Tabedo – Bagian 42
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

Teriakan piket melalui megaphone, membuat mereka terbangun. Petugas memberi aba-aba agar segera mandi dan berkemas. Pukul setengah enam sore, semua siswa sudah siap dan berbaris di lapangan. Vitlan melakukan absensi dan dua orang di antara mereka tidak hadir. Ketua kelompok melaporkan bahwa kedua siswa tersebut, beristirahat karena mengalami sakit kepala dan mimisan.

Selesai makan malam bersama, acara dilanjutkan dengan malam Temu Pisah. Masing-masing perwakilan sekolah mengharapkan aga pertemuan ini tidak hanya sampai di sini. Akan tetapi senantiasa berlanjut di masa-masa yang akan datang. Persabatan antara kedua sekolah, diharapkan semakin kuat dan dan berkembang pada kegiatan-kegiatan lain.

Setelah acara formal, malam temu pisah dilanjutkan dengan acara hiburan, yang dibuka dengan penampilan vocal group tuan rumah. Dua lagu (Bila Hari Telah Senja & Aiga) mereka bawakan dengan apik, dilanjutkan dengan sebuah puisi. Tak kalah dengan tuan rumah, tamu pun tampil dengan vocal groupnya, membawakan lagu Koes Plus, Angin Laut & Kapan Kapan. Penampilan mereka dilengkapi oleh Vitlan dengan iringan gitar akustik oleh seorang siswa tuan rumah membacakan sebuah puisi yang berjudul:

Datang dan Berlalu

Fajar muncul di ufuk timur

Membawa kehangatan dan harapan

Rumput dan dedaunan menampakkan keceriaan alami

Di terang pagi.

Kehangatan masih terasa seiring meningginya sang mentari.

Namun …

Tanpa diduga dan dinyana

Senyum dan tawa, hilang seketika

Tatkala mendung datang, tiba-tiba

Ditiup angin tiada sebab kerana

Diri terhuyung dan terhempas ke bumi (sambil menjatuhkan diri)

Nanar tidak berdaya

dan …

Semua menjadi sepi.

Melihat kejadian tak diduga itu, sebagian penonton ada yang menjerit dan ada pula yang membelalakkan mata sembari menutup mulut. Vitlan bangkit membungkuk memberi peng-hormatan kemudian kembali ke tempat semula.

Penampilan mereka berdua yang aktraktif tersebut, tak pelak mendapat aplus yang meriah seluruh  penonton. Tepuk tangan dan suitan, menambah kemeriahan malam temu pisah tersebut. Tiba-tiba, secara spontan, beberapa orang siswa, bangkit dan menyongsong mereka ke depan panggung, guna menyalami mereka berdua. Melihat suasana tersebut, siswa yang lain ikut bangkit memberikan ucapan selamat.

Acara ditutup pukul 11.00 malam dan selanjutnya, mereka menghabiskan malam itu hingga setengah satu dini hari dengan mengobrol, berkelompok. Suasana acara bebas ini, tambah hangat dengan datang panitia konsumsi membagikan gorengan (ubi kayu, ubi rambat, sukun dan pisang kepok) serta teh dan kopi manis panas.

Pagi harinya, setelah selesai sarapan pagi bersama, rombongan studi wisata STM Sawah Lunto, dilepas oleh wakil kepala sekolah  STM negeri Payakumbuah. Selesai bersalaman, mereka menuju ke Kapalo Banda Taram, terus ke Lembah Harau hingga tengah hari.

Selepas makan siang dan shalat jamak qasar, Zuhur dan Ashar, rombongan meninggalkan lokasi, untuk seterusnya kembali ke Sawah Lunto. Menjelang maghrib, rombongan tiba di halaman sekolah mereka. Mereka langsung membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing. Rasa puas dan bahagia, terpancar dari wajah mereka.

Vitlan, Sumarni, Bahrum dan Siswo, pulang belakangan, setelah semua siswa pulang. Mereka jalan beriringan dengan bu Tina dan bu Lela. Selain memanggul tas kainnya, Vitlan juga menjinjing tas bu Tina. Sementara Sumarno membantu membawakan tas bu Lela. Mereka mampir ke rumah kedua guru pembina OSIS tersebut. yang memang tinggal di tempat yang sama, untuk menyinggahkan barang bawaan mereka berdua. kemudian  melanjutkan langkah mereka ke rumah masing-masing.

Tiba di tempat kos, Vitlan langsung mengeluarkan handuk, dari ranselnya dan segera ke sumur untuk mandi. Selesai bersalin, ia menyulut sebatang Ji Sam Soe lalu merebahkan tubuhnya di difan. Tak berapa lama antaranya, ia langsung tertidur pulas. Sementara puntung kreteknya, jatuh ke samping dipan dalam keadaan sudah tidak menyala lagi.

Kondisi serupa dialami Sumarno. Ia bahkan tidak sempat mandi, karena begitu sampai di kamar kos dan menunggu Vitlan mandi, ia merebahkan badannya di atas tikar yang dibentangkannya, di lantai dan langsung tertidur dengan handuk masih melingkar di pinggangnya. Melihat temannya itu tertidur pulas, Vitlan tidak sampai hati untuk membangun-kannya dan membiarkannya terus tertidur.

Lewat tengah malam, Vitlan terbangun. Ia menggeliatkan badannya ke kanan dan ke kiri, kemudian duduk di tepi dipan. Sumarno masih tergeletak di tikar. Vitlan menggeser badannya secara pelan, agar tidak menyentuh tubuh temannya itu. Ia meraih tasnya dan mengambil bungkusan dari koran pemberian bu Tina dan membukanya.

Tiga kotak karton kecil dikemas dengan rapi, masing-masing dibungkus kertas kado. Vitlan membuka satu persatu. ”Waouw” gumamnya setelah melihat isinya. Satu kotak, kacang tojin, satu kotak kue bawang dan satu kotak lagi berisi kue bunga durian. Vitlan meraih muk air minum dari atas meja belajar dan meneguk beberapa teguk.

Satu persatu makanan itu dicobanya. Kemudian mengutip sisa rokoknya dari lantai dan menyalakannya. Sembari kue dan kacang tojin, asap rokoknya mengepul ke udara dan pecah di langit-langit kamar. Tangan kanannya tak henti-hentinya bergerak ke kotak makanan dan ke mulutnya. Sementara tangan kirinya asyik mempermainkan rokok.

Sebatang rokok habis diisapnya, Vitlan meneguk beberapa teguk air, kemudian menutup kotak makanan dan merebahkan badannya kembali di atas difan dan tidur lagi sampai pagi. Ia baru terbangun menjelang pukul delapan. Itupun setelah dibangunkan Sumarno.

#####

Saat ujian akhir sekolah sudah mendekat. Setiap siswa mesti melengkapi syarat administratif sekolah agar dapat mengikutinya.Vitlan mesti berangkat ke kota Padang guna menggandakan salinan ijazah dengan memfotocopinya. Karena pada saat itu, layanan fotocopi baru ada tersedia di sana.

Pagi-pagi sekali, ia bergegas menuju terminal di pasar baru guna membeli tiket bus. Kira-kira pukul 10, ia tiba di Padang dan segera mencari tempat fotocopi sebagaimana arahan guru di sekolah. Seperempat jam kemudian, proses penggandaan ijazah selesai. Vitlan kembali ke Sawah Lunto dan keesokan harinya langsung menyerakan berkas kelengkapan tersebut, ke tata usaha sekolah.

  Hasil ujian akhir sekolah Vitlan, cukup bagus, dengan nilai rata-rata, 76 (tujuh puluh enam). Namun yang membesarkan hatinya adalah hasil ujian prakteknya, sangat memuaskan. Karena itu, ia langsung ditawari untuk bekerja di Ombilin (PN. Tambang Batubara Ombilin). Vitlan menolak tawaran tersebut, karena ingin melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi.

Sepekan kemudian, Vitlan menerima ijazah, sebagai bukti telah menematkan sekolahnya dengan baik. Ia segera berkemas untuk segera meninggalkan kota itu. Sore itu, ia datang ke rumah bu Tina, untuk pamitan. Bu Tina segera menggamit tangannya dan membawanya duduk berdampingan di kursi tamu.

”Kamu mau dibuatkan kopi apa teh manis, Lan?” sapa bu Tina.

”Kopi manis saja,” jawab Vitlan.

Bu Tina beranjak ke belakang. Sejenak kemudian, ia kembali ke depan dengan secangkir kopi panas dan duduk di samping Vitlan. Vitlan menuangkan kopi manisnya ke alas cangkir dan menyerumputnya pelan-pelan.

”Lan, kapan kamu akan melamarku?” kata bu Tina, kembali meraih lengan Vitlan dan mempererat pelukannya..

Mendapat pertanyaan tak terduga tersebut, Vitlan merubah posisi duduknya menghadap bu Tina. Ia menatapnya, kemudian kembali ke posisi se-mula. Tapi bu Tina malah merangkul kepala Vitlan ke dalam dekapannya. Hawa panas tubuhnya, membakar  seluruh tubuh dan menerjang-nerjang kelelakian Vitlan. Ia mengangkat wajahnya berhadapan dengan wajah bu Tina. Bu Tina merapatkan mulutnya ke mulut Vitlan. Ia melumat bibir Vitlan dengan penuh gairah dan Vitlan mencoba mengimbanginya.

Beberapa saat mereka bergumul dalam kemesraan badani. Kejantanan Vitlan meronta-ronta, mengeras seperti sebatang besi yang siap menembus celananya. Gejolak asmara badani itu, semakin memuncak dan akhirnya membuat bagian dalam celana Vitlan basah oleh cairan kelelakiannya. Pelan-pelan bu Tina melepaskan pelukannya, begitu mendengar bunyi derit pintu pagar besi halaman dibuka orang.

Vitlan bangkit kembali ke tempat duduknya semula. Ia meraih gelas kopi manis yang sudah mulai dingin, lalu menghirupnya sedeguk, lalu merapikan rambutnya yang sempat acak-acakan.

Bu Tina segera bangkit mendekat ke pintu lalu membukanya. Ia menyongsong bu Lela dan membantu mengangkat barang bawaannya. Vitlan berdiri menyusul ke teras, ikut membantu.

bersambung

Bagikan: