Tabedo – Bagian 38
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

”Lan, Lan, bangun. Sudah jam tujuh ini. Tak praktek waang,” kata Sumarno, memba-ngunkannya. 

”Aaahh,” jawab Vitlan sambil mengusap-usap mata dan bangkit dari tempat tidurnya.

Tanpa mandi, ia langsung berpakaian, minum segelas air hangat dari termos, ia segera berlari ke kantor PN TBO. Di jembatan dekat kelok S, ia bertemu dengan kelompoknya dan langsung bergabung dengan mereka, ke tempat praktek jaringan yang tidak jauh dari tempat kosnya.

Hari itu, mereka memasang jaringan listrik di rumah penduduk yang akan dijadikan tempat pesta perkawinan. Vitlan dan teman-teman prakteknya, sudah barang tentu sangat senang sekali, karena di lokasi praktek kali ini, mereka mendapat layanan istimewa dari tuan rumah berupa minuman, penganan dan makan siang gratis. Mereka mengistilahkan layanan ekstra seperti ini, dengan sebutan ”Perbaikan Gizi” anak sekolah, terutama bagi anak kos.

Sore harinya, waktu istirahat, Ia bersama dengan Sumarno, Bahrum dan Siswo, dipanggil wakil kepala sekolah ke ruangannya. Sebagai Pembina OSIS, kepada mereka ditanyakan persiapan studi wisata. Mendengar laporan mereka, wakil kepala sekolah merasa puas. Sewaktu keluar dari ruangan tersebut, beliau menyuruh Vitlan, berkoordinasi dengan ibu Tina, pembina OSIS yang bertanggungjawab mengenai persiapan logistik Studi Wisata.

Suatu sore, kebetulan hari libur, Vitlan pergi mengunjungi kediaman ibu Tina, yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Dengan perasaaan ragu dan rasa bersalah (karena beberapa waktu yang lalu, ia telah berlaku tidak sopan kepadanya), ia ketuk pintu rumah bu Tina.

”Bu, bu Tina (sapa Vitlan, antara terdengar dengan tidak).

”Ya, siapa?” terdengar jawaban sembari membuka pintu.

”Ouu, kamu Lan. Mari masuk,” kata bu Tina.

”Ya, Buk,” terus masuk, dengan menundukkan kepala.

Melihat Vitlan tegak mematung di hadapannya, bu Tina mendekat.

”Ayo, silakan duduk. Kok kamu bengong begitu,” sapanya lagi.

”Maafkan saya, Buk, atas tindakan saya tempo hari pada Ibuk,” kata Vitlan dengan tetap menunduk.

Bu Tina, menggeser posisi berdirnya ke depan Vitlan, memegang dagunya dan mengangkatnya. Mereka bertatapan. Sebentar, lalu Vitlan kembali menundukkan wajahnya.

”Tatap ibu,” kembali mengangkat dagu Vitlan.

Mereka kembali bertatapan. Dada Vitlan berdegup kencang, begitu melihat senyum mengambang di bibir bu Tina.

”Kamu tampan, Lan. Ibu menyukaimu,” katanya lembut.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba,

”Ibu juga cantik,” kata Vitlan membalas senyumnya.

Ibu Tina merangkul tubuh Vitlan, dan mereka berpelukan dan berciuman. Panasnya hawa dekapan dada bu Tina, membuat darah Vitlan terasa mengalir dengan derasnya. Seluruh tubuhnya terasa terbakar.

”Lan, ibu menyukaimu. Kamu sayang sama ibu kan?” bisiknya ke telinga Vitlan, dalam dekapan.

”Ya Bu, Alan juga sayang sama Ibu,” balas Vitlan.

Denyit bunyi pintu dibuka, menyadarkan mereka dan bu Tina melepaskan pelukannya. Mereka kemudian duduk di kursi tamu dengan posisi berhadap-hadapan. Bu Lela, teman sesama guru dengan bu Tina, yang sekaligus pemilik rumah, datang menghampiri dan duduk di samping bu Tina. Vitlan memberi hormat dan menyalami bu Lela. Ia menceritakan maksud keda-tangannya ke rumah itu.

Selesai membicarakan persiapan Studi Wisata dan ngobrol panjang lebar ke sana ke mari, Vitlan mohon diri pamit pada mereka. Dengan senyum merekah dan tatapan mata penuh arti, bu Tina melepas kepergian Vitlan.

Tiba di tempat kos, didapatinya Sumarno baru saja selesai mandi dan mau berpakaian. Melihat Vitlan senyum-senyum kecil, ia mengerenyutkan keningnya. Sambil mengenakan pakaian,

”Agak aneh waang den caliak sanjoko, senyum-senyum surang,” katanya heran.

”Ndak, ndak apo-apo. Biaso-biaso sajo,” jawab Vitlan.

”Biaso-biaso baa. Bantuak urang senewen waang den caliak,” lanjutnya.

”Cuma lucu sajo, taraso di ambo,” lanjut Vitlan, sembari duduk di dipan dan membuka sepatunya.

”Urang gilonyo, nan senyum-senyum surang,” katanya lagi sambil bersisir di depan kaca.

Vitlan memakai sendal, keluar ke kamar mandi dan kembali untuk sembahyang Maghrib. Ia mengambil tempat di samping dipannya. Sementara Sumarno sembahyang di sisi lain kamar mereka. Setelah itu, mereka makan bersama.

Selesai beres-beres, Sumarno langsung duduk dan mengambil buku pelajaran untuk berlajar. Sementara Vitlan duduk berselonjor di atas dipan, menikmati Ji Sam Soe kegemar-annya. Sejenak kemudian, ia keluar kamar dan duduk di bangku-bangku yang ada di bawah pohon Rambutan. Ia duduk bersandar di sandaran bangku, sementara kakinya naik ke atas meja taman.

Ia isap dalam-dalam rokoknya. Matanya menatap daun rambutan yang hanya nampak berwarna hitam. Kejadian tadi sore, kembali muncul dalam ingatannya, jelas sekali. Bagaimana dagunya dipegang bu Tina dan mereka berpelukan. Saling berkecupan dengan mesra. Hangatnya bibir dan dada gurunya itu, masih terasa.

Ingat kejadian itu, Vitlan senyum sambil geleng kepala. Ia senyum, karena merasa senang mendapat kehangatan baru, ketika hatinya sedang sedih dan kecewa, karena ditinggal tanpa sebab. Geleng-geleng kepala, karena kejadian itu sama sekali tak disangka-sangka dan diluar dugaannya. Itulah untuk pertama kalinya ia merasakan pelukan dan kehangatan tubuh dan bibir seorang perempuan dewasa.

 Dua batang sudah rokok diisapnya, ia bangkit masuk ke dalam kamar. Ia mengambil posisi duduk di sebelah kiri Sumarno dan membuka buku pelajaran. Hanya sebentar, kemudian bangkit dan berbaring di atas dipan. Bantalnya dilipat, sehingga posisi kepalanya menjadi lebih tinggi.

Vitlan menyalakan rokok, asap mengepul ke udara berbentuk bulatan-bulatan. Matanya menatap langit-langit kamar. Habis sebatang, tangannya meraih batang rokok kedua. Ia tenggelam dalam lamunannya. Hingga matanya mulai terasa perih. Kemudian terpejam. Sumarno tidak memedulikan perubahan tingkah temannya itu. Ia asyik dengan tugas sekolahnya.

Persamaan kata:

den = aku        caliak = lihat   sanjo = senja      surang = sendiri             taraso = terasa

senewen = gila

bersambung

Bagikan: