Tabedo – Setengah Hati (Bagian 1)
Bagikan:

Oleh: Phillar Mamara

(Bagian 1)

Setengah Hati

Sore itu sepulang kuliah Vitlan langsung naik ke lantai dua, masuk kamar dan rebahan di ranjang. Tiga buah kancing bajunya dilepaskan, membuat dadanya terbuka lebar. Tatapannya ko-song ke langit-langit kamar. Kepulan asap rokok si-lih berganti keluar dari mulutnya. Udara senja yang masuk melalui jendela kamar yang menghadap ke gang di belakang rumah, berhembus sepoi menerpa tubuh Vitlan. Sejenak kemudian iapun tertidur de-ngan kaki masih bersepatu terjorok di ujung ran-jang. Tangan kirinya terentang ke samping ranjang. Sementara sebatang Dji Sam Soe masih terselip di antara dua jarinya, sudah mati.

Mak masuk kamar ketika adzan maghrib telah meneriakan ‘Hayya ‘alash-shalah’.
“Hai bangun, maghrib-maghrib tidur, ayo shalat!” kata mak sembari menarik ujung kaki celana Vitlan.
“Enak saja waang tidur pakai sepatu, anak presiden saja tak begini tidurnya,” sambung mak lagi, lalu keluar setelah melihat Vitlan bangkit dari ranjang.

Dengan perasaan berat dan malas Vitlan bangkit dari ranjang, lalu turun ke kamar mandi yang terletak di lantai dasar. Setelah berwudhuk ia kembali ke kamar. Selesai shalat maghrib Vitlan re-bahan kembali sembari menyulut sisa dji sam soe yang ia taroh tadi di asbak yang terletak di lantai de-kat ranjang. Asap mengepul ke langit-langit kamar. Sebatang habis lalu disambung lagi dengan batang kedua. Vitlan kembali menerawang menatap langit-langit kamar. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas saat itu Vitlan terlihat lesu sekali.
Kira-kira pukul 08.00 malam, Maman, Surya, dan Jamil datang. Mereka terlihat begitu ceria dan pakaian mereka pun terlihat rapi. Tanpa buka sepa-tu, mereka bertiga masuk. Jamil dan Surya duduk di tepi ranjang, sementara Maman duduk di kursi di depan meja belajar.
“Ngapai kau sendirian di sini, macam perempuan di tinggal laki saja kau,” kata Jamil membuka pem bicaraan.
“Iya, kayak orang patah hati saja,” timpal Maman sambil mempermain-mainkan jangka yang terdapat di atas meja belajar.
“Yok keluar yok,” ajak Surya.
(sembari mendecak) “Malas ah”, jawab Vitlan
“Ayoklah! di kolam renang ada band,” balas Surya.
“Aku lagi malas,” jawab Vitlan.
“Ayoklah! Ngapai kau di sini sendirian, kan lebih enak kalau kita jalan-jalan di luar sana, cuci mata sambil dengar music,” sambung Maman lagi.
‘’Masih sore kok, ayam saja belum tidur,” timpal Surya.
“Ayooo, mandi sana! biar kami tunggu kau,” sam-bungnya.
Dengan perasaan sedikit malas Vitlan bangkit lalu turun ke lantai dasar. Ia ke dapur mengambil air panas segayung, lalu membawanya ke kamar mandi. Selesai mandi dengan air hangat, Vitlan merasa lebih segar. Dengan langkah enteng ia kembali ke kamar.
Selesai ganti pakaian berempat mereka turun.
“Kalian sudah makan ?” sapa Vitlan pada teman-temannya.
“Sudah,” jawab mereka serempak.
“Aku makan dulu ya,” sambung Vitlan sembari melangkah menuju steling makanan yang terdapat di bagian depan.

Rumah tempat tinggal Vitlan berlantai dua. Bagian bawah atau lantai dasar dipergunakan seba-gai kedai nasi. Kedai nasi tersebut sudah dibuka sejak pagi hari dengan berjualan sarapan pagi di lanjutkan dengan jualan nasi, dan mulai sore jualan mereka menjadi lengkap dengan makanan ekstra se-perti mie, cap cai, nasi goreng, dan aneka minuman segar. Secara bergiliran mereka melayani pembeli. Vitlan biasanya mendapat giliran jaga sepulang kuliah hingga tutup pada tengah malam.

Selesai makan,
“Yok kita berangkat,” kata Vitlan pada teman-temannya.
“Mak, pergi ya Mak,” kata Vitlan pada mak, seraya melangkah keluar.
“Mau ke mana kalian,” sapa mak.
“Jalan-jalan Buk, ada band di Kolam Renang, As-salamu’alaikum,” sapa mereka serentak.
“Wa’alaikum salam,” jawab mak.

Keluar dari rumah Vitlan singgah di kedai sebelah. Ia membeli sebungkus dji sam soe. Bung-kus rokok dikoyak di bagian tengahnya. Sebatang rokok dinyalakan dan ia segara berlari mengejar teman-temannya yang sedari tadi terus berjalan. Mereka berjalan beriringan, bergurau dan bercanda apa saja sepanjang trotoar. Sesekali terlihat di antara mereka ada yang menendang-nendang benda-benda kecil yang ada di depan mereka. Pada kali yang lain mereka terlihat tertawa dan saling pukul.
Selepas simpang empat masjid raya, terlihat orang semakin ramai. Mereka berjalan menuju arah yang sama yakni kolam renang Paradiso. Anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan bapak-bapak dan kaum ibu pun terlihat mendatangi obyek yang sama. Ada yang sendirian, berdua, bertiga sampai yang bergerombolan.
Sampai di tempat pertunjukan, di atas pentas terlihat para pemain band sudah mulai menyetel-nyetel senar gitar mereka dan peralatan musik lainnya. Halaman depan kolam renang sudah penuh oleh lautan manusia. Pengunjung tumplek sampai ke jalan raya, yang membuat jalan di depan dan di samping kolam renang tersebut secara otomatis tertutup bagi kendaraan yang ingin melintasi ka-wasan tersebut.
Pentas musik pergantian tahun pada malam itu dibuka dengan lagu ‘Di ambang sore’nya Eddy Silitonga yang pada waktu itu, sedang di puncak popularitasnya, yang dinyanyikan oleh seorang biduanita dengan apik sekali. Selanjutnya seorang biduan muncul menyanyikan lagu ‘Sedih Hatiku’ nya The Mercy’s dan dilanjutkan dengan lagu ‘Mengapa’nya Panbers.
Mendengar lagu-lagu kesukaannya dinyanyi-kan, secara apik dan lembut, Vitlan langsung ha-nyut dan larut dalam alunan lagu tersebut, sehingga tanpa terasa, secara spontan ia ikut menyanyikan nya.
Sejak kau pergi, hatiku sunyi
Tiada lagi penghibur hati
Ke mana ku tak tahu
Kau pergi dariku
Oh kasihku
Mengapa kau tinggalkan daku
Apakah dosaku

Biarlah daku menanggung rindu
Bagai kumbang mencari madu
Hidupku hampa kini
Kau bawa cintaku yang murni
 Oh kasihku

Mengapa kau tolak cintaku
Mengapa oh mengapa
Mengapa oh mengapa

bersambung

Bagikan: