Tabedo – Bagian 40
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Bu Tina datang membawa baki berisi 3 gelas Teh Manis panas, sebuah mangkok air cuci tangan dan selembar lap tangan. Ia meletakkan ketiga gelas tersebut di hadapan masing-masing.

”Silakan diminum,” tawarnya, sembari membuka tutup botol makanan yang ada di atas meja tamu.

”Jadi, mengenai konsumsi kita selama berada di Paya Kumbuah, sebagiannya akan ditanggung oleh tuan rumah,” kata bu Tina, membuka pembicaraan.

”Yang mana saja, yang mereka tanggulangi?” tanya bu Lela.

”Berita yang didapat dari mereka, adalah: makan malam hari Jumat dan Sabtu, sarapan pagi Sabtu dan Minggu,” jelas bu Tina.

”Makan siang hari Sabtu, Bu?” tanya Vitlan.

”Sabtu siang, kita kan di lapangan, studi tour. jadi makannya kita beli di tempatlah,” jelasnya

”Sementara makan siang hari Jumat dan Minggu, kita beli,” imbuhnya.

”Bagaimana dengan dana yang sudah kita persiapkan, apa kita gunakan untuk beli oleh-oleh?” tanya Vitlan lagi.

”Itulah makanya ibu panggil kamu ke sini, guna membicarakannya.” kata bu Tina.

”Bagaimana, bu Lela. apa pendapat Ibu?” tanya bu Tina kepada sahabatnya.

”Bagaimana bila sebagiannya kita gunakan untuk biaya pembuatan cinderamata, misalnya hiasan dinding atau jam dinding dan sebagainya,” kata bu Lela.

”Haa saya punya usul, bagaimana bila kita buatkan cinderamata juga. Tapi dari Batubara, yang merupakan ciri khas kota kita, misalnya: papan nama kepala dan wakil kepala sekolah atau asbak rokok atau ukiran dari batubara. Bagaimana?” kata Vitlan.

”Saya setuju tu. sebagian lagi, kita serahkan kepada mereka untuk keperluan konsumsi dan makan ringan acara hiburan nanti,” timpal bu Lela.

”Lan, coba kamu hitung, berapa kira-kira biayanya itu? sela bu Tina.

”Jadi apa saja yang mau kita buat, Bu. papan nama kepala dan wakil kepala sekolah, dan asbak rokok? tanya Vitlan.

”Ya. tapi asbak rokoknya kalau bisa yang berukuran agak besar agar bisa diletakkan di meja tamu,” kata bu Tina.

”Baik Buk. nanti saya tanya ke sana dulu. kalau begitu, saya pamit dulu Buk, Assalamu’alaikum,” kata Vitlan kepada kedua gurunya itu.

”Wa’alaikumussalam, ibu tunggu kabarnya secepatnya, ya Lan, lanjut bi Tina.

”Ya Buk,” jawab Vitlan, segara berlalu.

Setelah sholat Ashar, berdua dengan Siswo, Vitlan berkunjung ke rumah salah seorang pejabat PN TBO, yang juga guru di sekolahnya. Kebetulan sekali beliau sedang santai dengan putrinya di ruang tamu.

”Assalamu’alaikum, Pak,” sapa mereka.

”Wa’alaikumussalam, masuk, Lan, Wo. Imbau om Ical  nak. ado kawannyo datang,” menyuruh anaknya.

”Sabananyo kami paralu jo Bapak, ma,” kata Vitlan.

”Ha, paralu apo tu?” jawab pak Syafwan (begitu gurunya itu dipanggil). 

”Baiko, Pak. Sahubuangan dengan kegiatan Studi Wisata, Pembina OSIS, mamintak supayo awak tu mambuek cendramato babantuak papan namo kapalo, wakil kapalo sikolah jo asbak rokok dari batubaro yang marupokan khas Sawah Lunto, masiang-masiang ciek.” kata Vitlan.

”Rancak bana tu mah, Lah bapasan?” tanya pak Syafwan.

”Alun lai, Pak. Mancari bahan bakunyo nan susah, Pak. Kan harus dipasan ka urang di tambang.” jelas Vitlan.

”Nan kan mangarajoannyo lah ado?” lanjut pak Syafwan.

”Lai, Pak. Ado rang gaek kawan, nan ka mangarajo-annyo.” sela Siswo.

(sambil mengerenyitkan keningnya dan menatap mereka bertiga), sesaat kemudian. ”Sudah, bia Bapak sajo nan mambueknyo. Kalian siapkan sajo nan lain.” tegas pak Syafwan.

(Dengan raut wajah gembira dan sedikit keheranan, Vitlan memalingkan wajahnya menatap Siswo dan Ical, yang duduk di sebelah kanan dan kirinya), ”Makasih, Pak. Makasih, Pak.” kata Vitlan dan Siswo serentak.

Selepas maghrib, Vitlan segera bergegas ke rumah bu Tina.

”Assalamu’alaikum,” sambil mengetuk pintu.

”Wa’alaikumussalam, siapa?” terdengar suara jawaban dari dalam.

”Alan, Buk.” jawab Vitlan.

”Tunggu sebentar ya, Lan.” lanjutnya

”Masuk, Lan.” jawab bu Tina membuka pintu.

”Bu Lela, maa nyo?” tanya Vitlan.

”Ado di balakang. Kami sadang masak.” jawab bu Tina.

”Sabanta sajo Buk, cuma mangabari masalah cinderamata sajo.” kata Vitlan.

”Masuk dulu.” kata bu Tina, sembari menggamit tangan Vitlan ke pangkuannya.

Darah Vitlan berdesir, merasakan hangat dada bu Tina di tangannya. Ia menurut saja, ketika dituntun ke kursi tamu.

”Sabanta yo, Lan.” katanya sembari berlalu ke belakang.

Vitlan duduk dan membentangkan kedua tangannya ke sandaran kursi. Merasa gerah, ia membuka kancing bagian atas bajunya dan mengambil buku tulis yang terselat di atas meja, lalu mengipaskannya ke lehernya. Bu Tina kembali ke depan dan memindahkan peralatan yang ada di atas meja dan meletakannya di atas bufet.

”Makan di sini, ya.” katanya sambil berlalu.

Bu Tina dan bu Lela kembali ke depan, sambil membawa perlengkapan makan dan meletakkannya di atas meja tamu. semua sudah lengkap.

”Ayo kita makan.” kata bu Tina, sembari menyerahkan piring yang sudah berisi nasi kepada Vitlan.

Selesai makan, bu Tina lansung mengintoregasi Vitlan dengan pertanyaan,

”Bana Lan, apo berita nan ingin Alan sampaikan. Bia kami dangakan.” tanyanya

”Baiko caritonyo Bu. Tadi sore tadi, Alan pai ka rumah pak Syafwan, menyampaikan ide tentang cinderamata itu ka beliau. Beliau menyambut baik ide itu, sampai-sampai mengatokan, ”bia beliau sajo nan manyadiokannyo.” jelas Vitlan.

”Jadi, pak Syafwan mambueknyo?” selidik bu Tina.

”Iyo, Buk. dalam duo tigo hariko siap, kata beliau.” jawab Vitlan.

”kalau baitu, uang untuak cinderamato tu, rancaknyo dipangakan yo?” komentar bu Tina.

”Tasarah Ibuk lah.” jawab Vitlan.

”Sudah, balikan untuak makan di pajalanan sajo.” sela bu Lela.

”O iyo yo. Rancak untuak bali makanan, nan ka dikulek-kulek di ateh oto. Kalau baitu, salasai sudah parsiapan awak ma. Tingga pelaksanaan sajo lai.” lanjut bu Tina.

”Kalau baitu, Alan baliak lai, Buk. Assalamu’alaikum.” kata Vitlan bangkit mohon diri.

”Wa’alaikumussalam.” jawab mereka berdua.

Keluar dari rumah bu Tina, Vitlan tidak langsung pulang ke tempat kostnya. Ia meneruskan langkahnya ke tempat biasa ia nongkrong dengan teman-temannya. Tiba di lokasi, ia dapati hampir semua teman nongkrongnya ada di sana.

”Dari maa waang Lan?” sapa mereka.

”Ado paralu stek.” jawab Vitlan sambil mengambil posisi duduk di sebelah Bahrum.

”Ado barang masuak sabanta lai.” kata Atan.

”Cocok kali lah itu, alah kampih saku ma.” komentar Vitlan.

Tak berapa lama, truk-truk yang membawa kayu log, masuk dan berhenti di hadapan mereka. Mereka segera naik, dan truk-truk melaju kembali menuju gudang tambang. Kira-kira satu jam, muatan truk selesai mereka pindahkan ke dalam gudang. Mereka kembali ke tempat nongkrong tadi untuk membagi hasil keringat mereka dan seterusnya membubarkan diri.

Vitlan dan Bahrum jalan beriringan, kemudian berpisah di kelok S. Setiba di rumah ia langsung ke sumur untuk mandi dan bersalin. Ia menyalakan sebatang rokok, sembari menghenyakkan pantatnya   di kepala difan dan bersandar ke dinding kamar. Kelelahan membuatnya cepat mengantuk. Vitlan mematikan rokok dan meletakkan sisanya di asbak. Lalu membaringkan badan dan seketika langsung tertidur.

Vitlan dan bu Tina beriringan berjalan di pematang sawah, hingga sampai di tepian sebuah sungai. Mereka menyeberanginya dan berhenti di sebuah pondok kecil di kaki bukit. Vitlan menurunkan kaki celana dan membersihkannya dari serpihan rerumputan yang lengket padanya. Ia mengambil posisi duduk bersandar pada tiang pondok, merogoh kantong dan mengeluarkan kretek Ji Sam Soe. Mengambilnya sebatang dan menyulutnya.

Bu Tina mendekat dan mengambil rokok yang belum sempat dinyalakannya dan meletakkannya di lantai pelupuh. Ia mengangkat tangan Vitlan dan melingkarkannya di tengkuknya. Mereka berpelukan. Bu Tina mengecup dan melumat bibir Vitlan dengan penuh gairah, membuat Vitlan sulit bernafas. Ia coba membalas, lalu berhimpitan di lantai. Nafas bu Tina memburu, menandakan ia sudah mendekati puncak gairah. Satu demi satu kancing bajunya membuka. Pelukannya semakin erat.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh pelepah kelapa yang jatuh di samping pondok. Keduanya bangun dan merapikan pakaian mereka yang acak-acakan. Bersamaan dengan itu, Vitlan pun terbangun dari tidurnya. Ia duduk bersandar di dinding kamar. Nafasnya masih memburu, ia menjangkau cangkir teh dan meneguknya beberapa deguk.

Ia mengambil sisa rokok, yang tadi diletak-kannya di asbak dan menyulutnya. Asapnya mengepul ke udara dan pecah di langit-langit kamar. Vit-lan merebah begian depan celana dalamnya, basah. Jarum jam dinding menunjuk angka tiga lewat seperempat. Ia menghisap rokoknya sambil rebahan, berusaha untuk tidur kembali, namun matanya tak hendak terpejam. Vitlan bangkit mengambil termos air dan menuangkan ke dalam cangkir dan menambahkan sedikit gula, lalu menyerumputnya.

Mendekati subuh, kantuk mulai terasa menyerangnya. beberapa kali, mulutnya menguap. Ia lalu merebahkan kembali tubuhnya di dipan dan tak lama berselang tertidur, hingga matahari mulai meninggi. Sumarno sengaja tidak membangunkannya, karena hari itu memang hari libur akhir pekan sekolah.

Menjelang tengah hari, Vitlan baru terbangun. Seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal. Ia segera bangkit kemudian mandi dan mencuci pakaian. Setelah bersalin, ia mengajak Sumarno ke pasar baru membeli sambal dan lauk. Lagi banyak uang, Vitlan membeli satu potong gulai Tunjang dan satu potong asam padeh ikan. Sementara untuk Sumarno, ia belikan dua porsi gulai Cincang. Saking lahapnya, mereka makan, hingga nasi yang dimasak Sumarno untuk dua kali makan, ludes siang itu.

bersambung

Bagikan: