Tabedo – Bagian 5
Oleh: Phillar Mamara
(Bagian 5)
Adzan shubuh telah berkumandang, Icha tersentak lalu memasukkan buku hariannya kembali ke dalam tas. Ia bergegas ke belakang, berwudhuk kemudian shalat di ruang shalat. Selesai berdoa Icha merebahkan diri di atas sajadah dan tertidur di sana hingga hangatnya sinar mentari pagi, yang masuk melalui jendela, menerpa tubuhnya. Ia membuka mata, bangun dan kembali ke kamar. Kedua sepupunya masih tergolek. Ia bangunkan keduanya, lalu keluar kamar. Di atas meja ruang tengah ia dapati selembar kertas bertuliskan pesan.
“Anak-anak, Ibu ke pajak, kerjakan pekerjaan kalian seperti biasa,”
Selesai mandi dan sarapan, ketiga gadis itu sudah sibuk kembali dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mereka harus membantu ibu mereka mengelola usaha catering, karena mereka sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain ibu yang sudah menjanda sejak ditinggal mati ayah mereka beberapa tahun yang lalu.
!!!
Hari-hari berlalu, tidak nampak perubahan pada sikap Vitlan. Ia melakukan aktifitas kesehariannya seperti biasa. Bangun shubuh lalu ke masjid, setelah itu jalan pagi, membantu Mak membuka dan merapikan kedai. Pergi kuliah, berorganisasi dan berteater, lalu pulang membantu jualan hingga tutup tengah malam.
Suatu sore, setelah kira-kira satu pekan kemudian, 3 orang gadis cantik mampir di depan kedai nasi Mak. Salah seorang dari mereka memberanikan diri bertanya.
“Assalamu’alaikum, Buk. Numpang tanya ya, apa di sini tempat tinggalnya bang Alan, maksudnya bang Vitlan?”
“Wa’aIaikumussalam, iya Nak, silakan masuk, kalian siapa?” Tanya Mak.
“Kami temannya bang Alan, Buk,” sembari memperkenalkan diri masing-masing.
“Bang Alannya ada Buk?” lanjut Cicik.
“Sebentar ya nak, silakan duduk,” balas Mak, lalu pergi ke belakang.
Sementara mereka bertiga duduk di kursi meja makan yang ada di depan steling makanan. Sejenak kemudian Mak muncul dengan membawa baki berisi tiga gelas teh manis, dan meletakkan di depan ketiga tamunya.
“Silakan diminum Nak,” kata Mak dengan ramah.
“Terima kasih Buk, bang Alannya ada Buk?” tanya Cicik lagi.
“Oh… nak Alan jam segini masih di kampus Nak, kuliah,” jawab Mak.
Ketiga gadis itu tersentak dan saling pandang
“Jam berapa dia pulang Buk?” tanya Cicik lagi.
“Ndak tentu Nak, kadang cepat kadang lambat. Apalagi kalau dia pergi ke organisasi atau ke sanggar, maulah pulangnya agak malam, atau ndak pulang sama sekali,” jelas Mak.
Mendengar penuturan Mak, ketiga gadis tersebut saling berbisik.
“Jadi bagaimana?” tanya Cicik kepada kedua saudaranya.
“Aku terserah saja, kalau kau Cha bagaimana,” balas Raudah.
“Bagaimana ya?” jawab Icha penuh kegelisahan.
“Ya kaulah, kan kau yang ingin ketemu dengan bang Alan,” sela Cicik.
“Hmm, bila tidak ke mana-mana, biasanya jam berapa bang pulang kuliahnya Buk?” tanya Cicik.
“Biasanya kalau tidak ada kegiatan lain, jam segini dia sudah pulang, paling lambat pun jam delapan lah,” jawab Mak.
Naluri sebagai orang tua, Mak melihat kegusaran begitu nyata di wajah Icha.
“Kalau begitu kami tunggu saja, Buk,” tegas Cicik.
Seterusnya mereka berempat mulai terlibat pembicaraan yang akrab.
”Sudah lama kenal nak Alan?” tanya mak kepada mereka.
“Baru seminggu, Buk,” jawab Cicik.
“Hhmm, jadi kalian yang diantar Alan malam itu?” tanya mak.
“Iya Buk, kalau tak ada bang Alan waktu itu entah bagaimana jadinya nasib kami,” sambung Cicik.
“Anak itu memang suka menolong,” sambung Mak lagi.
“Kami berharap ia akan berkunjung lagi ke rumah, tapi setelah ditunggu-tunggu tak datang-datang, makanya kami datang ke sini,” jelas Cicik.
“Si Alan itu, payah. Jangan harap dia mau berkunjung ke rumah perempuan Nak,” sambung Mak.
“Kenapa Buk?” tanya Cicik penuh selidik.
“Entah, Ibuk juga ndak tahu,” jawab Mak.
“Kok bisa begitu Buk. Bang Alan itu, orangnya kan ganteng, Buk. Anak kuliahan lagi,” timpal Raudah ingin tahu.
“Itulah, setahu Ibu, sejak tinggal di sini, Alan itu tak pernah bergaul dekat dengan perempuan. Begitu banyak anak gadis di sekitar sini, dan juga teman-teman kuliahnya mencoba mencuri perhatiannya, tak satu pun ia ladeni. Anak orang kaya di seberang itu, nah itu dia (sambil menunjuk seorang gadis cantik di teras rumah besar di seberang jalan – Mereka serentak melihat ke seorang gadis di seberang jalan. Cicik berdecak, Raudah juga. Icha timbul rasa cemburunya). sejak lama tergila-gila sama dia. Anak itu akan belanja ke sini kalau dilihatnya si Alan yang jaga, dan dia tidak akan mau membeli makanan kalau bukan si Alan yang bikin. Tapi ya itu tadi, Si Alan itu tenang-tenang saja.” jelas Mak.
“Jadi, bang Alan itu bukan anak Ibuk,” selidik Cicik.
Padanan kata:
Pajak = pasar
bersambung
