Tabedo – Bagian 6
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

“Bukan Nak, ia bukan anak Ibu, tapi bagi Ibu ia sudah seperti anak sendiri. Dia sayang kali sama Ibu. Ibu tidak boleh jaga kedai kalau dia ada di sini. Dia selalu bilang ‘Istirahatlah Mak, biar Alan yang jaga kedai. Dia rajin, pintar, dan taat beribadah,’ lanjut mak.

“Sudah lama bang Alan tinggal di sini Buk?” tanya Cicik lagi.

“Sudah sejak tamat STM, kira-kira… sudah 6 tahun, 5… tahun… ya… 6 tahun lah,” Jawab Mak mengira-ngira.

“Sudah lama juga Buk ya,” timpal Raudah.

Adzan maghrib telah berkumandang,
“Kalian shalat,” tanya Mak.
“Ya Buk”, jawab mereka.
Mak memanggil anak laki-lakinya yang berumur 10 tahun.
“Herman, kakak-kakak ini mau shalat, tunjukan kamar mandi dan ambilkan sajadahnya ya nak,” kata Mak kepada anaknya.
“Yok Kak,” kata Herman kepada ketiga gadis tersebut seraya berjalan ke bagian dalam.

Selesai shalat maghrib mereka tidak langsung turun ke bawah, tapi duduk-duduk di atas sajadah dan melihat-lihat foto yang terpajang di dinding dan dalam album yang terletak di bagian bawah meja. Di situ banyak sekali foto-foto keluarga Mak dan juga foto-foto Vitlan. Icha memperhatikan satu demi satu foto-foto itu dengan seksama, terutama foto-foto Vitlan. Ia semakin kagum, hatinya semakin bergetar. Dalam hati ia berharap dapat memiliki Vitlan.

“Beruntunglah kau Cha, seandainya dapat menaklukkan hati pemuda tampan seperti bang Vitlan,” gurau Cicik pada Icha.
“Aduh,” jerit Cicik begitu merasakan cubitan bersarang di pinggangnya.
“Rasakan mulut usil,” geram Icha.
“Ala pura-pura, padahal dalam hati hmm …,” celetuk Raudah, sambil menjauh dari Icha.
“Yok kita turun,” sambung Raudah, sambil berjalan menuju tangga.
“Yok,” jawab Cicik sambil meletakkan kembali album-album foto ke bawah meja
“Awas nanti ya,” ancam Icha geram, sambil meletakkan album kembali ke tempat semula.
Sampai di tempat semula.
“Kalian makan di sini ya?” tawar Mak.
“Terima kasih Buk, nanti saja,” jawab Cicik.
“Oh ya, nanti sama-sama nak Alan maksudnya,” goda Mak.
“Iyalah Buk,” sela Raudah, sembari ekor matanya melirik Icha. Icha menggeram menatap Raudah.
“Yaa sudah, nak Icha ini kok diam saja dari tadi,” tanya Mak,
“Karena belum ketemu Buk,” jawab Cicik.
“Diam-diam makan dalam tuh Buk,” sela Raudah.
“Aduh,” jerit Raudah, begitu tulang keringnya berasa kena tendang benda keras.
“Oohh… pantas,” goda Mak lagi.
Wajah Icha memerah, dia menjadi salah tingkah.

Waktu sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam. Orang yang mereka tunggu belum juga muncul. Icha semakin gelisah, Ia menjadi kian diam. Dalam hati ia berbisik
“Mungkinkah ia tidak akan pernah lagi melihat wajah Vitlan. Mungkinkah ia tidak akan dapat lagi betemu dengan orang yang telah merebut hatinya. Oohh … seandainya memang demikian …, entahlah. Besok ia sudah harus pulang ke kampung halamannya, dan entah kapan akan kembali lagi ke Medan.”
Ia semakin gelisah, badannya terasa panas dan sedikit berkeringat.
“Apa kalian masih ingin menunggu si Alan?” tanya Mak.
Icha terkesiap, dan secara spontan ia menjawab,
“Ia Buk, biar kami tunggu sampai jam Sembilan,”
Cicik dan Raudah terpelongoh, menatap wajah Icha seakan tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan. Melihat Cicik dan Raudah memandanginya seperti itu, Icha semakin salah tingkah, dan ia menundukan wajahnya begitu sadar apa yang ia lakukan.
bersambung

Bagikan: