lah cabiak tapaknyo, indak bisa dipakai lai untuak praktek (lalu mengambilnya dan menyodorkannya ke muka Adang). Kapatang tu, katiko ambo kan ka mari, Ibu manyuruah ambo mambao sepatu tu (menunjuk sepatu Adang), nanti Ibu nan ka mambaritahu ka Adang, jaan sampai indak bisa praktek bisuak, makonyo ambo bao sepatu Adang tu.

”Yo, sudahlah. Lain kali jaan waang ulangi, Adang pai lai,” katanya.

”Yo,” jawab Vitlan sedih.

Mendapat perlakuan seperti itu, Vitlan merasa diperlakukan sangat tidak adil oleh mamanya. Sedih, marah, kesal, tidak terima, bercampur aduk dan berkecamuk dalam dirinya. Ingin berontak dan lari, muncul dalam pikirannya, tapi mau ke mana. Bekal ia tak punya, sekolah masih nanggung. Ia merebahkan diri di kursi lipat (dari jaringan benang plastik). Air matanya mengalir pelan di sudut matanya. Ia berusaha menyapu dengan punggung tangannya.

Siang itu, Vitlan bolos sekolah. Ia larut membenamkan diri dalam kerisauan yang dalam. Hatinya galau dan pikirannya kacau. Pelan ia angkat sepatu kain yang diberikan adangnya dan ditatapnya. Lama ia perhatikan sepatu tersebut. Hatinya semakin sedih. Begitu beda perhatian dan perlakuan mamanya terhadap adang dan dirinya.

Adang, anak pertama mama sungguh istimewa. Dia menamatkan SR (SD) dan SMP hanya 7 tahun dan selalu jadi juara I di sekolahnya. Kemudian setelah tamat SMA, langsung melanjutkan ke Akademi dan tamat dengan nilai tertinggi. Apa-apa keinginannya selalu dipenuhi. Sangat berbeda dengan dirinya. Pencapaian nilai tertinggi di sekolahnya, hanya sampai juara II.

Dalam kegundahan itu, Vitlan berbulat tekad dan pendirian, bahwa ia harus berhasil mencapai cita-citanya, secara sendirian tanpa bantuan orang tua. Di dalam batinnya, sudah tertanam prinsip dan semboyan: Kalau saudara-saudaranya sukses, karena dukungan penuh keluarga, ia mesti sukses dengan kekuatan diri sendiri. Harus dan harus.

”Alan, Alan, Alan. Adanya di rumah kau?” terdengar suara orang memanggilnya.

Mendengar panggilan dari suara yang sudah dikenalnya betul itu, Vitlan segera bangkit melongokkan wajahnya ke jendela. Di keremangan malam, ia melihat Besra Sitinjak, teman sebangkunya, melambaikan tangan mendekat.

”Hai, Bes. Kok cepat kali kau pulang?” sapanya.     

”Sudah hampir pukul delapan ni, ya pulanglah. Kau kenapa tidak masuk tadi” tanya Besra.

”Tidak enak badan aku, sejak pulang praktek tadi.” jawab Vitlan.

”Adanya praktek kau tadi?” Tanyanya lagi

”Ada. Kami di Lori tadi, di lapangan. Letih sekali aku rasa. Kau tadi di mana?” tanya Vitlan.

”Aku tadi di bengkel. besok di lapangan.” kata Besra.

”Aku besok di jaringan.” kata Vitlan.

”Lan, ngomong-ngomong tamat nanti, kau lanjut atau cari kerja?” tanya Besra.

”Kepingin aku, mau lanjut. Mama dan udaku, nyuruhku ke Jakarta. Tapi, aku kepingin melanjutkan kuliah ke Medan.” jelas Vitlan.

”Baguslah itu. Aku rencananya mau nyambung ke Medan juga. Tapi itu tergantung ito akulah. Di mana katanya, ke situlah aku.” jelas Besra dengan lobat Bataknya.

”Kampungmu di mana, Bes?” tanya Vitlan.

”Kampung asalku di Tarutung. Tapi aku lama di Siantar.” jawab Besra.

”Jauh tu dari Medan?” tanya Vitlan.

”Adalah 120 KM.” jawabnya.

”Jauh juga ya. Kau pernah ke Medan?” tanya Vitlan lagi.

”Pernah tiga kali kalau tidak salah. Waktu SMP dulu, sebelum itoku pindah ke sini.” katanya lagi.

”Aku pulang dululah ya, Lan.” pinta Besra, setelah beberapa saat kemudian.

”Yalah.” jawab Vitlan.

Selesai mandi, Vitlan melangkahkan kakinya ke pasar baru untuk makan malam. Selesai makan, ia singgah di kedai rokok Indra di depan kantor pos. Vitlan menarik isapan Ji Sam Soenya dalam-dalam. Kemudian ia melangkah gontai ke rumah Emy. Ia dapati Reno, adik Emy sedang berdiri di depan pintu.

Kepada Vitlan, Reno mengatakan bahwa Emy sudah pindah ke Padang Panjang dan melanjutkan sekolahnya di sana. Ketika ditanyakannya, adakah dia meninggalkan pesan atau surat, Reno mengatakan tidak ada, sambil menggelengkan kepalanya. Ia menarik dalam-dalam isapan rokoknya, kemudian membalikkan badannya beranjak dari tempat itu.

Vitlan melangkah gontai menyusuri jalannya tadi kembali ke tempat kos. Sampai di depan kedai Indra, ia disapa seseorang,

”Hei, ka maa ang Lan?” sapa Iwan,

”He waang Wan. Pulang.” jawabnya singkat, begitu tahu siapa yang menegurnya.

”Masih sanjo baru. Manga ang pulang?”

”Sadang dak lamak badan, Wan.” jawabnya.

” Siko lah dulu, manga capek-capek bana pulang?” lanjut Iwan.

”Indak ado do. Cuma ingin pulang sajo.” katanya sambil menghentikan langkahnya, menghampiri Iwan.

”Duduaklah siko dulu.” katanya sambil menggamit tangan Vitlan untuk duduk di sampingnya.

Ia menurut, kemudian mereka ngobrol bertiga dengan Indra. Tidak lama berselang datang Anto, Pian dan Eman. Kedai Indra yang tadinya sepi, berubah jadi riuh dengan senda gurau dan canda ria mereka.

”Nonton yok, filmnya lah kan main tu.” ajak Iwo yang datang bersama Bahrum.

”Ayok.” jawab mereka serentak, lalu beranjak dari tempat itu, menuju bioskop yang jaraknya selang dua bangunan dari situ.

Film yang diputar di bioskop pada malam itu, sebuah film spy yang dibintangi oleh Guilliano Gema, cukup membuat suasana hati Vitlan terhibur. Namun begitu ia membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya, rentetan kejadian yang dialaminya dari tadi siang, kembali memenuhi rongga batinnya. Tidak terasa air mata menetes dari sudut matanya. Ia menyeka pipinya dengan punggung tangannya. Kerisauan dan kesedihannya kembali memuncak.

Vitlan menghabiskan malam itu dengan isapan rokok dan tatapan hampa di langit-langit kamar. Sudah empat batang Ji Sam Soe dihabiskannya hingga akhirnya kelelahan menyelimuti matanya dan ia pun tertidur dalam kelelahan tersebut.

Persamaan kata:

maa = mana    waang/ang = kamu      bengke = bengkel        mameloki = memperbaiki

ala = sudah      elok = bagus    maelo = menghela      baro = bara             baraa = berapa

ampek = empat           limo = lima     siko = sini       sarupo = serupa             jo = dengan

ateh = atas       bao = bawa      sajo = saja       bataratik = beretika             saketek = sedik           t

nantian = nantikan      dek = oleh       manyuruah = menyuruh             cabiak = sobek           

ka = ke       jaan = jangan        pai = pergi       sadang =  sedang             dak =  tidak

bersambung

Bagikan: