ULU AMBEK
Bagikan:

Oleh Hasanuddin Hasanuddin

Ulu ambek seperti sebuah pantomim persilatan. Akan tetapi, esensinya ternyata pertaruhan harga diri dan pertarungan eksistensial antar perguruan atau antar nagari. Di samping itu, ulu ambek adalah represetasi konflik, tetapi sekaligus mediasi transformasi konflik itu menuju dinamika harmoni. Jadi, sebuah kearifan lokal manajemen konflik. Mengapa?

Ulu ambek merepresentasikan pertarungan. Kata ulu ambek bermakna lalu-ambek atau serangan-tangkisan. Ulu ambek dipertunjukkan oleh dua orang dari perguruan atau nagari yang berbeda (berbeda dari pertunjukan silat yang dilakukan oleh dua orang ang seperguruan). Pertunjukan dilakukan di atas laga-laga (laga-laga berarti tempat berlaga, tempat bertarung, tempat menentukan kalah menang, tempat menyaksikan siapa pemenang dan siapa pecundang). Pergi ber-ulu ambek disebut sebagai pai manapa (pergi menguji kepandaian dengan berlaga) dan konsekuensi ulu ambek adalah buluih (dipermalukan, baik secara personal/ pemain maupun komunal/ nagari)

Namun, dalam dinamikanya makna ulu ambek bertranformasi menjadi mediasi transformasi konflik. Ulu ambek dimaknai dengan ‘menghambat dari hulu (nya)’, berarti mencegah sejak awal mula. Laga-laga (tempat bertarung) diganti dengan pauleh (tempat menyambung silaturrahim), dan ‘pai manapa’‘pergi menguji kepandaian dengan berlaga’ diganti dengan ‘pai baralek‘ ‘pergi memenuhi undangan hajatan’. Dan, pertunjukan ulu ambek diawasi oleh janang dan raja janang (para penghulu/ ninik mamak) agar tidak terjadi saling mem-buluih-kan.

Ulu ambek merefleksikan filosofi dasar Minangkabau yang rasional, egalitarian dan dinamis. Ia mencerminkan konsep harga diri dan budi sekaligus. Harga diri egalitarian menempatkan seseorang/ kelompok/ nagari setara satu sama lain. Untuk mempertahankan kesetaraan, seseorang atau suatu kelompok/ nagari harus mampu bersaing terus menerus. Ketidakmampuan dalam mengekspresikan diri sama dan setara dengan orang lain adalah cerminan “orang kurang” atau “lebih rendah” dari orang lain. Keadaan demikian dipandang sebagai aib atau “malu” yang tidak boleh terjadi. Namun, persaingan dapat membawa kepada konflik dan disharmoni sosial. Oleh sebab itu, diperlukan budi, yaitu konsep tenggang menenggang demi menjaga harmoni. Representasi budi adalah norma-norma etik yang realisasinya dalam bentuk aturan dan pengawasan.

Oleh karena ulu ambek sangat berpotensi menjadi sumber konflik komunal horizontal (sebagaimana terjadi antara Mangguang dan Mudiak Padang pada 1930-an, yang berakibat ulu ambek dilarang dipertunjukkan), maka ulu ambek harus diawasi secara ketat oleh para penghulu. Implementasinya, ulu ambek harus dipimpin oleh janang sebagai penanggung jawab pertarungan. Janang terdiri atas dua orang yang masing-masing mewakili pangka dan alek. Janang dianalogikan sebagai wasit. Sebagai wasit, janang disumpah agar betindak adil. Oleh sebab itu, pertunjukan tersebut tidak bisa diselenggarakan tanpa seizin ninik mamak atau penghulu nagari sebagai pemilik (karena ulu ambek adalah suntiang ‘mahkota’ mereka) dan tanpa janang.

Ulu ambek menujukkan bagaimana perbedaan, persaingan, dan konflik adalah potensi dinamik yang niscaya dipelihara, namun harmoni adalah keniscayaan yang tak kalah pentingnya pula. Perbedaan dan potensi persaingan dan konflik tidak boleh dimatikan atau sebaliknya dibiarkan memuara menjadi anarkhis. Persaingan dan konflik dapat dimemediasi dan ditransformasikan menjadi konflik yang elegan, estetis, dan etis. Hal itu merupakan kearifan lokal Minangkabau dalam manajemen konflik dalam mengawal berlangsungnya dinamika sosio kultural secara dialektik dan harmonis. Kearifan lokal itu dapat memberi sumbangan bagi pengelolaan kemajemukan Indonesia yang akhir-akhir ini ditandai oleh ‘hiruk pikuk’ oleh konflik komunal horizontal yang memprihatinkan (Hasanuddin, Sastra Minangkabau FIB Universitas Andalas).

Bagikan: